Bangunan mungil berwarna hijau pupus yang berdiri di mulut gang, tak jauh dari persimpangan jalan besar di seberang pantai Losari itu sepi – sepi saja saat saya mendekati pekarangannya. Tak ada penunjuk arah ke tempat itu, saya hanya berjalan mengikuti langkah kaki sembari menerka – nerka letaknya ketika menyeberang dari Stella Maris. Ternyata tak sukar untuk menemukannya. Lagi pula mereka, penghuni rumah inilah yang telah mengajak saya ke sini. Membiarkan bersendiri di depan pagar besi berwarna hijau tua setinggi kuping yang ujungnya runcing seperti tombak ditancapkan ke tanah. Pada pintu pagar ada gapura yang melengkung ke atas. Mungkin dahulu ada penanda selamat datang tertulis di sana. Sekarang semuanya polos, hijau tua.

Rumah di depan saya beratap seng. Plafonnya rendah, ada enam lubang udara berbentuk kotak di bawahnya menyerupai kotak sabun colek yang pernah berjaya di masa dulu. Dua jendela persegi empat dengan lubang – lubang berbentuk kembang yang berfungsi sebagai lubang udara, melengkapi bangunan kecil itu sehingga ia tampak layaknya sebuah rumah pada umumnya, memiliki pintu dan jendela dengan sedikit teras yang dilapisi ubin kekuningan. Tepat di tengah, di bawah kaki jendela, ada pusara kecil, tertutup ubin yang senada dengan ubin pada lantai teras.
Ini kunjungan tak biasa di jelang petang. Aah bukan, ini juga bukan kunjungan khusus. Hanya iseng. Iseng mengikuti panggilan tak biasa, yang datang di jelang pagi. Saya pun hanya ingin memastikan mereka yang entah sengaja atau pun tak sengaja bertandang ke kamar di gedung Santo Yosef setelah sebelumnya mencuri perhatian di lorong ruang tunggu ICU/ICCU Stella Maris dan mengajak kemari; pernah ada.
Tentu saja saya menemukan keberadaannya yang terekam pada tulisan berwarna emas pada sebidang plat tipis (sepertinya dari sisa seng) yang dicat merah; Makam Datu Museng. Plat itu ditancapkan lekat – lekat dengan paku di keempat sisinya pada kusen pintu. Sebuah gembok berwarna hitam menggantung, mengunci rapat – rapat pintu itu. Saya berjalan ke samping rumah, mencari pintu lain yang mungkin disediakan di belakang. Tak ada. Hanya sebuah sumur tua menempel di dinding belakang yang saya jumpai namun tak sempat diintip apakah airnya penuh atau tidak.

Lewat lubang angin berbentuk segitiga yang berderet di tengah dinding samping, saya mencoba mengintip ke dalam rumah. Kosong. Ruang itu agak temaram. Setengah dinding ruangnya dilapisi dengan ubin putih. Ada cahaya yang datang sedikit – sedikit melalui lubang angin yang ada pada dinding. Tampak sebuah pusara melintang dari timur ke barat. Pada bagian kepalanya, dua nisan dari kayu (?) yang telah menghitam, berdiri rapat, tak terlalu tegak, sedikit condong ke barat. Saya menebak – nebak, tentu itu adalah nisan Datu Museng dan Maipa Deapati, penghuni rumah yang telah memaksa saya melangkah turun dari lantai 6 (enam) Stella Maris, gedung di seberang rumah mereka, untuk berdiri di depan rumah yang sepi ini.
Cinta Datu Museng dan Maipa Deapati berkelindan rapat – rapat pada abad 17, semasa Sombangta I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Djalil Tumenanga Ri Lakiung memimpin Kerajaan Gowa. Meski kunjungan ke rumah mungilnya tak menemui kendala, pun kala bertandang ke peristirahatan Sultan Abdul Djalil hanya merasakan getaran yang hebat; saya belum bisa bebas berakrab – akrab dengan mereka. Datu Museng dan Maipa Deapati sangatlah hati -hati menjaga rasanya agar tak salah membuka hati. Saya menghargai pilihan mereka, tak bisa dipaksa.

Kisah cinta Datu Museng dan Maipa Deapati bertunas dari Galesong, tempat para taruna dari berbagai penjuru nusantara berkumpul memperkuat kesatuan bahari Kerajaan Gowa. Arrangan, satu dari pemuda itu. Ia datang dari Kesultanan Sumbawa. Hatinya tertambat pada salah seorang puteri bangsawan Galesong. Puteranya, Karaeng Gassing, ketika dewasa pun menikah dengan perempuan Galesong memberinya cucu semata wayang, I Baso Mallarangang.
Baso tak sempat berlama – lama menikmati kasih sayang kedua orang tuanya. Mereka meninggal semasa Baso masih balita. Baso kecil lalu dibawa pulang ke Sumbawa dan dibesarkan oleh kakek Arrangan. Datu Museng, nama yang kemudian melekat pada dirinya saat beranjak dewasa.
Datu Museng dan Maipa Deapati dipertemukan di sebuah surau tempat mereka belajar ilmu agama di kaki Tambora. Cinta telah menautkan hati mereka, merekat dalam – dalam meski restu terhalang. Maipa Deapati, jelita nan berani adalah puteri Sultan Sumbawa sebagaimana umumnya turunan kerajaan; ia telah dijodohkan dengan saudara sepupunya Mangalasa.

Cinta mereka diuji lewat jarak dan waktu. Ketika Maipa Deapati jatuh sakit menahan segala tekanan rasanya pada pilihan orang tua serta terpisah jauh dari kekasihnya; hanya Datu Museng yang diharapnya segera datang untuk mengobati sakitnya. Ketika puterinya sembuh, meski berat, raja Sumbawa akhirnya merestui pernikahan Maipa Deapati dengan lelaki pilihannya.
Tak lama setelah menikah, Maipa Deapati berangkat ke Makassar bersama Datu Museng yang ditugaskan untuk membantu perjuangan Gowa menghadapi Belanda. Di tengah perang yang berkecamuk, kecantikan Maipa Deapati telah membuat seorang kapten Belanda jatuh hati dan menginginkan Maipa Deapati menjadi istrinya. Keteguhan hati Maipa Deapati yang tak tergoda untuk beranjak ke lain hati, membuatnya memilih mati di tangan kekasih hatinya agar cinta dan raganya tak ternoda. Kepergian Maipa Deapati disusul oleh Datu Museng yang memasrahkan dirinya gugur di tengah perang meski dirinya masih kuat untuk melawan.

Cinta yang terlalu kuat dan mengakar di dalam hati, telah membuat mereka bersetia sehidup semati hingga ke pembaringan terakhir. Namun, bila memerhatikan penanda pada rumah mungil di mulut gang ini, ada sedikit kejanggalan di sana. Kenapa penanda di atas pintu itu hanya ada tulisan Makam Datu Museng? bukan Makam Datu Museng dan Maipa Deapati?
Saya meninggalkan rumah mungil yang berada di sela kedai – kedai makanan,tak jauh dari gapura besar bertuliskan PUSAT KULINER MAKASSAR yang menyambut setiap pejalan yang melaju ke Jl. Datu Museng. Dengan banyak tanya yang berkeliaran di dalam kepala, saya kembali ke pekarangan Stella Maris yang berdiri di antara Jl Datu Museng dan Jl Maipa. Esok atau lusa, bila ragu sudah pupus, kita bisa bersua kembali untuk berbincang dari hati ke hati, saleum [oli3ve].
Wah nama jalannya sudah mencerminkan pasangan nan romantis ini, hehe. Satu lagi kisah cinta yang membuktikan bahwa maut bukan pemisah, melainkan pemersatu. Banyak kisah cinta masa lalu yang mengejutkan di negeri ini, agaknya kalau dibuat semacam antologi begitu boleh juga ya. Mumpung suasana masih Valentine, haha *apasih.
Dan hubungan Sumbawa-Makassar memang sudah erat dari masa lalu… saya kira hanya Bima, ternyata yang ada di barat juga. Terima kasih untuk tulisan informatif ini!
hahaa .. iya ya, harusnya published kmrn lupa
Romeo n julietny indo…
Nice story! Cinta memang punya kekuatan luar biasa yaaa…sampai merelakan jiwa raga 🙂 Aku seneng bangeeet baca cerita bernuansa sejarah…yang biasanya penuh dengan intrik 🙂