Kami berhenti di depan sebuah kedai makan di daerah Kedonganan yang sore itu tak terlalu ramai. “Lelaki berkemeja lengan buntung yang asik dengan HPnya di kursi itu yang punya (warung). Pura-pura tak acuh tuh, dekatin saja mbak. Beliau pasti sudah menunggu,” pesan pak sopir yang mengantarkan saya ke tempat untuk bersantap malam. Dua meja kayu yang ditempatkan di teras diisi oleh sepasang pasangan setengah baya yang tampaknya sedang menikmati pilihan makan di luar rumah. Meja satunya lagi ditempati oleh pasangan bule, masih muda dengan balitanya.

Turun dari mobil, saya mendekati lelaki yang asik bersendiri itu untuk memperkenalkan diri. Dia berdiri, badannya ditegakkan sehingga mataku harus mendongak dan mendapati tatapannya yang keras. Kami bersepakat untuk duduk di teras pada sebuah meja kayu paling luar yang kosong. Karena mengambil posisi duduk hampir berhadapan, saya pun jadi leluasa memperhatikan lelaki pemilik Bloem’s Waroeng, nama kedai makan yang baru dibukanya akhir September 2015 ini.


Pakaiannya sangat santai. Berkemeja lengan buntung, celana pendek dengan tapak kaki dibalut sepatu kanvas. Di lehernya menggantung beberapa buah kalung dengan ukuran rantai beragam yang digelendoti liontin abjad. Mungkin inisial nama yang berkesan di hati, saya lupa bertanya soal itu. Lengannya penuh lukisan, tatto. Dari gambar bunga, dedaunan, wajah perempuan hingga wajah lelaki yang menyeramkan, terlukis sepanjang lengannya, kiri dan kanan. Tattonya ada yang berwarna ada pula yang polos saja. Pandangan saya terpaku pada benda putih yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Benda yang sama yang kemarin saya lihat digunakan oleh Chef Picha, gelang garpu!
“Sekarang banyak yang mau pake begini. Bikin sendirilah ciri khasnya, jangan ikut-ikutan,”selorohnya datar ketika saya bertanya soal gelang kembar itu. Sebelum melanjutkan berbincang, dirinya memesankan minuman khas Bali untuk menyegarkan tenggorokan; Loloh Cemcem.


Nama kecilnya Jenggo. Ketenaran sosok pemberantas kejahatan dalam film koboi tempo doeloe telah menginspirasi orang tuanya untuk memberikan panggilan serupa pada putera sulungnya dengan harapan sang anak pun memiliki panggilan jiwa yang sama.
Jenggo kecil tak pernah bercita-cita untuk menjadi seorang juru masak profesional apalagi membuka usaha kedai makanan. Lulus SMA, dia hanya ingin melanjutkan kenakalan masa remajanya dan menikmati kebebasan menjadi preman; nongkrong bersama teman-temannya di kawasan wisata Bali, Kuta. Tatto yang menghiasi tubuhnya seperti menggambarkan perjalanan itu.

Ibu adalah sosok yang sangat berperan dalam mendorong dan mengarahkan langkah putera sulungnya ini. Jenggo akhirnya melanjutkan kuliah ke Hotel & Tourism Trainning Centre PPLP di Bali meski tak yakin dengan pilihannya. Ia tetap dan masih saja melanjutkan kenakalan serta melakukan keisengan-keisengan terhadap teman kuliahnya. Tapi, siapakah yang dapat menebak jalan hidup seseorang? Saya pun tak pernah membayangkan jika suatu sore yang hangat akan duduk dan berbincang santai dengan Jenggo di depan kedai makannya. Terlebih lagi, si Jenggo yang mantan preman Bali yang duduk di depan saya adalah Presiden Indonesian Chef Association (ICA).
Lalu kenapa dirinya membuka usaha makanan? Sembari menunggu makanan disiapkan di dapur, sebatang rokok disulutnya. Cerita kembali mengalir.

Jenggo mengenang masa kecilnya, ia sangat suka dengan masakan rumahan. Masakan yang diracik sendiri oleh tangan ibunya di dapur dan disajikan di meja makan, disantap bersama keluarga di rumah mereka. Sayangnya, masakan rumah khas Bali seperti itu sudah jarang ditemui. Dimana-mana kedai cepat saji berlomba menarik anak-anak untuk bersantap. Khawatir dengan pergeseran dan kebiasaan makan orang Indonesia yang mulai melupakan masakan khas negeri sendiri dan kerinduannya agar lidah anak-anak tidak melupakan cita rasa masakan tradisional; dirinya memantapkan hati untuk melestarikan kuliner tradisional dengan menyediakannya di kedainya.
Mimpinya sederhana saja. Menggali kenangan masa kecilnya pada masakan tradisional yang dulu dinikmatinya di rumah, meraciknya dengan bumbu warisan, dan mengenalkan cita rasa masakan rumahan Bali untuk dinikmati pengunjung kedainya, Bloem’s Warung. Bloem’s diambil dari nama yang tersampir di ujung belakang deretan namanya, Henry Alexie Bloem.

Kami berhenti sejenak. Panca indera mulai terganggu oleh wangi yang dihadirkan aneka makanan yang kini tersaji di atas meja. Nasi Jembung Gurih, semacam nasi uduk berempah Bali dengan aneka topping yang menggoyahkan lidah, hmmm …. ada Ayam Pecel Bumbu Bali, Ayam Sambal Matah, Gurita Sune Cekuh, Sapi Sere Tabia, Pindang Bongkot, Babi Kecap dan Iga Babi Menyat Nyat. Sebagai teman makan, ada Plecing Kangkung, Urap Sayur, Sambal Matah, Lawar Kenus dan kawan-kawannya si topping yang disajikan per porsi di piring blek. Air liur saya mulai mendidih, mata sedikit bergelora melihat Iga Babi Goreng dengan Sambel Kecombrang tengkurap di piring. Melihat semua yang tersaji di meja malam itu, saya pun terkenang masa kecil saat makan dari piring kaleng dengan lahap, selahap menghabiskan sepotong Iga Babi Goreng yang lembut.
Bloem’s Waroeng
Jl.Toyaning No.5, Kedonganan, Bali.
Telp. +623614724720
Waktu buka : Senin – Minggu pk 10.00 – 23.00

Pemilik kedai telah memperhitungkan dengan baik. Semangkok Nasi Jemblung dengan lauknya yang disajikan di dalam mangkok ayam jago, pas untuk satu perut. Jangan terburu nafsu untuk memesan seporsi lagi bila dirasa perut masih menyisakan ruang yang kosong. Isi celah itu dengan camilan seperti Siumay Udang/Ayam, Ceker Ayam, Pao Kacang/Srikaya/Ayam, atau nyemil tahu tempe goreng. Tak perlu terburu-buru juga. Untuk mengademkan rasa pedes yang masih tersisa di lidah, semangkok Es Daluman dan semangkok Es Kacang Merah menjadi sajian pamungkas yang melenakan. Malam itu dengan perut penuh saya pamit ke Chef Bloem, pulang ke hotel membawa surga yang melekat di ujung lidah, saleum [oli3ve].
kak jauh ke bali hiks
ke pasar baru yuuk lebih dekat 😂
ayuk kak hahaha
Aku lapaaaar
makan donk kak 😂