Bila Tarra Pergi


Air mata langit menetes satu – satu di jelang senja. Di hari terakhir pada akhir pekan terakhir di bulan keempat. Kusapa ia dengan senyum sepenuh rindu setelah bertahun – hmm .. dua puluh tahun lebih – tak pernah lagi kujejakkan langkah di pelataran passiliran. Mungkin rindu yang telah mengakar membuatnya tak sanggup meredam terjangan air dari pelupuk matanya. Kucoba mereka – reka rasanya dari pandangan sayu yang kuterima senja itu. Mata kami beradu. Langit memalingkan wajahnya, tergesa ditutupinya wajah murung itu dengan selendang kelabu.

passilaran, baby grave, makam bayi toraja
Tarra

Ada apa dengan senja? Kenapa langit bersedih? Bukankah seharusnya mereka riang melihatku kembali ke passiliran? Atau … jangan – jangan perilaku aneh mereka ada hubungannya dengan Tarra?

Ah, aku mendadak teringat  Tarra. Karena dirinyalah aku datang ke passiliran, pada hari pertama kepulanganku ke Tondok Lepongan Bulan. Penasaran, aku bergegas menemui Tarra. Kuayun langkah panjang – panjang menuruni tangga bersemen, turun ke passiliran. Dirinya pasti memahami apa yang terjadi dengan langit dan senja.

Tak hanya langit dan senja yang berubah sikap. Jalan tanah yang dulu becek bila hujan bertandang, kini berganti undakan bersemen. Pada kedua ujungnya ada pagar besi bercat hitam setinggi pinggang orang dewasa. Sebuah kenyamanan bagi yang langkahnya mulai melamban. Mereka bisa berpegangan pada pagar itu saat mengayun langkah satu – satu.

Kutemui Tarra yang masih saja senang bersendiri. Ia berdiri di sela rimbun bambu. Badannya mulai bongkok. Tak lagi gagah seperti terakhir kali kami bertemu. Ia menyembunyikan kepalanya di antara dedaunan yang merubungi tubuhnya.

Tanyaku urung terlontar di depan Tarra yang kulihat kepayahan menopang tubuhnya di ujung senja. Rasanya belum terlalu lama waktuku tak menjumpainya. Tapi ternyata waktu yang telah pergi sudah melampaui jumlah jari tangan. Bila kugabungkan dengan jari kaki pun masih kurang. Waktu kini yang berbicara, ketika hadirku di hadapan Tarra hanya dibalas dengan tatap lelahnya.

Kutatap lekat – lekat badan Tarra yang menyimpan rapat – rapat catatan masa. Badan yang merapuh, lapuk dalam dekapan senja. Di dalam tubuh itu, ia mengandung bayi – bayi manusia yang tak sempat menikmati masa kanak – kanaknya. Bayi – bayi yang ia terima untuk disusui, dihangatkan, dibesarkan, dan dihantarkannya ke puya. Tak kuat, kuberanikan diri memecah kebisuan.

+ Malapu’ sia po komi indo?
 Iyo, ko susi mo to lai’, tang pakulle mo’ tu la bendan simasai. Diparuku bang mi rate.

passilaran, baby grave, makam bayi toraja
Kaki Tarra yang sudah merapuh

Aku mengenal Tarra saat usiaku belum genap sepuluh tahun. Ayah mengantarkan aku ke passiliran setelah lelah memintaku berhenti merengek. Tentu saja ayah heran, kenapa aku jadi bertingkah aneh, dan hanya menyebut – nyebut Tarra ketika ia memintaku untuk berhenti merengek serupa bayi yang meminta susu. Hampir setiap hari, sepanjang minggu, aku hanya meminta diantarkan ke tempat Tarra. Aku pun tak tahu kenapa keinginan itu terus mengikutiku hingga hasratnya tersampaikan. Kepala kecilku mendongak tinggi – tinggi, kagum pada tubuhnya yang menjulang ke angkasa.

Kata ayah, Tarra adalah ibu susu bagi bayi – bayi yang harus lepas susu dari ibu kandungnya karena alamnya telah terpisah. Bayi – bayi itu dititipkan orang tuanya pada Tarra agar tetap terurus dan terpenuhi susunya. Mereka ditempatkan pada lubang – lubang yang sengaja dibuka pada tubuhnya, dari tungkai kaki hingga dadanya. Semakin tinggi posisi bayi itu pada tubuh Tarra, penanda tingginya derajat sosial keluarga si bayi dalam masyarakat.

Yang di depanku kini, Tarra yang mulai enggan berdiri berlama – lama, tapi dia harus tetap berusaha berdiri tegak. Ia ingin tetap terlihat kuat, tetap memberikan senyum yang sama yang pernah aku lihat berpuluh tahun lalu. Meski badan besarnya mulai renta. Meski kulitnya sudah menggelap, mengering, dan terkelupas. Meski rambutnya sudah banyak yang rontok. Ia tak ingin terlihat layu.

Tarra adalah nama jenis pohon yang tumbuhh di Toraja. Dirinya menjadi idaman sedari Toraja masih ramai dikunjungi para pejalan dari berbagai pelosok dunia. Bertahun sudah wisata Toraja menjadi surut, tanpa pernah lagi merasakan pasang. Tapi Tarra tetaplah menjadi idaman mereka yang berkunjung ke Toraja.

passilaran, baby grave, makam bayi toraja

Dahulu, semasa masyarakat Toraja masih memeluk agama lama – mereka menyebutnya aluk todolo – Tarra dipilih sebagai tempat untuk mengubur bayi – bayi yang meninggal. Ia dipercaya dapat menjaga dan menyusui bayi – bayi itu dengan getah putih yang berlimpah di dalam tubuhnya. Tak semua bayi dititipkan pada Tarra. Hanya bayi – bayi yang pergi saat giginya belum tumbuhlah yang boleh disusuinya.

Sepuluh tahun yang lalu petir menyambar Tarra. Tubuhnya tak lagi utuh. Namun setianya tak pernah diragukan. Ia tetap menjaga bayi – bayi itu di dalam tubuhnya, memeluk mereka rapat  – rapat, melekat pada dirinya, tak ingin dilepas. Selayaknya seorang ibu yang tak ingin terpisah dengan bayinya, sedetik pun. Raganya menyatu meski sukma anak – anaknya telah melayang – layang menuju puya.

Pandanganku terhalau tiga orang turis asing yang berlalu di hadapanku. Usia mereka tak lagi muda dan jalannya lamban – lamban. Kudengar pemandunya bercerita tentang riwayat Tarra, ibu para bayi tanpa gigi. Seseorang mukanya kulihat mengkerut, entah sedang mencoba mencerna cerita pemandu yang tentu saja diberi sedikit bumbu penyedap agar enak terdengar, ataukah sedang merancang imajinya sendiri melihat pemandangan tak biasa yang ada di depannya.

Aku pun sedang  menebak – nebak, berapa lama lagi Tarra akan bertahan memeluk bayi -bayi di dalam tubuhnya saat diriya sendiri sudah kepayahan menegakkan tubuh rentanya? Kepada perempuan yang berjaga di kios cinderamata yang kujumpai sebelum beranjak dari passiliran, aku iseng bertanya sampai kapan Tarra akan dibiarkan seperti itu?

+ Malamma mo waka’na tu Tarra jong. Tang dipalaku – laku da’na ma’padolo. Na apa mo la dadi?
– Tae duka mo kutandai.

Perempuan itu terlihat bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan padanya. Kutinggalkan dirinya bertanya – tanya sendiri. Ia mungkin terkejut dengan kehilangan yang akan terjadi, mungkin juga tak pernah memikirkannya. Selangkah sebelum kutinggalkan passiliran, aku bisa memahami wajah keruh langit dan senja hari itu. Bila nanti Tarra pergi, akankah kamu siap kehilangan dirinya? Cepat atau lambat, hanya waktu yang akan menjawabnya, saleum [oli3ve].

Ket.
passiliran = kuburan bayi di Toraja yang ditempatkan pada batang pohon Tarra.
tarra = nama sejenis pohoh, batangnya besar, tinggi (belum ketemu dari keluarga pohon apa  😉 )
aluk todolo = kepercayaan animisme di Toraja
puya = tempat abadi yang  dipercaya pemeluk aluk todolo dituju arwah mereka yang meninggal

4 thoughts on “Bila Tarra Pergi

  1. Ada campuran rasa seram dan sedih yang mendalam membaca tulisanmu ini kak. Dan imajinasiku melayang membentuk kisah surreal baru sepanjang membacanya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s