Aku baru saja duduk dan menanggalkan lelahku setelah seharian berjalan mengitari Ampang ketika tetangga sebelah yang juga baru kukenal dari sapanya, mampir dan mengajakku ke rumah Teja. Katanya, “Teja dan Mamat nak kenduri malam ni, mari kita tengok bisa bantu apa.” Sudah menjadi adat di timur, bila melihat tetangga sibuk maka sebagai tetangga yang berpengertian dan wujud toleransi, kita pun turut sibuk memberi bantuan. Lagi pula sebagai pendatang di kampung Ampang, aku melihat ini kesempatan baik untuk memperkenalkan diri serta mengenal lebih dekat mereka yang telah lebih dulu berdiam di sini.
Teja baru saja melahirkan puterinya yang pertama. Dia yang tak bisa diam, menyambutku dengan senyum ramah sembari menggendong bayinya. Kulihat semua orang sibuk di pekarangan belakang rumah yang berubah menjadi dapur. Muka-muka girang terpancar lewat canda tawa di sela tangan yang terus bekerja. Tugasku ringan saja. Pekerjaan yang sudah biasa kulakukan semasa masih tinggal di kampung dahulu. Menggerus bumbu hingga halus menggunakan ulekan dari kayu.
Kuala Lumpur pada awal 1880 riuh dengan pelombong (= penambang timah) yang berduyun-duyun datang untuk mengejar mimpi. Mereka meninggalkan pelombongan di Lukut, Malaka, Muar, dan sekitarnya; turun ke tempat pelombongan yang baru dibuka, di tempat bibir Gombak dan Klang saling memagut rindu; Ampang. Di tempat ini mereka berbaur dengan penduduk setempat yang pula datang dari beberapa kampung serta para pedagang yang datang dari India maupun daratan Cina. Sedang aku? Oh, ya … aku yang sore ini hadir di tengah mereka memanglah sengaja jauh – jauh datang untuk menyelami keseharian mereka di pelombongan. Aku ingin menuliskannya sebagai pengingat jejak ketika masa berganti dan engkau merindu untuk menikmatinya meski hanya lewat seulas kenangan.
Kisah di atas adalah penggalan babak kedua Our Story of Kuala Lumpur, The Musical yang dipentaskan di Panggung Bandaraya, Kuala Lumpur. Sebuah kisah yang berawal pada 1857 saat Raja Abdullah dari Selangor memerintahkan untuk membuka tambang baru di Lembah Klang. Ia meminta para pelombong Cina yang dipekerjakan di Lukut untuk turun membabat hutan dan membuka area tambang timah baru di sepanjang aliran Sungai Gombak dan Klang.
Cerita bergulir melalui lika-liku persahabatan 3 (tiga) orang pemuda: Mamat, Meng dan Muthiah. Tiga sosok yang menggambarkan pertemuan 3 (tiga) rumpun budaya besar yang membaur dan berakar di Malaysia: Melayu, Cina dan India. Roda kehidupan tak selalu mudah, ada kalanya naik ada masanya turun. Demikian juga dengan persahabatan dan keseharian Mamat, Meng dan Muthiah. Ada saat mereka bertempik sorak, ada kalanya berselisih paham, menghindari pertemuan dan mengejar mimpi masing-masing mengikuti naluri dan kesenangan. Pun ada masa mereka saling merindukan ketika waktu membuat mereka terpisah jarak serta saling mengingatkan ketika langkah goyah dan tak tentu arah.
Pada 1867, Inggris menguasai Perak, Pahang, Selangor dan Negeri Sembilan. Pada 1880, Kuala Lumpur menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Selangor. Di awal 1881, kebakaran hebat melalap Kuala Lumpur membuat mereka ketakutan dan nyaris putus asa. Pada saat itu, yang bisa dilakukan hanya pasrah dan berserah dalam doa menurut keyakinan masing-masing pada Sang Khalik. Doa mereka didengar, hujan turun meredakan amukan si jago merah. Namun, masalah tak langsung berhenti. Hujan deras yang turun terus menerus di penghujung tahun menimbulkan bencana baru. Pada Desember 1881, banjir besar meluluhlantakkan Kuala Lumpur.
Bencana yang silih berganti melanda, menyadarkan manusia akan arti harmoni kehidupan. Bahwa kita hidup saling berbagi dan membantu satu dengan yang lain. Ketika semua harta yang kau kumpulkan dengan berlelah habis dalam sekejap, apa yang akan kau lakukan? Jangan kau cabut akar semangatmu! Jangan kau padamkan sumbu yang masih memantikkan asa yang tetap melekat di dalam dirimu! Bangkit dan teruslah bangkit, jangan menyerah.

Belajar dari pengalaman, pada 1882 ketika Frank Swettenham menjadi Residen Selangor, dirinya mengeluarkan perintah untuk menata kota Kuala Lumpur. Rumah-rumah yang tadinya berdinding kayu dan beratap nipah, diganti menjadi bangunan berdinding bata, berlantai ubin dengan atap genteng serta harus dipisahkan oleh jalanan yang lebar. Ia mencanangkan proyek ini dikerjakan dalam 5 (lima) tahun, jejak-jejak masa yang bisa kamu jumpai saat ini di seputar Merdeka Square. Pada masa itu pula, Swettenham membuka jalur transporasi untuk memudahkan menjangkau kota dengan membangun jalur kereta api yang mulai dioperasikan pada 1886.
Tiada terasa, aku pun ikut menari di jelang penghujung pertunjukan yang berlangsung selama 60 menit itu. Aku masih menghitung hari-hari yang berlalu. Seratus tahun setelah dibukanya pelombongan Klang, Malaysia menyatakan kemerdekaannya dan Kuala Lumpur menjadi ibukota negara pada 31 Agustus 1957. Satu setengah abad berlalu dari waktu pertemuanku dengan Teja dan kawan-kawan, aku tersadar kembali di masa kini. Aku menikmati orgasme tingkat dewa, di salah satu bangku di ruang teater dalam gedung yang dibangun pada 1896, di depan muara tempat Gombak dan Klang saling memagut; Panggung Bandaraya.
Our Story of Kuala Lumpur mulai dipentaskan pada 21 Juni 2014 untuk menghidupkan kembali Panggung Bandaraya atas kerjasama Kuala Lumpur City Hall dan Enfinity Vision Media. Panggung Bandaraya atau MUD (sebelumnya Dewan Bandaraya Kuala Lumpur) sedari awal dibangun sebagai pusat kegiatan kesenian seperti pentas teater dan musik. Dirancang oleh arsitek Inggris, Arthur Benison Hubback yang juga merancang Masjid Jamek serta bersama AC Norman merancang bangunan Sultan Abdul Samad.
Our Story of Kuala Lumpur, Theater Musical
Panggung Bandaraya (MUD)
Jl Raja, Dataran Merdeka, 50350 Kuala Lumpur
HTM RM 84.80 (MyKad RM 53)
Jam pertunjukan pk 15:00 dan pk 20:30
Telp: +603-2602-3335
Website: http://www.mudkl.com

Tomorrow begins today! Apa yang kita lakukan hari ini, akan berdampak di kemudian hari. Mungkin usaha yang kamu kerjakan hari ini terlihat datar-datar saja, jangan pernah goyah. Kerjakanlah terus dengan sepenuh hati, karena buah dari ketekunan adalah berkat luar biasa yang menantimu di depan sana. Berkat tak melulu materi, dia hadir lewat indahnya persahabatan yang kan selalu menemani kala susahmu, abadi tak pupus digerus masa.
Sedikit saranku, sebelum menikmati pertunjukan di MUD, di pagi hari, pergilah dahulu ke KL City Gallery. Jelajahi perjalanan Ah Loy, Opa Swettenham dan seluk-beluk pelombongan agar kau bisa menyerap jalinan kisah antara Gombak dan Klang untuk meresapi dan menyelami Our Story of Kuala Lumpur. Bekali dirimu dengan sapu tangan atau tisu, agar saat engkau terhanyut hingga air bening meleleh di pipimu, kau tak pura-pura membuka tutup tas. Pentas yang sangat menyenangkan didukung tata panggung yang menarik dan pemain profesional yang berlenggok bersama alunan musik dan syair yang kan membawa rasamu hanyut babak demi babak hingga enggan untuk beranjak dari bangku saat semua orang bersiap untuk keluar dari ruang teater.

Sekarang kamu tahu kan dari mana asal kata Kuala Lumpur? Ya, kuala atau muara yang berlumpur, ia hadir ketika Sungai Lumpur (kini Gombak) dan Sungai Klang mencapai orgasme di tempatku kini duduk dan berdiam.
Mungkin dirimu akan bertanya, kenapa ada si aku di kisah itu? Sudah kukatakan di awal kisah, aku datang untuk menuliskan jejak mereka karena di sore yang riuh itu, aku ada di sana! Pada masa awal abad 19, di atas Panggung Bandaraya! Tak mengapa kamu tak percaya, meski hanya sekejap saja tapi aku ada di babak kedua pentas teater musik di gedung heritage, Panggung Bandaraya, Kuala Lumpur, saleum [oli3ve].
masih terngiang lagu yang dinyanyikan oleh Teja…
lagu sedih itu ya, yang sembari sesenggukan di pojok menanti Mamat pulang?
Gw baru tau kalo KL juga ladang timah dulu nya
iya kak Cumi, di seputaran kota tua di Ampang tuh
Kak Olive… arghtt aku jatuh hati pada penggalan kalimat :” Aku ingin menuliskannya sebagai pengingat jejak ketika masa berganti dan engkau merindu untuk menikmatinya meski hanya lewat seulas kenangan.”
Keren 🙂
hahaha … enak juga kalimat itu kalo diresapi ya *jadi berasa romantis deh*