Kalau kamu suka melewati kawasan Monas saat beranjak ke Glodok atau Kota Tua dengan mata awas, pasti akan tampak gajah kecil yang setia berdiri di depan Museum Nasional, Jakarta. Gajah kecil berwarna hijau yang terbuat dari perunggu itu, hadiah dari Chulalangkorn, Raja Rama V dari Siam (sekarang Thailand) sewaktu berkunjung ke Indonesia pada 1871. Chulalankorn, kakek dari Bhumibol Adulyadej, Raja Thailand yang mangkat 13 Oktober lalu. Pada minggu terakhir September, saya berkesempatan (kembali) mengunjungi Negeri Gajah Putih, Thailand. Ini perjalanan kedua setelah 2 (dua) tahun lalu diajak Tourism Authorization of Thailand (TAT) ke keriaan Thailand’s Best Friends Forever 2014. Perjalanan kali ini pun diongkosi TAT berkat menang lomba foto selfie.

What the … kamu selfie, Lip? Ya, tertawalah lebar – lebar sepuas hatimu! siapa yang menduga bila swafoto saya dengan Bapu menang lomba foto #SelfieTAT? Saya pun sudah lupa pernah ikut keriaan lomba itu hingga dikabari terpilih sebagai salah satu pemenang dengan hadiah boleh ngajak seorang teman jalan – jalan ke destinasi impian, Hua Hin! Kamu harus banyak bersabar menanti cerita tentang kota pensiunan yang menyenangkan dan telah memikat hati jauuuuh sebelum menjejak di sana. Karena hari ini saya hanya akan berbagi sedikit drama di perjalanan kemarin.
Drama bermula selagi kami masih berada di pelataran parkir Maruekhathaiyawan. Imron, pemandu lokal yang menenami berjalan selama di Hua Hinn, membuat tak henti terbahak sesaat setelah langkah menggapai pelataran parkir. Tanpa ba bi bu ia melontarkan tanya,”Lip, kalian pasangan LGBT ya?”

Pasangan yang dimaksud adalah Lasma, kawan gereja yang menemani berjalan. Dirinya sudah terbiasa dengan kebiasaan berjalan saya yang tak biasa. Paham bila disodori gawai; pertanda minta diabadikan, bahkan kupingnya pun sudah kebal diocehin bila jarinya keliru mengeksekusi petunjuk saat dimintai tolong untuk memotret. Rela digeret – geret ke museum, bahkan senang – senang saja diajak main ke kuburan.
Mungkin karena bete menunggu kami yang senang berlama – lama di Maruekhathaiyawan saat semua orang terburu – buru melewati lorong demi lorongnya, si Imron bertanya seperti itu. Atau karena memerhatikan gaya kami yang sangat bertolak belakang terutama dalam hal berbusana. Lasma lebih perempuan, sayaaaa … koboi 🙂 Oooh, bisa jadi dia ‘ngiri karena nggak digubris saat memandu. Lhaaa .. yang dipandu asik sendiri haha. Entahlah, saya nggak tertarik untuk bertanya, malah merasa lucu mendengar tanyanya. Melihat saya hanya tertawa geli mendengar komentarnya, mulutnya kembali bertanya,”Jadi, yang laki mana, perempuannya yang mana?“

Saya sudah terbiasa melihat kelakuan orang yang suka mencari perhatian. Pun sudah belajar mengelola emosi sejak beranjak remaja. Tak gampang terpancing saat orang iseng atau marah – marah, tapi sekali bicara; teman di samping yang gemetaran. Itu kata teman yang pernah melihat saya ngomel hehe. Jadi pura – pura budek aja mendengar ocehan Imron. “Ya ampun bang Imrooooon, emang tampang gw kayak lesbi?” Tak ingin merusak kesenangan hari itu, saya terus saja melangkah ke kendaraan, membiarkan Imron bertanya – tanya sendiri.
Di perjalanan pulang, saya pun iseng – iseng berpikir. Jangan – jangan si Imron kesamber sesuatu sewaktu berkeliling di Mrigadayavan Palace, sebutan lain untuk Maruekhathaiyawan, istana yang dibangun dari kayu jati dan berdiri megah di bibir pantai Bang Kra, Cha Am itu. Maruekhathaiyawan dibangun pada 1923 oleh Vajiravudh, Rama VI sebagai tempat menenangkan diri dan mengerjakan kesenangannya; menulis. Tempat yang digadang – gadang sebagai The Palace of Hope and Love, pantas saja bila raja betah berlama – lama di tempat yang tenang dan melahirkan banyak inspirasi ini. Kalau saja diberi kesempatan untuk berlama – lama di sini, saya pun mau menikmati kedamaian, senyap dan teduhnya tempat yang mengingatkan pada Sanctuary of Truth yang tegak di bibir Rachvate Cape, utara Pattaya. Duluuu, pasti tak sembarang orang yang bisa bebas bertandang apalagi menginap di Maruekhathaiyawan. Sekarang pun kalau berkunjung sebagai wisatawan ke sana mesti berpakaian tertutup rapi. Saat akan naik ke atas istana, alas kaki mesti dibuka karena kaki akan memijak di lantai kayu yang mulus, mengkilat dan licin. Nggak boleh motret meski tangan gatal.

Semasa pemerintahan Rama VI (1910 – 1925), Thailand mulai menyelaraskan langkah dengan negara lain yang mengglobal. Pada masa itulah Don Muaeng dibangun, Chulalangkorn University yang awalnya hanya berupa sekolah buat anak – anak di lingkungan istana, dibuka untuk umum serta transportasi publik pun dikembangkan. Sebagai orang yang sangat mencintai serta menaruh perhatian besar pada puisi dan sastra, Rama VI pulalah yang merancang transliterasi dari bahasa Thai ke bahasa Inggris. Termasuk menerjemahkan karya – karya Shakespeare ke bahasa Thai dan mengadakan pementasan opera di ruang teater khusus di Maruekhathaiyawan. Sebuah taman yang terinpirasi dari salah satu karya Shakespeare dibangun di pelataran depan dekat pintu masuk Maruekhathaiyawan, diberi nama seturut karya tersebut taman The Merchant of Venice. Tahu kesenangannya pada seni agak mirip, jangan – jangan yang melontarkan pertanyaan tadi Rama VI? upzzz 😉
Satu informasi yang sebenarnya sudah banyak menyebar di luar dan masih berusaha ditutup – tutupi pihak kerajaan Thailand adalah orientasi seksual dan kelakuan anggota kerajaan. Bahwa Rama VI seorang homoseksual, ada yang mau percaya? Lalu bagaimana dengan gambar Putera Mahkota Maha Vajiralongkorn yang turun dari pesawat di Munich dengan baju minim dan sandal gunung beberapa waktu lalu kala Thailand sedang berkabung atas kepergian Raja Bhumibol yang menuai banyak tanya? Apa kabar dengan adiknya yang lesbi? Hak mereka untuk memilih bagaimana menjalani hidupnya, bukan?


Saya teringat omongan Imron saat kami beranjak dari Don Muaeng menuju Hua Hin sehari sebelumnya. Katanya, Thailand sedang menuju era krisis penduduk, dalam 5 (lima) tahun ke depan pertambahan jumlah penduduk akan tersendat, lama – lama menjadi nol. Coba saja kamu bayangkan, dari 10 lelaki (Thailand) yang kamu jumpai, bisa dipastikan hanya 1 orang saja yang normal, imbuhnya demi melihat ekspresi penuh tanya di depannya. Analisanya benar juga mengingat hubungan sesama jenis di negaranya sangat terbuka. Jadi, hati – hati bersua lelaki ganteng di Thailand! cek dulu kelingkingnya sebelum kamu tergila – gila hahaha.
Mari kita kembali ke Maruekhathaiyawan.
Masyarakat Thailand tunduk pada hukum lèse–majesté, hukum yang melindungi kerajaan beserta anggota keluarga kerajaan Thailand dari berbagai hembusan berita miring. Di dalamnya terdapat aturan hukuman berat bagi rakyat Thailand yang melakukan penghinaan terhadap kerajaan. Karenanya, sangat susah untuk mengorek – orek informasi dari dalam sebab orang Thailand tak mau berbicara blak – blakan apalagi menyebar berita seputar istana yang (berusaha) ditutupi. Untuk hal ini Imron memberikan contoh sederhana, coba tengok gambar Ratu Sirikit yang dipajang di tempat – tempat umum. Kenapa gambarnya semua tampak muda? Sejak sakit ratu tak pernah muncul di depan publik, adalah aib bagi keluarga kerajaan bila terlihat sakit di depan umum.

Jadi, benarkah Rama VI seorang gay? Siapakah kekasih hatinya yang menemani harinya bersenang – senang di Maruekhathaiyawan? Saya yakin, dari kesukaannya pada puisi, Rama VI bisa dikategorikan sebagai lelaki yang romantis. Tapi kenapa dirinya tak betah berlama – lama dengan ketiga istrinya dan lebih senang menghabiskan waktu bersama kawan – kawan di klub lelakinya?
Vajiravudh meninggal pada 1925. Sejak itu Maruekhathaiyawan yang dirancangnya dengan bantuan arsitek Italia, Ercole Manfredi; dibiarkan terbengkalai karena adiknya, Prajadhipok yang menggantikan dirinya sebagai Rama VII membangun istananya sendiri, istana Klai Kangwon. Nggak jauh – jauh, masih di Hua Hin dan menjadi tempat pilihan peristirahatan keluarga kerajaan hingga saat ini. Pada 1965, Bhumibol tergerak juga hatinya mengeluarkan perintah untuk menyelamatkan dan merenovasi Maruekhathaiyawan serta memberi ijin sebagai tempat wisata untuk umum dengan beberapa aturan yang mesti ditaati oleh pengunjung.

Pikir saya, drama telah usai setelah kami meninggalkan Hua Hin. Ternyata, dua hari kemudian saat mengantarkan ke Don Muaeng dan Lasma iseng pengen bergambar dengan Imron, lagi – lagi dia nyeletuk,”Lip, pinjam pasangannya ya.” Apakah saya marah? Nggak, karena saya tahu dia bercanda dan saya yakin dirinya akan merindukan pejalan yang mau memasang kuping serta sesekali menimpali tuturan sejarah negerinya.
Setiap perjalanan memiliki dramanya sendiri. Karenanya selama berjalan, nikmati dan ramaikan saja drama yang tercipta. Bisa jadi potongan – potongan kisah yang terangkai secara spontan atau dengan sengaja diciptakan lewat drama perjalanan itulah yang mendekatkan kita dengan teman seperjalanan atau malah merenggangkan hubungan satu dengan yang lain. Jadi, jangan terlalu banyak #baper! saleum [oli3ve].
kece u kak tahu sejarahnya
kebiasaan baca Win 🙂
Hahaha iya juga ya, saat ini para gadis atau perempuan jangan terlalu cepat tergila-gila pada lelaki ganteng. Lihat dulu kelingkingnya…Ngomong2 ada apa di kelingking para gay, Kak Olip? Serius nanya nih…:)
tralala trililiii 😂😂
Tadi Googling, now I know😂😂😂
mbak Eviiii 😂😂
Ternyata tak hanya kelingking kiri yg perlu diwaspadai, banyak juga clue lainnya. Eureka!!!!
iyaaaa, sudah tahu kan? 😆😆
Hahaha…Yes. Thank you
Hahaha. Aku ngakak kak Olive dikira pasangan lesbi 😀
Syok juga mengetahui fakta bahwa hanya 1 dari 10 pria Thailand yang normal. Mungkin karena sudah dibebaskan dan jadi keenakan, yang tadinya normal pun jadi gay karena pengaruh pergaulan.
Anyway, nice writing kak. Thank you sudah berbagi sepenggal sejarah Thailand 🙂
pernah ditowel2 banci minta digodain, dipelototin dianya kabur 😂😂
Hahahahaha, di Thailand juga?
di Jakarta, kalo di Thailand cowok kan yg ditowel 😂
Oh iya bener-bener
perjalanan kadang enak solo travelling, banyak drama yang bisa dirasakan sendiri ya kak..
dan ditelan sendiri kalo sedih hahaha