Rindu Tuan Dramaga


Langit pagi di Bogor selepas hujan semalam masih digelayuti mendung. Kami berkendara dengan kecepatan sedang saja meninggalkan kota yang mulai riuh di akhir pekan seusai menikmati sarapan di sebuah gerai cepat saji di seberang stasiun keretanya. Kampung Pilar, desa Sibanteng di Jasinga menjadi tujuan kami pagi itu. Perjalanan tersendat saat melintasi pasar  Dramaga dan pasar Jasinga (kalau tak salah) karena angkot yang berhenti sesuka hati. Selepas pasar jalanan cukup lowong dan lancar hingga di tempat peristirahatan keluarga van Motman.

van_motman_07
Selamat datang di Mausoleum van Motman

Ucu Sumarna menyambut kami di gerbang yang menyisakan dua pilar menjulang dengan pucuk-pucuknya yang diselimuti lumut. Di pekarangan yang rumputnya menghijau itu tumbuh bermacam tanaman seperti pohon pisang, pohon pepaya, talas Bogor, singkong, pohon lada dan beberapa pohon lain yang familiar.

Kisah keluarga ini berawal dari seorang pemuda 17 tahun bernama Gerrit Willem Casimir van Motman. Ia memutuskan untuk berkelana, meninggalkan negerinya ikut berlayar dengan kapal VOC menuju tanah harapan, Hindia Belanda. Berbulan setelah mengarungi lautan, ia menjejakkan kaki di Hindia Belanda pada 1790 dan bekerja sebagai Administrator Gudang VOC di Batavia (sekarang Jakarta).

Semasa kejayaan VOC pudar dan bangkrut, Gerrit malah menjadi tuan tanah yang menguasai sebagian besar tanah di Buitenzorg (sekarang Bogor) dan sekitarnya. Dirinya menjadi satu dari tiga tuan tanah yang kaya dan terkenal di Jawa Barat di samping Boscha dan Cateu van Kerkhoven. Tanah perkebunannya seluas 117.000 ha berderet dari Nangoeng, Kedong Badak, Ciampe, Jasinga, hingga kota Bogor ditanami kopi, pala, teh dan lahan persawahan. Karena tinggal di kampung Dramaga, oleh penduduk setempat Gerrit pun lebih akbrab disapa dengan Tuan Dermaga (dan bukan Dramaga). Dengan menunggang kuda, Gerrit rajin memantau perkembangan dari kebun satu ke kebun lainnya. Ketika hasil panen kopi kurang memuaskan, dia meminta pekerjanya untuk menggantinya dengan menanam teh diselingi dengan lada dan kina. Bisa jadi beberapa pokok pohon lada yang sekarang ada di pekarangan ini adalah generasi  lada yang tersisa dari kebun keluarga van Motman setelah sebagian besar tanahnya berpindah tangan dan berganti perkampungan.

van_motman_08

Di sisi utara pekarangan, menghadap ke gerbang berdiri sebuah bangunan megah.  Setidaknya hal itu tampak dari sisa bangunan yang masih menjulang kokoh di depan mata. Bangunan itu memiliki sebuah pintu yang sudah hilang karena dibongkar oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Pada bagian atas palang pintunya terbaca FAM: P.R.v. MOTMAN singkatan dari Familie: Pieter Reiner van Motman. Wow ini dia, mausoleum keluarga van Motman.

Aku melangkah mendekat ke mausoleum. Di sisi kiri kanan pekarangan berdiri pilar-pilar keluarga van Motman yang juga beristirahat di tempat ini. Selain Opa Gerrit, ada Pieter Cornelis, Jacoba Reiniera, Pieter Brugman, Frederik Hendrik van Motman dan lainnya yang namanya tak jelas karena penanda pada pilar-pilar itu sudah lama dicongkel oleh mereka yang mencoba mengais peruntungan dari peristirahatan orang lain. Mang Ucu pun sudah nggak ingat siapa saja 37 anggota keluarga van Motman yang beristirahat di pekarangan yang rumputnya sedang kami injak itu.

Dulu ada burung yang jatuh saat melintas di atas makam itu, kayak ditarik turun dari langit, mati.” Ditambahkan oleh mang Ucu, Gerrit adalah tangan kanan Daendels.  Semasa pembangunan De Grote Posweg (proyek Jalan Pos Daendels), Gerrit ditunjuk sebagai komisioner proyek. Di depan makam Gerrit, berdiri pilar istrinya Jacoba Reiniera.

Aroma menyengat menusuk hidung saat seluruh tubuh memasuki ruang mausoleum serta merta membuatku menahan napas dan memutuskan untuk melangkah keluar menghirup udara segar. Ouugghhhh!! Aroma kematian! Ia masih tersisa di dalam sana, menempel pada dinding ruang dan bebatuan, diserap dan disimpan rapi oleh tanah lembab di bawahnya.

Pfiuuuuh … kuhirup dalam-dalam oksigen dari udara, membiarkannya memenuhi setiap rongga paru sebelum menghembuskannya perlahan-lahan. Demi meyakinkan diri, kuangkat kedua belah tangan mencoba mengendus aroma badan sendiri. Hmmm … paduan aroma aneka rempah yang tercium memastikan tadi pagi tubuh sempat disiram di pancuran  ;). Penasaran, aku kembali ke dalam ruang itu setelah terlebih dahulu menghirup banyak-banyak udara sebagai persiapan menahan napas.

van_motman_03

van_motman_02
van Riemsdijk dan van Motman’s fam tree

Mungkin itu adalah aroma yang ditinggalkan Pieter Reiner, cucu Gerrit yang diturunkan dari Jacob Gerrit Theodore, putera kedua Gerrit dan Jacoba. Selain Pieter Reiner, ada 3 (tiga) anggota keluarga lainnya yang dimummi dan disimpan di dalam ruangan itu. Mereka dibaringkan di dalam peti kaca untuk memudahkan anggota keluarga lain saat menjenguk dan rindu untuk melihatnya. Peti mereka diletakkan pada rak beton bersusun yang dibuat menempel di kiri kanan ruang. Mang Ucu tak dapat mengingat kapan terakhir jasad-jasad itu masih tersimpan utuh di sana. Pikirku, sungguh keterlaluan mereka yang telah merusak pintu mausoleum, bahkan mumminya pun hilang tak berbekas. Itu sebab keberadaannya hanya dapat dirasa dari aroma menyengat yang tertinggal di ruang bekas petiduran mereka. Untuk melihat detail ruang di dalam mausoleum, siapkan hati menyimak video #TukangKuburan di jelang akhir tulisan ini.

Dua minggu sepulang dari Dramaga, aku pergi menemui Jeremias van Riemsdijk di Kebon Jahe Kober. Pembaringannya ada di bagian belakang taman peristirahatan, tanah yang dijual oleh anaknya, Willem Vincent Helvetius, untuk digunakan pemerintah sebagai tempat peristirahatan para petinggi VOC. Taman peristirahatan yang sekarang lebih dikenal sebagai Museum Taman Prasasti.

Kekerabatannya dengan van Motman membuat nama keluarga van Riemsdijk mencuat lagi ke permukaan pada 1933 ketika terjadi kasus perebutan tanah warisan di Ciampea. Kekerabatan itu terjalin lewat cicit keponakan Adriaan Valckenier, Maria van Riemsdijk yang menikah dengan Frederik Hendrik van Motman. Nah, opa buyut Maria sendiri adalah Jeremias van Riemsdijk, Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1775 – 1777.

van_motman_10
Mission accomplished!

Sebulan berselang, aku kembali ke Kebon Jahe Kober untuk mencari Charlotte Christina van Motman dan Achilles Alphonse van Motman. Pada kunjungan sebelumnya aku tak menjumpai mereka, aku hanya menyampaikan salam dari keluarga Dramaga kepada Charlotte Geertruida van Motman. Pilarnya tegak tak jauh dari tempat peristirahatan Opa Jeremias. Dua kali berkeliling membaca nama demi nama di setiap pilar, tak jua kujumpai mereka. Setelah mengaso sejenak di beranda taman, ditemani mas Yudi aku kembali mengitari blok yang dicurigai sebagai tempat meletakkan prasasti mereka setelah diturunkan dari pilar. Ternyataaaaa, aku dikerjain! Mereka dengan tenangnya berdiri di depan Opa Staal, tempat yang sudah kutoleh berkali-kali tapi pandangan disamarkan. Awas kalian!  😉.

Keluarga van Motman membangun rumahnya yang megah di tengah perkebunan mereka. Satu-satunya jejak rumah yang masih bisa dinikmati saat ini ada di dalam kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga, Groot Dramaga atau sekarang dikenal sebagai Wisma Tamu IPB. Another mission accomplished! saleum [oli3ve].

Bahan bacaan dan referensi:

  • Stichting Van Motman Familie Archief
  • Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, Mona Lohanda, 2007

19 thoughts on “Rindu Tuan Dramaga

  1. akhirnya terungkap..
    pencarian tukang kuburan selalu lengkap..
    abis ini cerita siapa lagi yang masih ditelusuri..?

    btw apa ada kemungkinan mummi keluarga van Motman dikuburkan oleh masyarakat sekitar?

  2. Ooh ini rupanya potongan cerita misteri wisma tamu IPB di kampus Dramaga. Terima kasih mbak Olive yg merunut jejak Mister Dramaga. Salam hangat

Leave a comment