Saya mengakrabi senyum perempuan yang menyambut kedatangan saya di depan rumah itu. Senyum yang berusaha saya ingat – ingat, dimana dan kapan pernah mengakrabinya, hingga pertanyaan iseng itu pun meluncur.
“Ibu pernah diwawancara National Geographic, ya?”
“Haha .. iya, koq tahu?”
“Saya ikut mengerjakan proyek itu beberapa bulan lalu. Tugas saya menyimak obrolan ibu dan menerjemahkan hasil wawancaranya.“
Ah, saya ingat sekarang. Kenapa senyum itu tak asing. Pada tiga video yang masing – masing berdurasi satu jam, senyum malu – malu si ibu dan wajah tegang suaminya selalu hadir, menemani selama beberapa hari berkutat dengannya. Karenanya, senyum itu lekat di memori.
Saya pun teringat ada bagian video yang berisi perbincangan mereka siang itu sembari duduk – duduk di alang (= lumbung, bhs Toraja) tentang nenek yang terbaring “sakit” di atas rumah. Mengingatnya, melahirkan tanya akan keadaan nenek; apakah sudah dikubur ataukah masih di rumah? Dan kalau boleh menjenguknya, apakah ada hantaran khusus yang diinginkan sang nenek?
Ternyata, nenek masih di rumah, saya pun diijinkan untuk mengajak kak Yofangga menjenguknya. Dan Katrina, ibu itu, mengatakan tak perlu repot membawa hantaran, cukup sapa nenek saja dan selipkan uang pangngan (= sirih pinang) saja di sepu’ (=tas kecil untuk menyimpan sirih pinang) nenek.

Nenek Windy, panggilan nenek, tidur di kamar paling ujung, di samping pintu menuju dapur. Beliau tidur sendirian di kamar itu. Di dalam peti berwarna kecoklatan yang diletakkan di atas sebuah meja kecil. Sepu’nya tergeletak di ujung peti. Isinya beberapa kotak kecil yang biasa digunakan untuk menyimpan kapur, sirih, pinang, dan perkakas untuk menyirih. November nanti memasuki tahun kelima Nenek Windy hanya tidur – tiduran saja di kamar karena “sakit”. Tubuhnya sudah kaku, tak bisa bergerak lagi. Dia tertidur dengan kacamata menempel di wajah yang kulitnya sudah mengeriput.
Besarnya biaya untuk mengadakan upacara rambu solo‘ (= upacara kematian orang Toraja) membuat keluarga bersepakat “menyimpan” jasad Nenek. Anak cucunya harus menabung, mengumpulkan dana untuk pesta adat sang nenek. Meski sudah tak beraktifitas, selama nenek masih tampak “tidur” di rumah; bagi keluarga, beliau masih ada bersama mereka. Pada keadaan ini, Nenek Windy disebut to makula’ atau orang sakit.

Nanti, mungkin setahun, dua tahun, entah kapan, saat dana yang mereka kumpulkan sudah mencukupi; anak cucunya akan berkumpul dan menggelar sebuah upacara adat untuk melepas kepergian sang nenek. Tak ada lagi air mata, hanya ada syukur karena telah mengantarkan kekasih hati menuju puya (=keabadian). Mereka pun percaya, akan tiba waktunya mereka akan kembali berkumpul di puya; pada satu hari nanti.
Aroma formalin yang sesekali tercium, memerihkan mata memaksa saya melangkah keluar dari kamar. Saya pamit pada nenek yang diam – diam saja tak sekali pun membalas salam yang terlontar. Sebelum menggapai pintu, tangan saya merogoh kantong celana, mengeluarkan titipan uang yang dimasukkan ke dalam sepu’ untuk membeli panggan Nenek Windy, saleum [oli3ve].
Kemarin kami sempat juga jenguk to makula’, waktu jenguk isi pikiran saya macam-macam, apa rasanya tinggal bersama jenazah, bagaimana ini, bagaimana itu.
Toraja memang luar biasa.
mungkin rasanya biasa saja karena mereka sudah terbiasa, coba kalo kita yg nggak biasa 😊
wah kalau aku kayanya ga punya keberanian menjenguk. perbedaan tradisi mungkin ya.
takut kebawa2 saat malam ya hehe
Pernah dengar cerita teman seperti ini, kebetulan dia ga tau. Semalaman dia tidur di sebelah kamar to makula’. Paginya setelah diceritakan demikian, temenku… pucat.
Hahahaa .. tapi nggak ada kejadian kan malamnya
Ga sih kak, tapi…
tetep siyok orgnya ^^!
Tradisi yang unik
berarti jenazahnya memang diformalin atau ada ramuan tradisional gitu kak untuk proses mumifikasinya?