Mentari masih betah meringkuk di peraduannya saat aku bergegas turun ke pelataran parkir memanggul JLo dan Meywah yang terasa semakin berat saja meski bebannya tak bertambah. Semalam, Juliana, kawan yang kutumpangi di Cheras sudah mewanti-wanti. Kalau kita keluar di atas pk 07.00 pasti terjebak macet. Jadilah kami bangun pagi-pagi sekali meski semalam baru kembali ke rumah setelah berpusing-pusing di seputar Cheras, Kajang hingga Kuala Lumpur sampai jelang pagi. Benar saja, begitu melaju di jalan raya Cheras – Kuala Lumpur, kendaraan kami pun ikut merayap. Untung saja pagi itu kami hanya akan berputar di Jl Kuari, dan mencari jalan masuk ke Cheras Cemetery jadi tak khawatir berlebih terjebak di kemacetan.
Tak ada yang bisa menghentikanku untuk terus memikirkannya semenjak pertama kali mendengar namanya disebut. Gurney, nama yang identik dengan tepi pantai, tempat yang sering sekali dijadikan sebagai titik pertemuan di George Town, pula sebuah pusat perbelanjaan yang ada di depannya. Siapa yang tak kenal dengan Persiaran Gurney? Plaza Gurney? Nama yang menghadirkan tanya, siapa dan kenapa namanya melekat pada beberapa nama tempat di Malaysia?
Tepat setahun lebih dua bulan, keinginan sederhanaku untuk bersua dengannya mewujud. Bukan di George Town, karena aku belum lagi kembali ke sana. Sore itu, kami berpapasan di The Gap’s Resthouse, Fraser’s Hill lalu membuat janji untuk menikmati pagi yang sejuk ditemani matahari yang ramah di Bukit Cheras. Tak usah bingung. Memang demikianlah perjalanan yang membawaku padanya.
“My first timelah sampai sini,” kata Jul saat kami berbelok ke jalan yang sepi. Kalau bukan karena dikomporin, tak mungkin pula dirinya berkeliaran pagi buta saat matahari masih enggan turun dari peraduannya. Masih pk 07 lewat, kami berhenti di sebuah pelataran yang sepi memperhatikan sinar mentari yang perlahan menyembul dari balik pepohonan, memancarkan sinar kekuningan di antara patok-patok yang bisu.

Rupanya kami berbelok ke arah yang salah. Tapi karena tak ada penunjuk arah dan tempat untuk bertanya, jadilah kami iseng mengambil jalan yang mendaki mengikuti arah datangnya matahari hingga ke atas pucuk bukit. Meski sekali lagi salah jalan, malah girang menemukan pemandangan yang indah banget.
“Olive, I tak nak turun dari mobil ya. Tugas saya cuma antar, you enjoylah.”
Diijinkan berkeliaran, tapak kaki otomatis bergerak turun menikmati kesenangannya. Loncat sana, loncat sini. Kalau tak mengingat datangnya berdua, mungkin sudah kususuri bebukitan itu dengan riang, berlarian turun dari timur hingga ke puncak sebelah barat; ke tempat Opa Henry yang terlihat nun jauh di seberang tempat kaki menapak. Ada cairan hangat yang meleleh di pipi. Ada haru yang perlahan merayap disertai debar-debar kecil yang berlarian di dalam dada. Pada puncak bukit di barat aku berbisik, sekejap aku kan menjumpaimu. Tunggulah sebentar saja, aku segera melangkah ke sana.
Dalam hitungan menit, kami sampai di depan gerbang Commonwealth War Grave Comission (CWGC). Aku bergegas masuk ke dalam pekarangan setelah minta ijin kepada seorang penjaga yang berdiri di depan gerbang. Dia tak banyak bercakap, hanya tersenyum saja. Karena sebelumnya sudah melihat bentuk pusara Opa Henry tertidur di tanah, aku pun bergerak ke sana ke mari menghampiri setiap pusara yang tidur. Tak banyak, karenanya aku bersemangat. Tapi setelah mendatangi 4 (empat) tempat, kenapa namanya tak ada? Aku mulai panik.
“Opa Henry, show me your name, pleaseeeeeeee.” Nanyang yang melihatku mondar-mandir di pekarangan, mendekat penasaran. Lewat tatapan matanya aku tahu, dirinya bertanya, siapa gerangan perempuan yang pagi-pagi melangkah tergesa-gesa dan berkomat-kamit di pekarangan CWGC. Nanyang, belum genap tiga tahun bekerja sebagai tukang kebun CWGC, tak mengerti bahasa Inggris. Ia mengatakan dirinya datang dari India, sedang temannya yang kujumpai di gerbang tadi dari Kamboja. Saat aku menggunakan bahasa Melayu yang sepotong-sepotong, dia pun tak memahaminya. Aku jadi berpikir keras. Aku harus menemukan tempat Opa Henry, maka kugunakan bahasa tarsan dengannya.
“Hei … saya nak cari hmm … Henry Gurney, British, .. hmmm …” sembari bertutur, kedua tangan kugerak-gerakkan untuk menggambarkan posisi Opa Henry semasa hidup.
Haleluyah, terpujilah TUHAN, dia mengerti bahasa tarsan yang kuperagakan. Dengan lambaian tangannya diajaknya aku melangkah keluar dari CWGC. Rupanya Opa Henry beristirahat di pekarangan sendiri yang lebih lega dan berpagar, di tengah-tengah puncak bukit. Aku meminta Nanyang untuk kembali bekerja, aku ingin berdua saja dengan Opa Henry. Dirinya enggan beranjak, matanya memandangku lekat, ada ragu di sana. Maka, dengan sangat hati-hati kusampaikan padanya agar diberi kesempatan bersendiri saja.
“Please Nanyang, you go worklah. I am ok, leave me alone.”
Meski tetap diliputi ragu, Nanyang akhirnya mengayun langkahnya. Setiap selangkah, kepalanya berpaling ke belakang. Dan setiap kali dia berhenti dan menoleh, kulemparkan senyumm untuk meyakinkannya, aku baik-baik saja.
Sepeninggal Nanyang, kucoba mengingat akan hari itu. Sabtu tengah hari, 6 Oktober 1951, ketika sebuah roll royce merayap perlahan mendaki puncak Fraser’s Hill, di jalan berkelok yang sepi. Di dalamnya duduk Sir Henry Lovell Goldsworthy Gurney dan istrinya, Lady Isabel Lowther Weir serta sekertaris pribadinya, DJ Staples. Mereka hendak berakhir pekan di salah satu vila di bukit itu. Mereka berangkat dari Kuala Lumpur pk 10.45 dengan pengawalan patroli kepolisian serta kendaraan lapis baja. Malang tak dapat ditolak, di tengah perjalanan, pasukan gerilya komunis yang telah berjaga semalam-malaman di sana menyergap dan menembaki kendaraan mereka. Opa Henry tewas, dirinya ditemukan tergeletak di dalam parit, sedang istrinya selamat. Masa itu adalah masa-masa genting, masanya Malaysia sedang berada dalam status siaga.

Dua hari kemudian, Henry Gurney dimakamkan dengan upacara militer di Cheras War Cemetery, Kuala Lumpur. Kepergiannya meninggalkan kehilangan teramat besar tak hanya bagi keluarga dan organisasinya, juga dirasakan oleh kelompok masyarakat Malaysia yang memadati hari pemakamannya. Henry Gurney menempati posnya di Malaysia sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintah Federasi Malaysia pada 1 Oktober 1948 setelah sebelumnya lebih banyak bertugas di Palestina dan negara-negara Afrika: Kenya, Jamaica dan Gana.
Pada 19 Februari 1959, sebuah operasi militer digelar untuk mengejar Siu Mah, mantan tukang masak dan penyadap getah karet yang dipastikan sebagai pemimpin pasukan gerila Partai Komunis Malaysia (PKM) di Fraser’s Hill dan bertanggung jawab atas kematian Henry Gurney. Siu Mah yang sebelumnya memimpin 200 orang pasukan, saat itu hanya memiliki 2 (dua) orang pengawal dan kehabisan makanan. Setelah delapan tahun menjadi buronan, Siu Mah tewas tertembak dalam penyergapan di tempat persembunyiannya, di daerah Ipoh Tengah.
Kubaca lagi inkripsi di atas pembaringan Opa Henry sebelum beranjak kembali ke CWGC …
In proud and loving memory of
Henry Lovell Goldsworthy Gurney K.C.M.G.
High Commissioner for the Federation of Malaya 1948–1951
Born 27 June 1898
Died 6 October 1951
Greater Love Hath No Man Than This That A Man Lay Down His Life for His Friends
R.I.P
Selamat beristirahat Opa Henry, selamat menikmati pemandangan yang indah dari atas bukit ini. Suatu hari nanti aku pasti akan kembali. Secangkir kopi sepertinya nikmat untuk disesap bersama pagimu, di sini.
Kini, janganlah heran bila berjalan-jalan ke Malaysia dan menemukan beberapa tempat yang menggunakan nama Gurney di belakangnya. Kamu tahu kan siapa pemilik nama itu?
Aku mulai mengerti kenapa khawatir berlebihan terbaca di raut Nanyang pagi itu. Sebulan sebelum kami datang ke sana, 3 (tiga) orang Myanmar ditemukan tewas dibunuh di dalam komplek Cheras. Berita itu baru aku baca saat menuliskan cerita perjalanan ini, hari ini, Jumat (10/06/2016). Andai waktu itu aku tahu lebih awal, tentu saja, aku pasti akan tetap ke Cheras menjumpai Opa Henry, saleum [oli3ve].
Semangat perjuangan dan pelayanan opa Gurney menitis ke mbak Olive tuk berburu dan berbagi kisah heroik apik. Trim mbak