Makanan apa yang membuatmu merindukan Bali? Yang menyenangkan dan bangkitkan anganmu ingin kembali ke sana? Babiiiiii!! Idiiiihhh, haram Lip! Iya kalo kamu hanya mengidam – idamkannya saja dan setiap waktu membayangkan bagaimana rasanya begitu menggoda hingga ujung lidahmu tak berhenti meraba – raba tuk mengecapnya.
Eh, iya nggak bagus keseringan makan daging babi, apalagi kalau berjumpa wuenaknya bisa kecanduan. Kawan saya yang gemar memasak daging sapi kaki pendek itu sering mengingatkan,”Hati – hati kebabian lho, Lip!” Upssss 😉

Memang susah melepaskan diri dari nikmatnya lauk satu itu meski jujur ayam, saya bukanlah penggemar (daging) babi sejati. Saya hanya lahap menikmati sajian daging babi saat pulang ke Toraja dengan mengolahnya sendiri atau mendatangi kedai sederhana yang menjual aneka lauk dari babi. Di tempat lain, otak saya akan berputar ribuan kali hingga lauk di meja habis jadi rebutan tangan – tangan maniak babi, baru otaknya mengambil keputusan akan menuangkannya ke piring atau tidak?
Ada enaknya juga sih nggak gemar menikmati daging babi di luar Toraja, lonjakan girang kolesterol bisa dijaga. Badan memang kecil, tapi jangan tanya soal kolesterol dan asam urat yang gampang banget melonjak jika diberi kesukaannya. Karenanya, mata saya bisa tahan pada godaan lomok – lomok panggang di lapo atau pun kedai Mandarin yang melambai – lambai pada yang berlalu – lalang di depannya. Bisa dihitung dengan lima jari tangan kanan koq berapa kali dalam setahun lidah saya bersentuhan dengan daging babi. Etapi Sabtu kemarin saya khilaf melihat potongan – potongan pork ribs tersaji di meja.
Lha, koq bisa tahan godaan? Karena rasa daging babi Toraja berbeda dengan rasa daging babi di tempat lain. Meski diolah dengan bumbu yang sama, tetep buat saya lebih juara daging babi yang dibesarkan di Toraja. Nggak percaya? Cobain aja … bandingkan tekstur daging serta rasanya 😉

Tapiiii … nggak sah ke Bali bila tak mencicipi daging babinya!
Setelah menikmati makan siang Nasi Campur di Pasar Gianyar, dua hari kemudian saat hendak beranjak dari Singapadu, Ubud ke Legian, tak sengaja mewangi Sate Babi di depan Puri Sangsi. Meski sudah berjanji tak akan makan lauk babi siang itu karena malamnya akan melahap daging babi di Bloem’s Waroeng, si lidah nggak bisa ditenangkan. Aroma dan wangi yang menyusup ke dalam kendaraan terbawa angin siang itu benar – benar menggoda rasa dan menggelitik lambung.
“Bli, boleh berhenti sebentar? Saya penasaran dengan asap yang mengebul dari tenda itu.”
“Suka sate babi mbak? dari wanginya sudah ketahuan bumbunya kental, pasti enak.”
“Iya, Bli, menggoda banget.”
Tak menunggu lama, setelah memarkir kendaraan, saya bergegas menghampiri tenda berasap di pinggir Jl. Delod Puri itu. Semakin dekat ke sumber asap, semakin tajam pula aromanya. Di atas perapian berjejer tusukan – tusukan daging yang dibakar dengan bara, dikipas dengan kipas angin kecil sembari dibaluri bumbu, dibolak – balik ibu pemilik warung tenda agar matangnya merata dan tak gosong. Sesekali terlihat api menjilat ujung daging saat sari paduan bumbu yang meresap ke dalam daging menetes dan mengagetkan bara.

Iman saya goyah! Dia lupa pada janji untuk tak menyentuh daging babi sebelum malam datang. Tiga porsi sate babi + lontong pun dipesan untuk dibungkus lengkap dengan krupuk kulit babi tentu saja. Agar masih dianggap setia pada janji, saya menahan diri untuk tak membuka bungkusan itu di mobil hingga tiba di Legian. Menikmati makanan setelah menenangkan diri dan memintanya bersabar, membuat syukurmu tak habis pada setiap rasa yang dikecap oleh lidah.
Buat yang penasaran dengan lokasi tenda si ibu sate, patokannya kalau ke Ubud adanya Singapadu depan Puri Sangsi, tepat di seberang Jl Dangin Puri, jalan masuk ke The Sanctoo Villa. Selamat makan siang, saleum [oli3ve].
Sampai saat ini, ada satu hal yang masih diingat dari Bali. Soal tulisan yang terpampang di sebuah spanduk. Isinya: “Jangan noleh ke kanan dan jangan mampir, ada sate babi di sini”.
Mau coba sih, tapi ya gitu lah… 😀
hahaha … kalo saya yang baca itu spanduk pasti noleh
Aku juga noleh sih, tapi ga mampir. haha
“Kebabian”…. ngakak saya 😀
Katanya tekstur dagingnya lembut ya Mba, hahaha..denger” cerita dari temen-temen yang menikmati Babi kecapnya…
iyaaa 😉