bleep .. bleep ..
uhuuuuwaaaakkkk … kumuntahkan air coklat yang masuk ke dalam mulut, ada yang tertelan, sedikit ah banyak .. ughhhfff ..
bleeheeellleep … leppp … bleellppp …
ohh maaak …. mati gw … this is the time …
TUHANku ke dalam tanganMU kuserahkan jiw … bukkssss … adooooooh
punggung tipisku dicium batu kali raksasa
selagi meringis nggak karuan, ada suara-suara yang sayup terdengar … hati-hati pantat, angkaaaaat!!
Megap-megap di derasnya arus, sekali lagi punggung berciuman dengan batu, buuukkkkzz … arrgggghhh … suka-sukaMU TUHAAAAAN, suka-sukaMU TUHAAAAN …
BAPAku, haruskah berakhir di air menahan sakit seperti ini? Nggak boleh ya, selagi tidur di pelukannya? Eh, maaf, maksudnya berakhir tanpa perjuangan gini? Kuingat-ingat lagi instruksi yang diberikan di pos Gedung Ceret sebelum turun ke air tadi. Sepertinya semua SOP sudah dijalankan dengan baik. Lengan santai menempel di ban, angkat pantat saat melewati arus agar tak dicium paksa batu yang tak terlihat, goyang-goyangkan badan seperti ulat keket selagi arusnya diam saja, kalau jatuh lepaskan saja bannya nanti badan akan naik dengan sendirinya selama life jacket dipasang dengan benar blaa ..blaa …blaaa.
Sengaja kupilih tak melompat dari bendungan setinggi 2 (dua) meter dan berjalan memutar untuk turun lagi ke air karena tak ingin bannya terbalik saat hinggap ke air. Tapi, di rintangan kedua, di jeram yang deras itu, tubuhku jatuh dan sempat tersedot arus pula. Kucoba tetap tenang. Teringat perbincangan dengan si mas-mas yang entah siapalah tadi namanya, sebelum kuputuskan untuk duduk di ban.

Mas, hmmm … river tubbingnya aman kan ya?
Aman mbak, nggak usah khawatir. Setiap peserta akan didampingi satu orang skeeper (pemandu).
Bener ya mas, tanggung jawab ya. Saya nggak bisa berenang lho. Rafting sih pernah, tapi baru sekali ini mau mencoba river tubing.
Aman mbak.
Manalah si pemandu yang menemani itu? Ujung hidungnya saja tak nampak apalagi badannya? Tadi kan banku kegencet di batu, bukannya ditahan malah didorong hingga meluncur bebas. Sebodoh dengan perintah angkat pantat. Pantat kuangkat, punggung yang dihajar. Saat badan hanya timbul tenggelam di derasnya arus dan napas sesak tercekat di ujung kerongkongan; yang terpikir hanya waktuMU bukanlah waktuku. Pasrah.
Yakin mau nyerah, Lip? Janjimu sama IBU belum mewujud lho. Pe-eR tulisanmu masih banyak lho. Apa kata si jantung pisang bila melihatmu luluh lantak begini? Kemana tuh semangat juang yang katanya pantang menyerah menjalani hidup?

Menikmati river tubing di Desa Wisata Kandri adalah salah satu kegiatan yang diagendakan dalam perjalanan ke Semarang awal Mei lalu. Kegiatan yang sebenarnya ingin dihindari, tapi melihat semua peserta tak ada yang menyerah di awal, aku pun memilih untuk mencobanya. Kamu tahu kan, aku si keras kepala yang tak akan menyerah tanpa berani mencoba. Yang suka nekat keluar dari zona nyaman untuk menghadapi tantangan yang acap kali membuat orang-orang di sekitarku khawatir berlebihan.
Nikmati saja pengalaman seru ini, Lip. Hadapi, jangan diam saja. Mati urusan TUHAN, kapan saja waktuNYA kamu harus siap. Ingat, jangan menyerah tanpa pernah mencoba.
Samar dari belakang kulihat sepasang tangan yang menggapai-gapai. Entah siapa. Kaca mata sudah kulepas dari tadi, aku hanya bisa melihat bayangan. Dalam jarak 1 (satu) meter, aku mengenali suara dan bentuknya, kk Astin. Ternyata aku tak sendiri megap-megap di air. Ia mengajak menggapai tepian kali dan mencari pegangan agar tak terseret arus. TUHAN mengirimkan kawan seperjuangan yang menggapai penuh harap segera dikirimkan ban untuk dinaiki. Sebuah ban lewat, dibiarkan lepas.
Itu bukan banku, nggak ada alas pantatnya. Kak Astin menolak ban pertama yang lewat. Lucu aja sih, sudah megap-megap masih milih hahaha. Pelampung ban yang tersedia dan kami gunakan hari itu memang ada 2 (dua) macam. Ada yang menggunakan jalinan tali sebagai dudukan pantat, ada yang tidak. Entahlah kenapa pilihan bannya dibuat seperti itu. Padahal bila memikirkan kenyamanan peserta dan keamanan pantat dari benturan (terutama dengan batu), maka sebaiknya semua ban dilengkapi dengan dudukan pantat.

Yang selamat melewati rintangan kedua, satu-satu melintas. Memberi semangat pada kami yang bersandar di bibir kali, mencoba berpegangan pada tonjolan-tonjolan batu yang bisa digenggam. Seorang pemandu yang melihat dari kejauhan, berteriak memintakan ban kepada yang berjaga di atas, di mulut jeram yang tadi melumat kami. Aku meraih satu ban. Mendorongnya ke tempat yang dangkal, mengikuti instruksi si mas pemandu baik hati itu (karena di sisa perjalanan dia acap menghampiri dan mendorong ban kala arusnya sedang sepi), agar lebih gampang dinaiki. Kejatuhan tadi menjadi pengalaman yang tak akan dilupakan, sekaligus pelajaran mengatur strategi di sisa perjalanan menyusuri Kali Kreo sepanjang 3 (tiga) km dalam waktu 2 (dua) jam dengan melewati sekurangnya 20 (dua puluh) rintangan agar tak jatuh lagi. Dan, agar ada kisah yang bisa kuceritakan saat kembali dari Kandri.
Sebenarnya lagi, aku tertarik untuk menyusuri Kreo karena tuturan sejarah yang disampaikan oleh mas yang memberi pencerahan saat briefing. Lewat kali ini, duluuu, Sunan Kalijaga membawa gelondongan kayu jati yang diambil di hutan untuk tiang penyanggah Masjid Agung, Demak. Derasnya arus dan beratnya kayu yang dibawa membuat perjalanannya tak mudah, beberapa gelondongan kayu tersangkut sehingga perlu digeser. Melihatnya berada dalam kesulitan, sekelompok kera dari Gua Kreo turun tangan membantu Sunan Kalijaga. Sebagai balasannya, Sunan Kalijaga mengajak kera-kera itu bersantap bersama. Satu pesan disampaikan pada mereka agar tetap menunggu dan menjaga hutan Kreo, sampai hari ini.


Berdasarkan karakteristik atau potensi yang dimiliki sebagai persyaratan destinasi wisata, Desa Kandri, di Kecamatan Gunung Pati, yang dapat dijangkau dengan 30 (tiga puluh) menit berkendara dari Semarang ini, ditetapkan sebagai Desa Wisata. Warganya masih memelihara dan menjalankan tradisi budaya warisan leluhur, alamnya yang masih asri dan berpotensi sebagai destinasi wisata alam yang menarik untuk dinikmati, kegiatan budaya yang unik serta potensi kuliner tradisional yang enak untuk dicicipi.

Hutan dengan pepohonan yang rapat-rapat, kami lintasi selama menyusuri Kreo. Debit air sungai hari itu sedang-sedang saja. Memasuki jalur baper (= bawa perasaan), lidahku merindu wangi Sanger, pula aroma mi instan yang enak dinikmati selagi basah begini. Entah ini halusinasi ataukah karena badan yang mulai lelah berlama-lama di air, membuat lidah mendamba aneka rasa. Aku mulai menimbang-nimbang, bagi orang yang tak terlalu senang berendam di dalam air, menyusuri Kreo selama 2 (dua) jam terlalu lama. Terlebih ketika berada di jalur baper, rasa lapar itu akan menyerang setelah melewati beberapa rintangan di belakang. Aaah … harusnya ada yang melintas mengantarkan secangkir kopi panas, menawarkan camilan gorengan dan penganan tradisional, atau … singkong rebus pun tak apa. Asal kopinya tetap menyertai. Itu saja, cukup.

Kuperhatikan beberapa kawan juga tampak kelelahan dan, lapar. Di Kedung Dowo, pos terakhir, punggung yang mulai perih dan (pastinya) lebam meminta perhatian lebih. Kubisiki dia agar tak membuat ulah, kaki masih harus menanjak untuk sampai ke kendaraan yang akan mengantarkan ke Rumah Tani Kandri. Di tepian kali, di atas nampan, tersaji singkong, ketela dan pisang rebus serta air mineral; menjadi rebutan untuk menenangkan perut yang kembali merajuk. Sesampai di Rumah Tani, melihat antrian yang cukup panjang ke kamar mandi dan rasa lapar yang mendesak; beberapa di antara kami memilih untuk menikmati Sego Kethek (sego kera) dan air kelapa muda sembari lesehan dengan pakaian basah yang melekat di badan. Hari ini, saat menuliskan dan mengingat-ingat kembali perjalanan nginthir Kalijaga, aku bersyukur masih diberiNYA kesempatan untuk berjalan, saleum [oli3ve].
*****
Tulisan ini merupakan rangkaian tulisan perjalanan FamTrip #SemarangHebat bersama Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS) pada 6 – 8 Mei 2016.
ikut kak
Yuk Win
Aku mau nambahin dikit ceritanya: jadi Sunan Kalijaga membawa kera-kera itu makan di atas bukit Gua Kreo. Makanan yang disajikan adalah Sate Kambing. Nah bamboo2 penusuk sate kambingnya itu dibuang begitu saja ke dasar lembah. Pada waktu dibuang menghasilkan bunyi “krincing krincing”. Sehingga bamboo yang tumbuh di daerah sekitar Gua Kreo disebut Bambu Krincing. Konon bamboo itu kalau dibelah akan tercium bau sate kambingnya 🙂
O iya aku baca ini baru sadar kalau ternyata potensi bahaya body rafting adalah benturan bagian belakang tubuh (pantat atau mungkin tulang belakang bagian dasar) dengan batu. Itu potensial menyebabkan cedera serius. Moga-moga ke depannya lebih diperhatikan lagi masalah safety nya.
Daaaan baca ini, aku juga jadi ingat pengalaman nyaris tewas yang aku alami beberapa bulan lalu di sebuah curug di Sentul. Terseret air yang gak dalam dan hamper terlempar dari puncak curug yang tingginya 10 meteran. Pfiuuuh! *bergidik*
makasi kk Bart, tambahan infonya buat ulasan di Gua Kreo aah haha. bener kk, keamanan dan keselamatan perlu diperhatikan karena banyak yg merasa koq kliatannya gampang ya main2 di ban gitu. mungkin perlu life jacket yg menutup sampai pantat
Sama-sama kak Olive, makasih juga ulasannya. Aku jadi tau seperti apa rasanya body rafting di Kali Kreo. Soalnya pas aku kesana dan mau coba tahun lalu, operasinya sedang ditutup sementara. Tergantung musim sepertinya ya 🙂
ooh pernah ke sana toh, mungkin pas debit air lagi tak memungkinkan kk 😉
Mungkin kak 🙂
Aku udah K.O duluan kak hiksss
tapi setidaknya sudah mencoba 😉
Sepertinya seru tubing disana 😀
aku orang semarang belum pernah tubing disana –“
ternyata sego kethek itu semacam nasi campur ada sayurnya ya ku baru tau 😂.
Kalau lihat rafting-rafting gini jadi traumaaan patah tulang 😭
Strategi angkat pantatnya mungkin engga seperti di sop jadi kebentur muly
Hmm aku belum pernah nyobain tubing di sungai begini. Kayaknya seru. Dulu tubing malah di laut, bawa ban sendiri.
Tubing yang meluncur deras mengikuti air dan bagian pantat yang menyentuh air memang berpotensi membentur bebatuan di dasar sungai ya Bu..rasanya pasti sakit dan bahayanya adalah bisa sampai tergores..jadi kebayang nikmatnya menikmati Nasi Kethek setelah lapar mendera karena berjam-jam berendam di air..