Dokter Lintas Batas: Memenuhi Panggilan Jiwa dan Kemanusiaan di Wilayah Konflik


Seorang gadis kecil berlari – lari kecil mengekor di belakang ibunya yang tergesa melintas di depan puing bangunan yang hancur dihantam bom lewat serangan udara di satu kota kecil yang mereka tinggali di Afrika. Sebentar ia berhenti, menengok ke kanan, matanya sembab dan berair, ada riak di pipinya yang berkilat disorot kamera, tangan kanannya teracung. Sebuah kalimat berjalan tak jauh dari kakinya, tepat saat jarinya menunjuk ke mata saya yang terpana di depan layar … WHAT’S WRONG WE HAVE DONE?

not a target campaign, msf campaign, doctors without borders, humanitarian
Not A Target (dok. http://www.msf.ca)

Mata itu menatap penuh tanya dan harap; menyedot energi yang melesak ke dalam sorotnya. Mengingatkan pada tatap tak berdosa anak -anak Nyanga dalam Black Butterflies, juga sorot mata anak – anak dan perempuan dalam Sometimes in April. Visualisasi penggalan kisah perjalanan James Maskalyk saat bertugas sebagai dokter Médecins Sans Frontières (MSF) di Abyei, Sudan di buku A Doctor without Borders yang saya baca beberapa tahun lalu. Buku berisi catatan – catatan James yang sebelumnya dituangkan dalam blog pribadinya Six Months in Sudan.

Apa yang dialami oleh gadis kecil dan ibunya, serupa dengan yang terjadi dan dirasakan oleh mereka yang tinggal di beberapa bagian dunia yang sehari – hari was – was karena pertikaian yang masih saja berlangsung di negaranya. Potongan film dokumenter di atas bukan di Abyei tapi Abs, Yaman Utara, saat rumah sakit yang dikelola oleh MSF terkena serangan udara pada Senin, 15 Agustus 2016 lalu.

Dr Lukman Hakim, salah seorang dokter MSF asal Indonesia yang bertugas di Abs sejak Juni 2016 mengisahkan, pk 15.00 waktu setempat ketika selasar UGD rumah sakit Abs yang selalu ramai dengan pasien dihantam bom menyebabkan 11 orang meninggal termasuk seorang staf MSF dan 19 orang luka – luka. Dirinya hari itu sedang berada di kantor MSF, 10 km dari rumah sakit. Mereka hanya diberi waktu 3 (tiga) jam untuk mengecek kondisi di rumah sakit pasca pengeboman. Esoknya, semua staff MSF dievakuasi ke kota dan pelayanan di rumah sakit diambil alih oleh staf pemerintahan setempat.

Doctors without Borders, Médecins Sans Frontières, MSF Indonesia, Not A Target Campaign
Kesehatan ibu dan anak dalah salah satu program misi MSF (dok. http://www.msf.org)

Dalam aturan dasar Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) disebutkan bahwa lambang palang merah harus dihormati sebagai tanda perlindungan. Karenanya dilarang menyerang petugas medis atau kendaraan atau tempat yang mengenakan lambang  palang merah. Dalam setiap misinya MSF sendiri telah memasang lambang tersebut di setiap tempat yang mudah untuk dilihat. Entah kenapa dan siapa yang telah menjatuhkan bom di atas rumah sakit di Abs sampai hari ini belum ada yang mengaku bertanggung jawab.

Atas beberapa serangan yang terjadi terhadap fasilitas medis yang dialaminya, MSF pun melancarkan protes EVEN WAR HAS RULES. Menggalakkan kampanye untuk menarik perhatian, mengajak dunia membuka mata agar menghormati hukum humaniter; mereka bekerja untuk kemanusiaan dan berada pada posisi netral untuk membantu siapapun yang membutuhkan bantuan kesehatan.

Doctors without Borders, Médecins Sans Frontières, MSF Indonesia, Not A Target Campaign
Staf MSF melakukan demo di Jenewa, Swiss pada 3 November 2015 sebulan setelah bom menghantam rumah sakit Kunduz, Afganistan (dok. Reuters).

Médecins Sans Frontières (MSF)/Doctors without Borders/Dokter Lintas Batas adalah organisasi kemanusiaan medis internasional yang didirikan di Perancis pada 1971 dengan misi pertama ke Nikaragua pada 1972. Kegiatan MSF mencakup perawatan kesehatan dasar, layanan kesehatan ibu dan anak, pembedahan, upaya menangani wabah, merehabilitasi dan mengelola rumah sakit dan klinik, vaksinasi massal, mengoperasikan pusat – pusat gizi, layanan kesehatan jiwa, serta memberikan pelatihan kepada tenaga kesehatan setempat. MSF adalah organisasi independen yang menjalankan misinya tanpa membedakan suku, agama, ras, gender maupun pandangan politik. Tidak pula bergantung pada pendanaan pemerintah dan institusi. Pendanaan MSF 92% berasal dari donatur individu dan 7% dari donasi lembaga publik.

Staf MSF dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, pekerja di lapangan dan pekerja di kantor. Mereka adalah gabungan dari tenaga medis dan juga tenaga dari berbagai disiplin ilmu yang saling menopang satu dengan yang lain. Mereka berasal dari berbagai negara yang terpanggil untuk memberikan layanan kemanusiaan dan kesehatan secara profesional. Dr Lukman Hakim adalah salah satu tenaga medis asal Indonesia, mulai bergabung dengan MSF pada misi pertamanya di Karachi, Pakistan pada 17 Oktober 2013. Abs, Yaman menjadi tempat penugasan ketiganya di Juli 2016 setelah menyelesaikan tugas di Lamkien, Sudan Selatan.

Dr Lukman Hakim, Doctors without Borders, Médecins Sans Frontières, Dokter Lintas Batas
Dr Lukman Hakim, Dokter Lintas Batas yang bertugas di Yaman saat rumah sakit Abs dibom

Tak hanya terjun ke wilayah konflik, karena pada dasarnya kegiatan MSF menyediakan layananan kesehatan berkualitas yang dibutuhkan di satu daerah baik dalam situasi non-darurat maupun kondisi stabil. Di Indonesia, MSF pun telah mengambil bagian dalam penanganan medis yang dilakukan di beberapa provinsi sejak 1995 hingga 2009 seperti membantu kegiatan tanggap darurat pasca gempa di Jambi, penanganan wabah Malaria dan kesehatan ibu anak di Papua, penanganan tuberkulosis (TBC) di Ambon, serta tanggap darurat dan rehabilitasi tsunami Aceh.

Pada kegiatan MSF & Bloggers Meet Up yang diadakan di Jakarta Sabtu (26/11/2016) lalu,  Intan Febriani, Communication Manager MSF Indonesia mengatakan, ada satu kondisi di satu tempat seseorang dianggap berbahaya namun di sisi lain dia adalah pahlawan bagi kelompoknya. Dalam kondisi seperti inilah perlunya organisasi netral.

medecins sans frontieres, doctors without borders, dokter lintas batas, pameran foto MSF

Untuk mengenal lebih dekat kegiatan – kegiatan yang telah dilakukan oleh MSF, MSF Indonesia mengajak masyarakat Indonesia untuk mengunjungi Photo Exhibition & Film Screening yang akan diadakan pada 8 – 16 Desember 2016 di Grand Indonesia, Jakarta. Pameran ini terbuka untuk umum dan GRATIS.

Jika kamu penasaran seperti apa keseharian staf MSF di lapangan, silakan untuk melihat keseharian Vincent Pau, seorang perawat dari Hongkong yang bergabung dengan MSF sejak 2012 lewat film dokumenter A Day on the Front Line: Doctors without Borders berikut.

Resiko akan selalu ada di mana pun kita berkegiatan. Pada salah satu tulisan dalam blog pribadinya, Dr Lukman menuliskan mimpinya yang sederhana, mengabdi di tempat – tempat yang jauh, di mana perbedaan bahasa, budaya dan adat istiadat bukanlah kendala tapi jembatan untuk memahami keberagaman. Meski perang menakutkan, sebelum meninggalkan Abs Agustus lalu, dirinya berjanji akan kembali ke sana menyelesaikan misinya bersama MSF bila kondisi sudah memungkinkan mereka untuk masuk kembali ke Yaman. Somebody has to do it!

Setiap kita punya pilihan. Dr Lukman dan dokter – dokter lintas batas memilih untuk mengabdikan diri di wilayah konflik. Bagaimana dengan kamu? Apa yang sudah kamu lakukan untuk sesamamu? Bila pergi jauh dari rumah adalah halangan, cobalah buka mata dan lihat sekelilingmu, sudahkah kita menghargai keberagaman? saleum [oli3ve].

One thought on “Dokter Lintas Batas: Memenuhi Panggilan Jiwa dan Kemanusiaan di Wilayah Konflik

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s