“Kartu pers!”
Lelaki berseragam yang duduk di depan pintu menahan langkah yang siap diayun melewati pintu kaca di samping kanannya. Ah, lelaki kurus dengan bedil dibiarkan menggantung di pundak itu buang muka saat kutunjukkan selembar undangan elektronik lewat gawai.
“Pokoknya nggak bisa mbak, harus ada ID pers atau telpon aja yang kasih undangan suruh jemput di pintu,” katanya memberi penjelasan dengan penekanan pada kata ID dan PERS, mukanya menoleh ke temannya yang berbatik. Ketika ditawarkan kartu nama, lelaki itu tak mau tahu. Harus mengenakan kartu yang dikeluarkan tempat mengabdi dengan tulisan pers yang mencolok, dan dikalungkan di leher. Kekeukeuhan si bapak membuatku berpikir untuk membuat gantungan pengenal bertuliskan pers kuburan š
Dua jurnalis berkaos polo dengan logo sebuah kantor berita terpampang di dada yang datang menenteng tripod disapanya dengan ramah,”Lhoo … tadi bukannya sudah ke sini sama bapak (maksudnya pak presiden)“?”
“Iya pak, balik liputan ke istana bentar belum sempat mengambil gambar di sini.“
Beruntung tak perlu menunggu hingga belasan purnama tersengat matahari yang jatuh di depan pintu. Eyang Dipa yang bergegas dengan Kyai Gentayu menjemputku di beranda. Kulihat matanya berkobar, meski sedang tergesa, tak lupa ditunjukkannya arah ke mana kaki harus melangkah. Kubalikkan badan ke depan pintu dan mendapati potret dirinya tergantung di dinding kanan pintu masuk. Di dinding kiri berjejer Ibu Tini, Pak Dirman dan Pak Tjokro.
Lima lukisan tokoh pelopor perjuangan kemerdekaan Indonesia karya para maestro seni lukis itu menyambut langkah setiap pengunjung yang datang ke pameran 17|71: Goresan Juang Kemerdekaan. Tentu, penyambut utamanya adalah Eyang Dipa eeh … Pangeran Diponegoro Memimpin Perang, lukisan yang dikerjakan oleh Basoeki Abdullah saat berlangsungnya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda pada 1949. Empat lukisan lain di beranda itu, ada Potret Pangeran Diponegoro hasil sapuan kuas Sudjono Abdullah, kakak Basoeki Abdullah dan Potret RA Kartini yang dilukis oleh Trubus Sudarsono di Gedung Agung Yogyakarta pada 1946/1947. Di samping Kartini, berdiri Jenderal Sudirman yang dilukis di atas triplek oleh Gambiranom Suhardi dan H.O.S. Tjokroaminoto hasil karya Affandi.
Kelima lukisan di atas adalah bagian dari 28 lukisan koleksi istana kepresidenan RI karya 21 pelukis yang dipamerkan untuk publik sepanjang Agustus ini di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta. Lukisan-lukisan tersebut dipajang dalam 3 kelompok besar: perjuangan bangsa di mata para maestro seni Indonesia, saksi senyap proklamasi berupa sebuah lukisan reproduksi karya Henk Ngantung, dan hasil-hasil kemerdekaan.
Dulu, semasa Soekarno menjadi presiden, dirinya yang pecinta seni dan pelukis (termasuk seni mencintai dan melukis[kan] wanita) tak pernah lelah mengumpulkan ragam benda seni untuk dipajang di 5 (lima) istana kepresidenan; entah itu di Bogor, Cipanas, Merdeka, Yogyakarta dan Tampak Siring, Bali. Pernah nggak membayangkan dan mengira-ngira berapa besar nilai benda–benda seni koleksi istana kepresidenan RI yang jumlahnya ribuan itu?
Di ruang tengah kembali kujumpai lukisan Raden Saleh, Penangkapan Pangeran Diponegoro. Setiap pameran di sini, lukisan itu selalu digantung di ruang yang sama. Yang membedakan, kali ini dia dipajang menghadap ke dalam bukan ke arah pintu masuk. Hmm .. tahu berapa harga lukisan yang dibuat pada 1857 di Belanda ini? Lukisan yang sebelumnya diberikan kepada Ratu Victoria dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia pada 1978 ini, menurut Mas Mikke Susanto, kurator pameran 17|71; pada 2010 aja ditaksir oleh Departemen Keuangan sebesar 48 milyaaaaar saja.
Melangkah ke dalam ruang kenusantaraan yang memajang karya lukis yang menunjukkan masa kemerdekaan, terpajang beberapa karya pelukis dari luar. Salah satunya, Empat Gadis Bali dengan Sajen karya antropolog Meksiko, Miguel Covarrubias; membuat Bali mulai dikenal sebagai destinasi wisata pada 1930an. Selain lukisan ada pula foto-foto serta buku koleksi benda-benda seni era 1956 – 1965 yang dibubuhi tanda tangan Soekarno. Foto-foto tersebut dipajang di dua ruang yang berbeda, sedang buku-buku ditempatkan dalam etalase kaca.
Ada 3 (tiga) lukisan perempuan yang menarik di pameran ini. Gadis Melayu dengan Bunga karya maestro lukis dunia dari Meksiko, Diego Rivera. Lukisan langka dan sangat dirindukan untuk dibawa pulang ke Meksiko ini sebagai bukti kelihaian Soekarno merayu. Entah kata apa yang disenandungkanya hingga Lopez, presiden Meksiko kala itu merelakannya dibawa ke Indonesia. Yang kedua adalah karya S. Sudjono, Di Depan Kelambu Terbuka. Ia melukiskan Adhesi, seorang perempuan dari kelas bawah, teman hidup sang pelukis; terduduk di atas dipan dengan kelambu yang terbuka. Yang terakhir adalah perempuan misterius bernama Rini yang dilukis oleh Soekarno semasa berlibur di Bali pada akhir Nopember1958. Sampai hari ini, tak ada yang tahu siapakah gerangan Rini yang telah menggerakkan hati dan tangan Soekarno untuk melukiskkannya di atas canvas yang ditinggalkan Dullah, pelukis istana masa itu.
Nah, bila ingin berkunjung ke pameran 17|71, kubagi sedikit tip agar kamu nyaman berkunjung:
- Pameran ini GRATIS, jadi tak perlu pusing dengan HTM
- Registrasi pakai Bek-ID. Penyelenggara membatasi maksimal 130 pengunjung per 2 (dua) jam yang dibagi dalam 2 (dua) kloter masing-masing jam. Menghindari berdesakan di tempat registrasi saat datang, sebaiknya daftarkan kedatanganmu lewat Bek-ID. Aplikasinya diunduh dulu lewat GooglePlay Store ke gawai kamu. Dengan Bek-ID, kamu bebas menentukan tanggal dan jam berapa hendak berkunjung serta berberapa orang, dengan melihat kuota yang tersedia per jam kunjungan.
- Nggak usah bawa tongsis, ntar pasti nggak dibolehin juga sama petugas untuk foto ala-ala.
Keluar dari ruang pameran, kulupakan lelaki berseragam di depan pintu yang telah membuka daun pintu lebar-lebar kepada pengunjung lain tanpa mengajukan tanya seperti kepadaku. Memanglah setelah di dalam pengunjung akan merasa nyaman dan santai untuk melihat-lihat, tak ada kesan penjagaan super ketat. Tapi sesuai pesan mas Mikke saat ngariung di ruang tengah,”hati-hati saja, di sini banyak mata-matanya!” Ya terang saja, nilai benda yang ada di ruang pamer itu kan tak terhingga. Saleum [oli3ve].
Sesudah menanti belasan purnama, Rangga melirik Olyvia.
Sejenak ia menatap mata gadis itu, yang ditatap tersipu malu.
Rangga berbisik di telinga Olyvia, membuat Olyvia terbelalak.
Apa yang Rangga bisikkan?
Ada apa dengan Olyvia?
Ke mana Cinta?
*ini mau niat komen engga sih
Ternyata cinta dibawa hatinya Karno hahahaa
ya ampun, 48 M, bisa beli pesawat mbak hahaha, pantes aja yg jaga galak :p
buat jalan2 sampai pegel yak š
Wahhh.. udah lama gak main ke galeri nasional..
dulu mah rutin minimal sebulan sekali kesana…
tapi sekarang???
*tanya kenapa*
kenapa? š
Aku masih penasaran sama galerinya Mba, dan aku belom pernah kesana dong. padahal bagus banget pameran2nya, mau kesana ah jadwalin hehehe