Aku telah menjual segala milikku yang masih ada, di antaranya rumah keluarga dari pihak ibuku di jalan Javaveem karena kami tidak tahu kapan kami bisa kembali ke Bandung. Aku anggap saja tidak akan kembali.
Bengkulu bagiku mengandung harapan. Bukankah Ende telah meninggalkan kisah sedih kepadaku dengan meninggalnya Ibu Amsi – ibunda Inggit yang turut dalam pembuangan ke Ende -, sedangkan Djuami pun pernah jatuh sakit malaria yang mengkhawatirkan. Juga, Kusno pernah menggigil berhari – hari karena penyakit yang sama jahatnya. [Inggit Garnasih – Kuantar ke Gerbang].
Nenamu di Rumah Pengasingan Soekarno
Inggit sudah sangat paham, Kusno – panggilan sayang Inggit pada Soekarno -, sangat menyenangi pantai. Pada setiap kesepian dan kegusaran yang tampak di wajahnya, Inggit akan mengajak Soekarno berjalan – jalan ke pantai. Ini dilakukan selama mereka dalam pengasingan di Ende maupun setelah dipindahkan ke Bengkulu.
Pantai Panjang taklah jauh dari rumah yang mereka tempati tinggal selama di Bengkulu. Ke sanalah mereka berdua atau kadang mengajak anak – anak, Djuami dan Kartika, berjalan – jalan menikmati pantai saat matahari hendak beranjak ke barat. Di pantai ini pengunjung tak dibolehkan untuk berenang karena ada palung – palung laut yang memunculkan arus pecah (rip current), arus dengan kekuatan besar yang sering memakan korban jiwa. Jadi, bila ke Pantai Panjang, mereka hanya duduk – duduk di bawah pohon cemara, berbagi cerita yang menyenangkan hingga keruwetan rumah tangga. Jika di kebanyakan pantai kita menjumpai pohon kelapa, maka di sepanjang Pantai Panjang yang tampak adalah pohon – pohon cemara. Raffleslah yang meminta agar cemara ditanam di sana semasa dirinya menjadi Gubernur Bengkulu.

Rumah pengasingan Soekarno berada di daerah Anggut Atas. Di rumah ini Soekarno menjalani pengasingan selama 4 (empat) tahun setelah dipindahkan dari Ende pada 1938 – 1942. Rumah tempat Soekarno berbagi banyak buah pikiran dengan teman – teman pergerakan, bekerja, berkreasi dengan seni, serta membincangkan keruwetan yang terjadi di dalam rumah tangga Inggit Garnasih dan Soekarno.
Rumah Pengasingan Soekarno
Jl Soekarno Hatta, Anggut Atas,
Bengkulu 38222
Telp (0736) 21272
Jam Operasional: pk 08.00 – 17.00
HTM: Rp 3.000 (dewasa), Rp. 2.000 (anak – anak)

Ada banyak tinggalan dan jejak sejarah yang tersimpan di dalam rumah yang hangat ini. Kehangatan yang meletupkan buih – buih asmara yang dipindai oleh radar rasa Inggit lewat bahasa tubuh Soekarno dan Fatmawati ketika mereka duduk beramai – ramai mendengarkan siaran radio di ruang tamu. Kehangatan yang melahirkan keinginan untuk menyeruput secangkir kopi di teras depan, sembari mencoba mengenang perjalanan mereka yang pernah tinggal di tempat ini.
Kursus Menjahit di Rumah Ibu Fatmawati
Jika suatu hari nanti kamu bertandang ke Bengkulu dan mendapati rumah Soekarno berbeda dengan rumah Fatmawati lalu hatimu dipenuhi tanya kenapa rumah Soekarno dan Fatmawati tak menjadi satu? bukankah mereka pasangan suami istri? Jika pertanyaan itu membuatmu bimbang, tak perlu ragu untuk kembali mengingat – ingat pelajaran sejarah semasa di sekolah dulu.

Rumah Fatmawati
Jl. Fatmawati No 10, Penurunan, Ratu Samban,
Bengkulu 38222
Jam Operasional : 08.00 – 17.00
HTM: sukarela
Fatmawati dan Soekarno bertemu ketika Soekarno menjalani pengasingan di Bengkulu. Ia dititipkan ayahnya di rumah Soekarno agar bisa belajar banyak hal. Mereka menikah setelah Soekarno kembali ke Jakarta dan memulangkan Inggit ke Bandung.

Fatmawati tak pernah tinggal di rumah ini. Bukan pula pintu rumah ini yang diketuk Soekarno ketika pamit dan berjanji untuk menikahi Fatmawati. Rumah tempatnya tinggal setelah diminta pindah oleh Inggit dari Rumah Soekarno, telah lama rata dengan tanah. Meski Rumah Fatmawati bukanlah rumah tempatnya lahir dan dibesarkan, namun koleksi yang ada di dalam rumah mungil yang dihibahkan kerabat Fatmawati ini dapat bercerita banyak hal yang terjadi pada masa lalu.
Keluarga Fatmawati berasal dari Curup. Karena pekerjaan sang ayah, Fat dan ibunya jadi sering berpindah – pindah kota tinggal di Sumatera Selatan mengikuti tugas Hassan Din, ayahnya.
Danau Mas Harus Bastari
Di jalan lintas Bengkulu – Lubuk Linggau, tepatnya di tepi jalan Desa Mohorejo, Rejang Lebong dekat perbatasan Curup – Lubuk Linggau; ada sebuah danau yang ramai dikunjungi pejalan di akhir pekan dan hari – hari libur. Danau yang dikenal dengan nama Danau Mas Harun Bastari itu dikelilingi bebukitan nan hijau.
Di lereng – lereng bukit, di kiri kanan jalan di pinggir danau; ada kebun – kebun yang ditanami aneka tanaman dan kembang berwarna – warni. Areanya sengaja ditata sebagai spot – spot gambar instagramable bagi pejalan yang beberapa menit sekali memutahirkan keberadaannya dengan gambar – gambar bagus di jejaring sosial. Tempat itu pula sedang dipersiapkan untuk menyambut Flower Garden Festival serta Visit Wonderful Bengkulu 2020 dengan menambahkan wahana – wahana rekreasi penunjang yang menyenangkan pengunjung.

Di saat yang lain asik bergambar dengan kembang – kembang, saya lebih tertarik dengan keberadaan bangkai pesawat dan monumen yang tegak di atas salah satu bukit. Di puncak monumen berdiri 2 (dua) orang tentara pejuang memegang pistol dan senapan. Pada badan monumen ada 2 (dua) prasasti dengan tulisan yang intinya menerangkan bahwa monumen itu ada kaitannya dengan CIE I BAT 28 STB yang dikomandani Kapten Arifin Jamil.
Monumen itu dibangun sebagai pengingat satu malam yang membara di Januari 1949 ketika Batalyon 28 Sub Komando Sumatera Selatan (Sub KOSS) yang dipimpin oleh Kapten Arifin Jamil menghadang pasukan Belanda di Pematang Danau dan meledakkan ranjau serta memberondong iring – iringan kendaraan perang Belanda yang hendak memasuki wilayah Rejang Lebong. Puluhan nyawa dari pihak Belanda melayang malam itu. Namun pejuang Indonesia tak bisa bersenang berlama – lama, karena esok harinya Belanda kembali dan membombardir Rejang Lebong yang menyebabkan banyaknya korban sipil dari rakyat Indonesia.

Mungkin tak banyak yang mengingat Peristiwa Pematang Danau di atas bukit yang kini dikerubungi kembang warna – warni pada malam itu. Jumlahnya bisa saja berbanding lurus dengan yang penasaran kenapa danau di kaki bukit itu memiliki nama serupa dengan nama panggilan lelaki dari pulau Jawa.
Mas Harun Bastari sebenarnya merupakan paduan dari nama Panglima Daerah Militer (Kodam IV) Sriwijaya pada 1958, Kol. Inf. Harun Sobar dan Gubernur Sumatera Selatan era 1960an, H. Achmad Bastari yang memiliki andil merintis pembangunan kawasan wisata danau Mas Harun Bastari. Tentang bangkai pesawat jenis Casa 212 seri 200 yang bertengger di atas bukit; semoga bisa diberdayakan seperti rencana awal dibawa ke sana dahulu. Tak hanya jadi media curhat para pengunjung yang tak bertanggung jawab mencorat – coret badan pesawat.

Berkunjung ke Museum Negeri Bengkulu
Taklah lengkap mengenal dan memahami peradaban Bengkulu dari masa ke masa tanpa bertandang ke Museum Negeri Bengkulu. Hampir serupa dengan sebagian besar museum di Indonesia, kesan pertama dari penampakan luarnya tak menarik pengunjung untuk mampir. Petugas yang berjaga pun sempat kikuk mendapat serangan fajar ehm .. menerima kedatangan rombongan yang heboh. Bila dilihat dari koleksi yang ada, museum ini dapat memberikan gambaran yang menarik tentang tumbuh kembangnya Bengkulu.

Museum Negeri Bengkulu
Jl Pembangunan No 8, Padang Harapan
Bengkulu
Telp 0736 – 22098
Jam Operasional:
pk 08.00 – 16.00 (Senin – Jumat), pk 08.00 – 14.00 (Sabtu/Minggu)
Hari Libur Nasional TUTUP
HTM: Rp 2.500 (dewasa), Rp 1.500 (anak – anak)
“Mbak bayarnya .. engg … “
Doorrrr … sangat murah lho tarif seorang dewasa masuk Museum Negeri Bengkulu. Setengah harga lebih murah dari tarif sekali naik angkot keliling Bengkulu. Menurut pak Joni, salah seorang petugas museum, Museum Negeri Bengkulu hanya ramai dikunjungi oleh anak sekolah pada musim liburan atau ketika ada karya wisata. Dari data statistik pengunjung yang terpajang di samping pintu masuk museum, jumlah pengunjung TK/SD pada Mei 2017 sebanyak 1069; tapi di bulan berikutnya hanya ada 5 (lima) orang saja. Koq serupa statistik blog yang terjun bebas ya :), saleum [oli3ve].
Terima kasih banyak, Kak Olive, telah mengaduk perasaan saya di awal baca post ini, lalu mengajak saya menelisik angka viewers blog di akhir tulisan. hehehe
Banyak data penting yang akan saya jadikan sumber tulisan berikutnya.
uppssss … maafkan kk 😉
wooowww prov. bengkulu merupakan salah satu kota yang banyak sejarahnya. Apalagi ada rumahnya Ibu Fatmawati. 😀
iya, masih banyak yang harus diexplore nih
Menarik juga jalan2 di Bengkulu.
Semoga museumnya lebih diperhatikan pemda ya…sayang sekali dibiarkan begitu saja sampai pengunjungnya pun turun drastis.
nasib museum yang sering terpinggirkan
semoga saja membaik ya
tahun lalu aku mampir ke Museum Bengkulu, sayangnya tutup padahal bukan hari Senin,,.. dan di terasny terlihat nggak terawat sih, seperti beberapa hari belum disapu he.. he…
aku pernah tinggal di sana 3 tahun, tapi baru ini tau danau Mas Harun Bastari
waaah .. pernah tugas di Bengkulu mbak Monda? sering ke pantai panjang donk 😊
Menarik banget cerita dan sejarahnya kak olip.. as always lah yah.
Tapi kok di akhir blog curhat soal traffic..saya juga itu mah nasibnya gitu wkwkw
ahahha .. sejarah juga kan traffic jleb
Makasih infonya.
Pingin ke bengkulu tapi belum kesampaian.