Tawa sumbangmu selalu membahana bila melihat kepalaku mengangguk – angguk, meyakinkan dirimu, belum pernah sekali pun kakiku meniti ratusan anak tangga ke puncak Batu Caves. Jangankan meniti anak tangganya, menjejak di pelatarannya saja aku tak pernah. Tapi ketika ada kawan yang hendak pelesiran ke Malaysia dan bertanya bagaimana menggapai Batu Caves; aku selalu yakin menyarankannya naik Kereta Tanah Melayu a.k.a KTM tujuan Batu Caves dari KL Sentral dan turun di stasiun perhentian terakhir. Aku tahu jalur keretanya karena beberapa kali Meywah bersenggolan dengan pejalan yang membopong ransel tinggi – tinggi di dalam gerbong kereta hendak pergi atau baru saja turun dari Batu Caves.

Aku percaya, kesempatan terbaik itu akan selalu menghampiri di saat yang tepat. Dan waktu itu datang kala banyak orang merayap di jantung Jakarta dengan #Aksi212, aku memilih menyepi dan berdiri di depan Murugan yang menjulang di depan Batu Caves. Tempat yang beberapa kali disebut oleh Syers, Kapten Harry Charles Syers, kepala polisi federasi Malaysia yang membangun rumah pasung di Bukit Jugra karena bukit kapur itu berada di wilayah pengawasannya.
Pk 17.45 aku turun dari bus. Sebelum beranjak ke depan anak tangga untuk mendaki ke mulut gua di atas sana, kupingku menangkap pesan itu. Bergegaslah ke atas dan turunlah selekasnya, pk 18.30 ada sajian khusus menanti di pelataran. Maka kunikmati tapak demi tapak yang kujejak di bawah kaki Murugan, mencari pintu untuk memanjat ke bukit kapur. Aku baru tahu jumlah tangganya ketika dari mulut Eddin Kho, Direktur PUSAKA yang sedang giat – giatnya mengkaji kebudayaan tradisional di Malaysia terlontar angka 272. Tentu saja aku mendengarnya setelah sedikit kepayahan mendaki dan turun ke pelataran.
Meski orang – orang Cina yang berladang di Selangor yang pertama kali mendaki bukit kapur di Batu Caves, nama kampung tempat gugusan batu kapur itu berderet dan menyusuri gua – guanya untuk memungut kotoran burung buat pupuk pada abad 18; orang Tamil Nadu-lah yang menjadikannya persembahyangan. Ia menjadi tempat menaikkan puja – puji pada dewa – dewi yang selalu ramai dikunjungi umat Hindu maupun turis. Dahulu, orang – orang Tamil Nadu yang berasal dari Selatan India berdiaspora ke Semenanjung Malaya kala kolonial Inggris menjejak di Selangor, Malaysia pada 1867. Mereka umumnya didatangkan Inggris dan dipekerjakan sebagai buruh di perkebunan teh, sawit, karet, dan pelombongan (tambang) timah. Selain itu, ada pula yang sedari awal datang untuk mencoba peruntungannya berdagang. India menjadi salah satu dari tiga rumpun budaya terbesar yang berakar dan berbaur di Malaysia bersama Melayu dan Cina.
Langkah tergesaku dihentikan oleh teriakan tiga perempuan Tamil yang duduk – duduk di depan gerbang. Seorang menunjuk – nunjuk ke celana yang kukenakan.

Acha .. acha .. simelekete, ketumbar jahe? tanyaku asal pada ibu berbatik merah yang berbicara tanpa sedikit pun senyum hadir di wajahnya.
Diangkatnya selembar kain, “NO short pant!” jawabnya tanpa ekspresi,”five ringgit!”
Oucchhh … aku lupa ini adalah tempat yang disakralkan oleh pemeluk Hindu. Kudekatkan badanku pada perempuan itu agar dia melilitkan kainnya, dan memberikan lima ringgit yang diminta. Sebenarnya, harga sewa kain itu tiga ringgit saja. Yang dua ringgit akan dikembalikan saat kainnya dipulangkan. Dia memperhitungkan jaminan atas kainnya bila lupa dikembalikan.
Anak tangga yang banyak itu berhenti di depan mulut gua terbesar yang menjadi gua utama. Di dalamnya ada ruang yang lega, altar pemujaan terlihat di beberapa rongga dan lekuknya, lengkap dengan patung – patung dewanya. Aku tak begitu paham patung siapa saja yang ada di situ. Satu yang aku tahu, Batu Caves adalah tempat pemujaan bagi putera Siwa dan Parwati, Murugan. Murugan adalah panglima tentara para dewa, ia dilahirkan untuk mengalahkan bala tentara Asura (bangsa Detya). Senjatanya tombak pusaka pemberian ibunya, kendaraannya merak yang didapatnya dari belahan tubuh Soorapadman yang dibunuhnya dalam perang melawan bangsa Detya.
Saat turun, aku bersua dengan seorang perempuan tua yang tertatih melangkah ke depan tangga. Hari sudah gelap, kulirik tanda waktu di pergelangan tangan kananku, pk 18.30. Sebagian besar pengunjung melangkah turun, hanya satu dua yang sedang memanjat di tengah – tengah tangga. Aku meragu, tergoda menemaninya mendaki lagi tapi otot betis dan pahaku masih gemetar usai treking, lagi pula sebentar lagi Urumee Melum dimulai. Aku tak ingin melewatkannya. Tapi, aku pun penasaran dengan perempuan tua ini, kenapa dia berjalan sendiri saja? Jadi kutunggu dia hingga kedua kakinya menapak di anak tangga pertama.
Kusapa dengan bahasa Melayu berantakan, mukanya tampak bingung. Dia malah menunjuk – nunjuk kain yang kukenakan lalu menunjuk pakaian di tubuhnya sembari mengoyang – goyangkan kepala semacam berbincang dalam bahasa ibunya. Aduh, simelekete, ketumbar jahe, bu?
Puji Tuhan ketika pelan – pelan kulontarkan kata alon dengan suara sedikit keras, dirinya paham tapi tetap menjawab dengan bahasa yang tak kupahami. Dari gerakan tangannya yang diangkat menghadap ke atas, aku menangkap jawabannya, dirinya hendak menjumpai Murugan. Sendirian saja. Dengan bahasa isyarat, ia mempertanyakan kenapa tak ada pegangan tangan di sepanjang tangga yang dapat dia pegang sembari memanjat ke atas gua? Aku hanya geleng – geleng saja, mengikuti gerakan kepalanya yang membuatku tetiba teringat Nehi Nehi Dhandy-nya Dewi Purwati.
Dia lalu mengulurkan tangan kanannya, pikirku hendak bersalaman, jadi kusambut layaknya orang bersalaman. Eeeeh, tanganku digenggam erat – erat, lalu dia mulai melangkahkan kakinya. Aduuuh, ibu ini bikin jantung hampir copot. Beruntung kakiku berpijak dengan benar sehingga tak tersentak saat dirinya menjadikanku sebagai pegangan saat memindahkan tubuhnya ke sisi tempatku berdiri. Setelah dekat, genggaman tangannya berpindah dari tangan kanan ke tangan kiri. Tangan kanannya berganti menggenggam bulatan besi yang memagari tangga, diikuti tangan kirinya. Mulutnya menggumamkan sesuatu, sebelum kembali tertatih mengayunkan langkahnya satu – satu menaiki tangga. Kulepas dirinya dengan merapal doa bagi keteguhan hatinya, Tuhan memberkatimu, Ibu.
Aku masih sempat menghangatkan tubuh dengan secangkir teh tarik sebelum Urumee Melum. Hujan telah menahan sembilan lelaki Tamil Nadu yang tergabung dalam kelompok Chinna Rasa Urumee Melum Masana Kali menabuh perkusi ajaibnya malam itu. Kusebut ajaib, karena ia tak hanya mengeluarkan bunyi saat dipukul. Ada kalanya permukaan kulit yang menutupi kepalanya diusap – usap dengan pemukulnya sehingga mengeluarkan bunyi semacam bunyi sangkakala yang menggema dari pelataran Batu Caves. Urumee (kadang disebut urumi), perkusi khas dari Tamil Nadu. Terbuat dari kayu berukir yang kedua kepalanya dibungkus dengan kulit kambing. Ia dipercaya memiliki kekuatan gaib untuk membangunkan dewa dan memanggil roh saat dimainkan dalam ritual keagamaan.

Moral of the stories:
Belajar dari perempuan tua yang nekat meniti anak tangga yang terjal, rintangan apa pun tak akan menjadi penghalang langkahmu untuk menjumpai panggilan jiwamu. Hanya butuh sedikit tekad dorongan dari dalam diri untuk mengayun langkah pertama. Tentu, ada pengorbanan juga di sana. Pegal – pegal sesudahnya usai naik turun ratusan anak tangga karena lama tak jalan menanjak. Demikian pula proses keseharian di kehidupan ini, tak ada jalan yang mulus – mulus saja. Ingatkah rasamu ketika berjalan melangkah dan akhirnya bisa berlari? Bukankah kita mengawalinya dengan merangkak?
Batu Caves adalah salah satu destinasi wisata religi andalan Selangor, Malaysia yang dapat dijangkau dengan 30 menit berkomuter dari Kuala Lumpur ataupun naik bus dengan tarif yang murah. Tak ada biaya masuk yang dikenakan kepada pengunjung kecuali kamu datang bercelana pendek seperti diriku, maka kamu harus membayar sewa kain untuk menutup kulit pahamu. Saranku, datanglah pada bulan Februari untuk melihat ritual perayaan kemenangan Murugan atas Asura di hari perayaan Thaipusam, saleum [oli3ve].
Duh, mudah-mudahan saya diberi kesempatan untuk dipertemukan dengan putra Dewa Siwa–sang dewa perang ini. Sebagai seorang Hindu tentu bisa bertandang kemari akan sangat menggetarkan jiwa–membaca tulisan ini saja sudah membuat saya iri banget, haha. Apalagi dengan patung Sang Karttikeya yang gede banget itu, pasti keren. Salut dengan pembauran etnis di Malaysia yang saling menghormati satu sama lain.
harus disempatkan Gara, aku sih pengen balik lagi ke sana
Ikuuut, haha.
Interesting description Mbak olive….
makasih mbak Menik
Sama deh mba Olive… dari sejak menjejak Malaysia pertama kali belom pernah ke batu caves. Selalu aja kena skip. Bener2 harus disediakan waktunya kaliii yaa… kera-keranya mengganggu gak mba? *penakutkerasoalnya
*toss mbak Riyanti*
kemarin pas ke sana monyet2nya main sendiri, nggak dekat2 ke pengunjung dan nggak ganggu pun
Kmau juga melakukan aksi damai di batucave yaa kak heheheh
Suka dengan kawanan merpati jinak di pelataran Batu Caves ini. Narasi yang memperkaya batin, trimakasih mbak Olive.
Iya mbak Ry, menyenangkan melihat kawanan merpati itu
Aku mau ke Batu Cave ga kesampaian
semoga satu hari nanti kesampaian ya mbak 😉
Lovely story about your experiences in Batu Caves. Somehow, Indonesian travel writers like you craft great tales about your experiences in Malaysia, embarassing locals like me 😉