+ Ketinggalan lagi deh nggak bisa ke Malang kemarin. Cukup terhibur menikmati gambar-gambarnya, melesaaaat!
– Makassar?
+ Racuuuuun 🙂 🙂
– Sengajaaaaa! Hahahaha! Kapan lagi ke Makassar Writers Festival?
+ Lalu mengecek harga tiket terbang
– Yes, pleaseeeee!
Penat yang bertumpuk dari beberapa rangkaian perjalanan dalam satu bulan ini membuat badan enggan untuk pergi jauh-jauh selain menunggu satu perjalanan saja di penghujung Mei. Namun, perbincangan Selasa pagi, dengan berbalas komentar pada sebuah gambar di fanpage facebook AriReda dengan mbak Reda Gaudiamo, di sela jadwal #StillCrazyAfterAllTheseYearsTour mereka; telah membuyarkan angan untuk bersantai dan bermalasan saja.

Tak perlu menimbang terlalu lama, sekejap saja, e-ticket terbang pergi pulang Jakarta – Makassar dengan harga murah karena tergoda promosi tiket murah di linimasa twitter, mendarat di kotak surat. Di siang hari, selagi menikmati makan kesiangan dengan dua sahabat, sebuah pesan melalui whatsapp masuk,”Mbak, bagi nomor rekening donk.” Ah, seperti kebetulan saja pesan tersebut diterima, dananya buat bayar tiket kan lumayan. Tak sampai sore, sebuah pesan lain masuk,”Mbak, saya dengar mau ke Makassar, nginap di tempat kita ya. Kamar untuk dua malam di depan Rotterdam sudah siap, nanti akan dihubungi sama yang di Makassar.” Waaaah, dengan senang hati, saya membalasnya. Tak lupa, ikon senyum lebar penuh cinta dibubuhkan di akhir pesan.
Masih tak percaya. Seperti sudah diatur dan direncanakan. Yang diperlukan tersedia untuk digunakan. Dua hari kemudian, saat pilot menghentikan pesawat yang saya tumpangi di parkiran Bandara Sultan Hasanuddin; hujan deras menyapa, selamat datang di Kota Angin Mammiri. Saya baru tersadar, telah sampai di Makassar. Sedikit meleleh, benar kataMU:
Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan ALLAH untuk mereka yang mengasihi DIA – [1 Kor 2:9]
Tergesa saya beranjak dari bandara menuju Losari dengan menumpang taksi. Ternyata, memasuki kota, udara panas. Tak basah seperti di bandara tadi. Hal pertama yang ingin dilakukan adalah bermalasan sebentar di dalam kamar sebelum mencari makan siang dan berjalan ke Fort Rotterdam, tempat untuk bersua dengan AriReda. Malam ini mereka akan tampil di pembukaan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir mampir ke Fort Rotterdam, sepuluh tahun kalau tak salah. Karenanya saat membuka pintu balkon kamar dan mendapati bangunan-bangunan di dalam Benteng Pannyyua yang dibangun pada 1545 oleh I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallona, Raja Gowa ke-9 di depan mata, mulut saya cuma melongo.

MIWF adalah festival literasi internasional tahunan, satu-satunya dan pertama di Indonesia Timur yang digelar sejak 2011 oleh Rumata Artspace, rumah budaya yang didirikan oleh sineas Riri Reza dan Lily Yulianti Farid. Tahun ini, 61 (enam puluh satu) penulis/pembicara hadir di festival yang diselenggarakan selama 4 (empat) hari, 18 – 21 Mei 2016 di Fort Rotterdam, Makassar.
Saya datang menjelang petang setelah kenyang ditraktir menyantap ikan bakar oleh seorang sahabat yang baru bersua setelah sepuluh tahun hanya berkomunikasi lewat dunia maya. Di stand Toraja saya berjumpa dengan Mita, jurnalis foto dari VOA yang seminggu sebelumnya bersapa melalui email dan Sharanya, jurnalis dari India; teman surfers Mita selama di Makassar. Beberapa kawan dari #TorajaMembaca dan #TorajaMelada juga ada di sana bersama Gus Weng (Agustinus Wibowo) yang baru kembali dari Toraja. Inilah kehidupan urban, hampir segala kegiatan bisa dikerjakan dengan bantuan perangkat digital. Terpujilah TUHAN, dipertemukan dengan orang-orang yang dengannya bisa berbagi energi positif.
Bulan purnama di atas kepala, bintang-bintang menari-nari berkilauan di langit. Di pelataran di tengah-tengah benteng, banyak orang duduk di depan panggung utama. Ada yang menempati kursi lipat yang disediakan oleh penyelenggara kegiatan, sebagian lagi memilih duduk-duduk di rumput yang sedikit basah. Bertiga dengan Mita dan Sharanya, kami memilih tiga bangku kosong yang sepertinya memang menanti kami duduki di deretan depan. Ketika tanda waktu menunjukkan pk 20.00 acara pembukaan MIWF yang dijadwalkan sejam sebelumnya itu pun dimulai.

Acara dibuka dengan penampilan Taman Cahaya membawakan I La Galigo: The Beginning, dilanjutkan omong-omong dari Lily Yulianti Farid sebagai yang empunya kegiatan. Nirwan Arsuka, pencetus perpustakaan bergerak, selanjutnya mengisi pentas dengan tangan bergetar membacakan sebuah tulisannya. Lalu, ada Colli’ Pujie, film pendek karya Andi Burhamzah, sineas Makassar, memukau mata, bercerita tentang juru tulis Makassar, Retna Kencana Colli’ Pujie yang dengan penuh kesabaran menyalin ceceran tulisan naskah I La Galigo pada 1815. Setelahnya, Deborah Emmanuel dari Singapura membacakan beberapa puisinya.
AriReda tampil di penghujung acara, diberi waktu 10 menit saja untuk membawakan 6 (enam) buah musikalisasi puisi. Senang sekali, mereka membukanya dengan puisi kesukaan; Nokturno, yang jarang-jarang diperdengarkan. Lalu berturut-turut mereka pun melantunkan 4 (empat) puisi pengurai kenangan, Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate San Fransisco, Akulah Si Telaga, Hujan Bulan Juni, dan Sajak-sajak Kecil tentang Cinta. Saya melihat, di kiri kanan saya sekelompok anak muda yang mendesah-desah, terhipnotis oleh bait-bait puisi yang disenandungkan. Sebagai pamungkas, Aku Ingin, puisi karya Sapardi Djoko Damono yang selalu dinanti oleh penggemar AriReda dilantunkan juga. Penonton tak puas, mereka masih saja meminta beberapa lagu. Dengan penuh senyum, Mbak Reda meminta mereka untuk datang lagi esok hari, di tempat yang sama, akan ada puisi-puisi lain yang didendangkan. Panggung diserbu, semua ingin bergambar bersama. Melihatnya, saya hanya tersenyum, teringat masa-masa tak pernah absen mengejar AriReda, delapan tahun yang lalu.

Setelah semua puas bergambar, saya baru sadar belum punya bukti gambar bersama. Rasanya tak afdol datang ke sini bila tak ada tanda kenangan. Jadilah kami tergesa bergambar sebelum meninggalkan pelataran Rotterdam. Meski hasilnya sedikit blur, tak mengapa, saya punya bukti. Panggung sudah sepi, kami berjalan ke Kampung Popsa, pusat jajan di seberang Fort Rotterdam. Mbak Reda dan saya sepakat memesan Teh Tarik Panas yang rasanya sangat manis dan seporsi Singkong Goreng yang terlalu garing tapi koq ngangenin untuk digigit ;). Yang lain memesan beberapa botol bintang yang dingin agar bisa tidur nyenyak setelah lelah seharian. Di beranda belakang kami duduk mengitari dua meja yang digabungkan dengan pemandangan lampu-lampu kapal di Pelabuhan Soekarno Hatta. Rasa penat tak dirasa lagi padahal semalam tak tidur banyak dan baru kembali ke hotel setelah berbincang ke sana ke mari (hmm .. lebih banyak menyimak sih sebenarnya hahaha) dengan beberapa kawan baru hingga kedai-kedai di Kampung Popsa telah sepi.
Peluk hangat dan terima kasih sangat mbak Reda yang telah memberi sundulan kecil tuk mengambil keputusan super kilat, menyusul ke Makassar. Dari sekadar ingin berjumpa (lagi) dengan AriReda, malah bertahan hingga hari ketiga. Sukses selalu untuk AriReda. Senang sekali berada di sini, menikmati yang menarik hati, menambah bekal amunisi untuk mengerjakan beberapa ide kecil; semoga mewujud, saleum [oli3ve].
Diorat-oret dalam perjalanan Makassar – Rantepao, Toraja Utara
Sabtu, 21 Mei 2016 pk 22.00
Argght pengin banget bisa ke MIWF kemaren , sayangnya ketinggalan info. Semogaaa tahun depan diselenggarakan lagi.
🙂
harusnya sih tetap ada 😉
Kalo ketemu idola itu emang ya gitu deeeh.. Aku tau rasa bahagianya 🙂