Hari ini setahun yang lalu inginku sederhana saja. Rindu diberiNYA kesempatan untuk bermain-main ke Cheras War Cemetery. Sedemikian sederhananya namun buatmu terdengar aneh. Ketika yang lain membangun mimpi untuk berkeliling dunia, kenapa kamu malah membangun angan berjalan ke kuburan? Ah, selalu saja kau tak pernah mau mencoba memahami arti sebuah pilihan. Bagimu aku manusia paling aneh dengan pilihan kesenangan yang tak wajar bagimu yang merasa diri lebih wajar. Dari sudut pandangmu tentunya saja.

I am a taphophile, manusia yang punya kesenangan berjalan-jalan dan menikmati kuburan. Tempat yang banyak dihindari oleh sebagian besar manusia. Seram, banyak hantu, banyak preman, sepi, nggak gaul dan aneka alasan lainnya yang mengemuka acap kali kita berdebat. Tapi hari ini aku tak ingin mendebatmu. Hanya ingin bilang ke kamu, aku sudah ke Cheras War Cemetery, tempat yang kuimpikan setahun yang lalu. Baru saja, tiga minggu yang lalu aku kembali dari sana.
Whaaaat? Sama siapa? Koq kamu nggak bilang-bilang? #drama
Waiting is painful. Forgetting is painful. But not knowing which to do is the worst kind of suffering – [Paulo Coelho]
Yang membuatku bersorak girang dan tak sabar ikut Eat Travel Write 3.0 Selangor International Culinary Adventure ke Malaysia bulan lalu adalah dalam agenda perjalanan aku mendapati Fraser’s Hill sebagai salah satu tempat yang akan dikunjungi. Tak sekadar berkunjung, semua peserta akan menginap semalam di Rumah Rehat Sri Berkat, salah satu rumah peristirahatan di atas bukit tempat rumah-rumah peristirahatan banyak dibangun sejak 1910.

Hari baru saja hujan. Satu-satu jejaknya masih menetes di jendela, membentuk titik-titik air berderet seperti garis tak beraturan. Di kejauhan matahari perlahan-lahan turun, senja sebentar lagi menguap. Pandangan berganti dari jejeran pohon yang jarang-jarang menjadi hutan yang rapat-rapat. Bus kami terseok-seok menanjak di jalan kecil yang hanya muat 1 (satu) mobil menuju puncak bukit. Beberapa kali moncongnya terlihat nyaris mencium dinding bukit sedang pantatnya, hampir-hampir menggantung di bibir jurang. Kelelahan membuat setengah penghuni bus lelap. Hanya satu dua yang terjaga, entah karena tak bisa tidur atau khawatir. Dari kejauhan, suara sirine dari mobil dan motor polisi yang mengawal kami dari Kuala Lumpur terdengar sayup-sayup. Tak bisa kupaksa mataku untuk terpejam walau sekejap saja. Mungkin ia terbuai pikiranku yang terus saja berjalan hingga setengah abad ke belakang.

Fraser’s Hill berdiri di antara Pahang dan Selangor, di punggung Bukit Titiwangsa. Diberi nama sesuai dengan nama tentara Inggris berkebangsaan Skotlandia yang senang berpetualang yang pertama kali menemukan tempat ini dan membuka tambang timah pada 1890 di sana dengan mempekerjakan kuli Cina, James Louis Fraser. Berjarak kurang lebih 105 km atau 2 (dua) jam berkendara dari Kuala Lumpur.
Hari itu, Sabtu, 6 Oktober 1951 sebuah roll royce merayap perlahan di jalan berkelok yang sepi, mendaki ke puncak Fraser’s Hill. Di dalamnya duduk Komisaris Tertinggi Pemerintah Federasi Melayu, Sir Henry Gurney dan istrinya serta sekertaris pribadinya, DJ Staples, yang hendak mengisi akhir pekan di salah satu vila di bukit itu. Ini adalah masa-masa genting, masa Malaysia sedang berada dalam status siaga.

Pasukan komunis sedang bergerilya di beberapa wilayah Malaysia, karenanya, mereka berangkat dengan mendapatkan pengawalan dari patroli kepolisian yang didampingi kendaraan lapis baja. Di tengah jalan, salah satu kendaraan mengalami kerusakan sehingga membuat laju rombongan tersendat. Rupanya ada serombongan teroris ini yang sudah berjaga selama 24 jam di sekitar Fraser’s Hill dan sudah mengincar rombongan Opa Henry. Pada salah satu kelokan, kendaraan mereka disergap dan ditembaki. Opa Henry ditemukan tewas di dalam parit tempatnya berlari untuk menyelamatkan diri dan istrinya.
Jalan yang menyempit, cuaca di luar bus yang mulai gelap dengan pikiran yang tak mau diam membuat mataku semakin terjaga. Mungkinkah dulu suasananya mencekam seperti ini? Atau bisa jadi lebih lengang, entahlah. Aku hanya ingin segera sampai di rumah peristirahatan untuk meluruskan badan.

Pk 20.30 saat kami sampai juga di pekarangan Rumah Rehat Sri Berkat. Rumah yang dikelilingi pagar kayu bercat putih, dengan jendela besar-besar. Sebuah rumah peristirahatan yang didirikan pada 1926 dengan dana dari Palang Merah Inggris, sebagai hadiah untuk masyarakat Melayu yang telah banyak memberikan bantuan kepada tentara Inggris semasa perang pada 1914 – 1918. Meski belum pernah menjejak di daratan Eropa, rasanya seperti menjejak di perkampungan Inggris.
Ada bulan mengintip mau-malu dari balik dedaunan, menyapa kedatangan kami di Fraser’s Hill. Mataku mulai mengantuk, pikiranku sudah tak bisa diajak berkonsentrasi. Di ruang besar seperti aula, kami berkumpul, mencoba fokus pada penjelasan dari pejabat setempat mengenai sejarah rumah dan tempat itu. Ketika akhirnya sampai pada pembagian kamar, aku mendapatkan kamar besar di lantai 2 (dua). Kamar paling pojok, ruangnya sangat lega, bisa untuk bermain sepak bola. Sejatinya kamar seluas itu bisa diisi bersepuluh atau lebih tapi hanya diisi berempat. Kamar mandinya di luar, di seberang kamar. Ada air panas dan dingin, tapi di malam itu karena semua berebut mandi, air panasnya jadi berkurang. Terpaksa menahan dingin menyiram badan yang sudah lengket dengan air sedingin es.
Selepas mandi, ruang makan menjadi tempat yang ramai diserbu. Makan malam kami sedikit terlambat. Ia sudah terhidang sedari tadi. Barbeque sebagai menu malam itu nikmat turun ke perut yang memang sudah kelaparan ditambah badan yang menggigil menahan dingin. Selepas makan, meringkuk di dalam selimut menjadi pilihan utama.
Di pagi hari, usai sarapan dan bebenah, saat halimun masih betah turun dan mencumbu rerumputan, kami sudah melangkah keluar rumah peristirahatan. Berjalan kaki menuruni bukit, menghirup segarnya udara bebukitan. Sayang hanya semalam di sini, tapi dalam hati aku berjanji. Satu hari nanti akan kembali mencari jejak Opa Fraser. Berlama-lama menikmati halimun, duduk-duduk di pekarangan sembari menikmati teh panas dan kicauan burung-burung yang merdu.
Empat hari setelah turun dari Fraser’s Hill, aku kembali ke Kuala Lumpur. Pagi-pagi sudah berdiri di Cheras Christian Cemetery, di antara patok-patok sunyi. Berjalan ke sana ke mari di dalam Commonwealth War Cemetery (CWC), membaca tulisan pada patok-patok yang membisu. Melihatku seperti orang kesetanan, Nanyang mendekat dengan ragu dan bertanya siapa gerangan yang membuatku uring-uringan?
“Gurney, Henry Gurney. Do you know where did they buried him?”

Nanyang mengantarkanku ke tempat peristirahatan Opa Henry. Ia sendirian di sana, di luar pagar CWC. Enak betul dirinya, menguasai taman sendiri yang dipagari dengan tanaman hijau dan kawat besi, di tengah-tengah pucuk bukit Cheras. O,ya … tentang Opa Henry, nanti-nanti saja kuceritakan lebih rinci, bila kau sedang ingin saja mendengarnya.
Karena ingin bersendiri, aku berterima kasih pada Nanyang yang telah mengantarkanku ke tempat Opa Henry dan memintanya kembali bekerja. Sebenarnya ia tak mau, ada khawatir di matanya. Setelah dipaksa-paksa, ia pun beranjak dari pekarangan itu.

“It is ok Nanyang, please go. Leave me alone.”
Setiap dua langkah, dirinya berhenti dan memandang ke belakang. Dan acap kali dirinya berpaling, kulambaikan tangan padanya sembari melempar senyum. Aaah … andai dirimu memiliki khawatir yang sama bukan hanya kelu kesah yang membuat kita sering berseberangan. Setidaknya seperti sikap Nanyang, si India, tukang kebun yang baru bekerja 3 (tiga) tahun di CWC Cheras, itu menurut pengakuannya. Meski aku baru menjumpainya, matanya menyimpan khawatir. Setelah kepergian Nanyang, aku duduk di depan Opa Henry menyampaikan salam dan merapalkan sebait doa, harapku, dirinya beristirahat dengan tenang, saleum [oli3ve].
Ada danan juga kak