Ngurah Rai bersiap tidur saat langkahku memasuki pekarangan rumahnya. Hanya beberapa lampu yang masih menyala di rumah itu. Hari memang sudah larut malam, kutengok tanda waktu di pergelangan tangan kanan, pk 23.30. Untuk ukuran Jakarta, mungkin masih sore. Entah di tempat lain, tapi malam itu, Ngurah Rai sudah beranjak ke petidurannya.
Empat tahun berlalu sejak terakhir kali aku berkunjung ke sini. Rumahnya sudah dibaharui, lebih lega, dan terlihat lebih bergairah. Meski aku tak terlalu berhasrat untuk menyapanya seperti mereka yang bisa setiap akhir pekan mondar-mandir menjenguknya, malam ini aku pun mampir lagi.

Pk 07.15 saat Putu tergopoh-gopoh menjemputku. Seharusnya kami bertemu pk 08.00, namun rupanya begitu membaca pesan yang kukirimkan padanya, dia bergegas datang. Bersama kami meninggalkan Ngurah Rai sesaat setelah dirinya mulai disibukkan melayani hilir mudik manusia dengan ragam bawaannya yang datang dari pagi buta. Setelah menyempatkan sarapan Nasi Pedas, kami beranjak dari Denpasar menuju ke timur. Menurut Putu, jika perjalanan lancar dalam 1 (satu) jam kami akan sampai ke Kusamba, tempat yang memang aku tuju sedari awal. Jadi, aku bersiap menikmati perjalanan dengan tidur karena mataku tak sempat terpejam meski sudah selonjoran 7 (tujuh) jam di Ngurah Rai.
Kusamba, sebuah desa di Klungkung, berada di selatan Bali. Dahulu Klungkung adalah pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan di Bali dan Kusamba kota pelabuhannya. Hari itu, 24 April 1849, I Dewa Agung Istri Kanya, penguasa Klungkung, bersama rakyat Bali bangkit untuk melawan Belanda. Perang hebat pecah di Pura Gua Lawah, sebelah timur Kusamba, berlangsung tak imbang. Pasukan Klungkung dipukul mundur hingga Kusamba jatuh ke tangan Belanda. Untuk merebut kembali Kusamba, malam harinya I Dewa Agung Istri Kanya mengatur siasat untuk menyerang pasukan Belanda yang berkemah di Puri Kusamba.
Pagi buta, laskar Klungkung menyerang Kusamba. Peristiwa Aceh seperti berulang ketika Kohler tersungkur di halaman Masjid Baiturrahman. Andreas Victor Michiels, pemimpin invasi Belanda ke Bali, yang saat itu sedang berdiri di depan pintu Puri Kusamba, terjerembab oleh tembakan meriam canon. 25 April saat hari beranjak menuju pagi, Michiels menghembuskan napas terakhirnya. Jasadnya dibawa pulang ke Batavia dan dimakamkan di Kebon Jahe Kober, Tanah Abang.
Aku terbangun saat pepohonan yang batangnya besar-besar dengan daunnya yang rimbun tersenyum di kiri kanan jalan menyambut kedatangan kami di Klungkung. Dari jalan yang lebar, kami berbelok ke jalanan yang menyempit dengan lambaian sawah yang menghijau di belakang rumah-rumah penduduk yang kami lewati.

Pk 08.15 kami sampai di Pelabuhan Kusamba. Tepat sejam seperti yang diperkirakan oleh Putu. Pemandangan yang masih sama seperti dahulu, perahu – perahu ditambatkan di sepanjang bibir pantai. Satu-satu lelaki kulihat mondar-mandir ke perahu itu menggotong galon di depan belakang. Ketika kutanya, mereka bilang,”Untuk minum di Nusa (Penida, Lembongan, dan Ceningan, gugusan pulau dalam wilayah Kabupaten Klungkung)“.
Angin bertiup sepoi-sepoi, mengantarkan wangi garam dari tengah lautan. Kemana gerangan para petani garam, yang biasanya berkumpul di tepian? Yang tampak sedikit lebih rapat ke daratan, hanya tiga orang lelaki sedang mengetam kayu di atas calon perahu yang sedang dibuat. Beberapa perempuan berkerumun di sebuah bale sederahana di belakang calon perahu itu. Saat kudekati, mereka sedang mengerumuni ikan hasil tangkapan dari laut. Mungkin sedang menimbang akankah dibeli untuk dibawa pulang dan dibuat sate lilit, ataukah menanti yang lain?

Jelang 60 tahun berlalunya Perang Kusamba, perang besar kembali pecah di Klungkung. 21 April 1908, kapal – kapal Belanda yang dikirimkan dari Batavia kembali mendarat di Kusamba dan perairan Jumpai. Mereka datang untuk menyerang Klungkung dari segala penjuru. Pada 28 April, Raja Klungkung, Ida Dewa Agung Putra Jambe bersama seluruh keluarga dan rakyatnya berpadu mengerahkan semua kekuatan yang mereka miliki. Mereka bertempur habis-habisan. Sampai habis, habis tak bersisa, puputan. Peristiwa yang kemudian dikenal dengan Perang Puputan Klungkung.
Di jantung Smarapura, ibukota Kabupaten Klungkung, tempat pertempuran hebat itu terjadi seabad yang lalu; kini tegak berdiri sebuah monumen peringatan; Monumen Puputan Klungkung. Potongan kisah pertempuran dan peristiwa penting lain yang berkaitan dengannya dapat dijumpai dalam bentuk diorama di dalam monumen ini. Bila ingin lebih mengakrabi kisahnya, mampirlah ke Museum Semarajaya di seberang Monumen Puputan Klungkung.


Langkahku kini menjejak di pelataran Kerta Gosa. Sebuah bale yang dahulu melengkapi Puri Klungkung, dibangun oleh Ida Dewa Agung Jambe pada 1686. Setelah Puputan Klungkung, hanya ia yang tertinggal, bisu bersama Bale Kambang yang berdiri di sebelahnya. Pada langit-langit Kerta Gosa, terlukis cerita perjalanan spiritual Bima Swarga berisi pesan akan karma phala atas laku setiap manusia di Swarga Loka selama mendiami bumi.
Dahulu, Kerta Gosa adalah ruang pengadilan istana. Sedang Bale Kambang adalah tempat pelaksanaan upacara keagamaan. Ia berdiri di tengah-tengah kolam teratai, dipagari para penjaga dari cerita Ramayana dan Sutasoma yang jalinan kisahnya terlukis pada langit-langitnya.

Dua bulan selepas dari Klungkung, aku pergi menjumpai Opa Michiels di Kebon Jahe Kober. Ia yang kini tidur dalam damai, tak lagi menyimpan kesumat di hatinya. Hadirku hanya untuk menyampaikan pesan bahwa aku telah memenuhi Panggilan Dewa Agung Jambe, saleum [oli3ve].
Putra Mahkota Klungkung yang gugur itu kayaknya masih anak-anak ya kak? Atau itu cuma potretnya di kala anak-anak aja?
waktu perang memang masih kecil kk Bart
Ah, saya tertarik dengan cerita historis ini. Bali sudah lama memikat, bukan hanya alamnya. Oh iya, lihat buku tamu itu jadi tergelitik 🙂
buku tamunya kenapa Rifqy? namanya banyakan bule ya, namaku kebule2an juga kan? 😂😂
Jangan-jangan kalau yang gak ngerti, mbak Olive dianggap orang asing yang berkewarganegaraan Indonesia 😀
Tulisannya enak dibaca kak, jadi serasa ngikutin perjalanannya 🙂
Btw, saya tertawa terbaha-bahak pas liat foto buku tamunya, ternyata ada orang gila yaa hahahaha
Hi Bayu, makasih sudah mampir
kata orang kalo suka terbahak sendiri itu bisa dicurigai gila lho hahaha *peace*