Kokok ayam jantan menemani mentari pagi yang perlahan turun menerangi bumi Lakipadada saat lelaki itu mengeluarkan seekor ayam berbulu hitam mengkilap dari dalam kurungannya dan membawanya ke atas rumah. Ayam itu diserahkan kepada seorang lelaki sepuh yang duduk bersila di lantai. Tubuhnya dibalut baju Toraja yang menonjolkan motif pa’miring, motif tenun Toraja dengan corak garis-garis yang didominasi warna oranye. Mulutnya berkomat-kamit melafalkan sebuah mantera.
Adalah kebiasaan lelaki dalam masyarakat Toraja ketika membuka mata di pagi hari, kawan pertama yang disapa dan dielus-elus adalah ayam peliharaan. Namun pagi ini tak nampak seperti pagi yang lain. Sebilah pisau dihantarkan oleh tangan yang mengeriput pada leher ayam yang pasrah dalam genggamannya.
Nyesssss … darah segar menetes dari urat nadi yang terputus, mengalir memenuhi cekungan piring untuk menampung darah yang dicurahkan. Tak cukup darah seekor ayam, suara cericit anak ayam berbulu halus berikut tetesan darahnya pun menjadi pelengkap ritual pagi itu.
Sebuah persembahan telah diberikan, tak perlu persembahan yang berlebih karena terkadang simbolik suara bebunyian dengan sebait mantera yang dilafalkan oleh to minaa (= pemimpin kepercayaan leluhur Toraja, aluk to dolo) cukup untuk mengawali perjalanan. Darah yang tercurah adalah simbol pencucian, penyucian, serta permohonan petunjuk dan berkat kepada dewata dan nenek moyang sebelum berkegiatan.
Ritual yang dilakukan oleh pemangku adat Toraja membuka scene dengan latar suara bunyi-bunyian musik khas Toraja memenuhi ruang Auditorium Erasmus Huis, Jakarta, Rabu (02/03/16) lalu. Penonton yang duduk menyebar memenuhi setengah ruang itu terpaku pada layar besar di depan yang mulai memutar film dokumenter perjalanan Toraja Melo.

Krisis moneter yang melanda Indonesia pada 1997 dan riak-riak yang ditimbulkan oleh gejolak sosial politik yang terjadi di Indonesia berdampak pada penurunan drastis angka kunjungan wisata ke Toraja. Jika pada era 1980an Toraja boleh berbangga acap kali disebut sebagai destinasi wisata kedua di Indonesia setelah Bali, pasca tragedi bom Bali semua itu hilang. Belum lagi ditambah keraguan akan keselamatan dan kenyamanan wisatawan untuk berkunjung seusai terjadinya kerusuhan Poso karena khawatir akan merambah ke wilayah yang berada di dalam satu pulau, dan bertetangga pula di Sulawesi.
Masyarakat kita termasuk masyarakat Toraja, terbiasa terbuai dalam pesona kekayaan daerahnya. Ibarat seorang dara jika tubuhnya tak dirawat dengan baik serta dibiarkan begitu saja, kecantikannya pun tak akan muncul ke permukaan seiring bertambahnya usia. Hal yang sama berlaku untuk kekayaan alam, budaya, warisan; jika tidak dikelola dengan baik, masa jayanya akan pupus dan pesonanya akan pudar karena ditelan masa.
Berapa banyak orang Toraja yang bangga, menyadari dan memahami perkembangan dan pelestarian wastra Toraja, khususnya tannun (=tenun) Toraja?
Ketika cinta memanggilmu, maka dekatilah ia walau jalannya terjal berliku. ketika cinta memelukmu, maka dekapilah ia walau pedang di sela-sela sayapnya melukaimu – [Kahlil Gibran]
Penggalan oretan Kahlil Gibran di atas rasanya tepat untuk menggambarkan lika liku perjalanan sistersoulmate Dinny Jusuf dan Nina Jusuf, menyelami keunikan dan kekayaan budaya Toraja melalui kecintaan mereka pada kain tenun Toraja. Ketika cinta sudah melekat di dalam jiwa, menyatu di dalam hati; terkadang hadirnya membuatmu berlaku tak wajar di mata mereka yang melihat dengan pandangan kosong.
Pada 2008, Dinny Jusuf dengan berhati-hati, mengambil lembar demi lembar benang yang nyaris putus, memilah dengan telaten bagian yang akan dipakai dan menenun harapan dengan hati untuk merevitalisasi kain tenun Toraja. Dirinya turun ke lapangan, mencari para penenun yang masih tersisa. Mereka, penenun Toraja ini sebagian besar adalah ibu rumah tangga, pekerja keras yang berperan ganda sebagai sandaran hidup keluarganya. Mereka juga megap-megap dalam meneruskan warisan yang ditinggal sayang, dijalani pun sekadar untuk mengisi waktu serta mengumpulkan sedikit hasil penjualan buat tambahan biaya dapur rumah tangganya.
Melihat kenyataan ini, Dinny yang pernah aktif sebagai Sekjen Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, tergerak untuk melakukan sesuatu bagi kelestarian tenun Toraja dan juga memikirkan bagaimana membantu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan para penenun Toraja; terlebih mendorong para perempuan penenun Toraja untuk selangkah lebih maju. Sebuah gerakan dilakukan untannun kameloan, menenun kebaikan.
Ide tak akan berjalan jika ia hanya dihentikan sebatas angan tanpa digerakkan oleh niat, kreatifitas, upaya, dana dan kerja keras. Dari penyusuran di lapangan, Dinny mendapati kenyataan penenun yang tersisa dengan keterampilan dan keahlian menghasilkan corak tenun yang sudah langka usianya berkejaran dengan waktu; Dinny pun bergerak cepat. Dirinya mendirikan Yayasan Toraja Melo, merancang konsep untuk memantapkan langkah, mendekati dan merangkul para artisan, mencari bahan baku benang, masuk ke dalam komunitas, menyemangati generasi muda untuk ikut bergerak serta menjalin kerja sama dengan lembaga yang dapat mendukung usahanya.
Memiliki latar belakang pendidikan desain, Nina Jusuf pun melibatkan diri sebagai pelengkap perjuangan dalam pemilihan bahan baku benang, corak, warna serta desain produk Toraja Melo. Dinny dan Nina mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengangkat wastra Toraja yang selama ini hanya dikeluarkan ketika ada upacara adat, menjadi busana yang bisa dikenakan dalam kegiatan keseharian bahkan dalam acara kenegaraan. Pameran demi pameran, baik dalam maupun luar negeri menjadi tempat untuk memperkenalkan dan memasarkan produk.
Toraja Melo tak berjalan sendiri, mereka memerlukan jaringan untuk terus melesat maju. Ada Kementerian UMKM yang memberi naungan kepada para pengusaha industri mikro, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebagai rekanan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) lewat program CSR-nya, Yayasan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) yang membantu dalam berbagi pelatihan serta kolaborasi dengan komunitas yang ada serta Biru Terong Initiative yang merekam dan merangkai jejak Dinny dan Nina dalam Toraja Melo Weaving Compassion in Toraja sebagai bagian dari upaya untuk memperkenalkan tenun Toraja kepada publik.
Tidaklah mudah untuk menjalani usaha dengan hati dalam ruang di mana kita tak berakar. Ada banyak tantangan dan rintangan yang harus mereka hadapi namun Toraja Melo membuktikan, keberadaan wastra Toraja sudah merambah dunia internasional.
Sangat disayangkan bahwa, tak banyak orang Toraja yang hadir menikmati rekam jejak inspiratif yang dikerjakan selama 3 (tiga) tahun ini. Sama halnya dengan masih banyaknya tanggapan miring terhadap kegiatan Toraja Melo. Saya tersentil untuk mengutip prolog yang disampaikan oleh Philip Yampolsky dalam Songs from the Thrice-Blooded Land: Ritual Music of the Toraja, Ethnographic Narrative karya antroplog Perancis, Dana Rappoport … Kehidupan musik dan budaya Toraja ada di tangan orang Toraja, bukan orang luar. Yang bisa dilakukan orang luar hanya mengingatkan pada masyarakat Toraja betapa kaya, kuat, indah, dan bermakna musik (serta budaya) mereka.

Kenapa kita tidak bersama bergandengan tangan, bekerja dengan hati untuk melestarikan dan memajukan wastra Toraja dengan menjaga kualitas produk Toraja agar dapat bersaing di pasar dunia?
Setelah menyaksian film dokumenter yang berdurasi 60 (enam puluh) menit ini, ada beberapa hal dari sajian ini yang mengganggu pandangan saya sebagai seorang penikmat pertunjukan.
- Dari segi materi dokumentasi yang disajikan oleh Biru Terong dalam Toraja Melo Weaving Compassion in Toraja sangat baik karena menggali data, informasi budaya, dan kearifan lokal Toraja langsung ke sumbernya serta menyajikan informasinya dengan baik.
- Sayang, beberapa framing pengambilannya terlalu lebar sehingga membuat mata terganggu dengan munculnya benda-benda yang seharusnya tak perlu ditampilkan. Contoh: di ruang kerja Toraja Melo ada sepersekian detik kamera menyorot kantong plastik putih di samping gorden yang sedikit terbuka. Lalu, pada bagian lain ada kaki yang muncul di samping seorang penenun yang harusnya bisa dihindari dengan mengalihkan kamera atau meng-close up si penenun or benangnya.
- Ini memang film dokumenter yang secara teknik dan tata pengambilan gambarnya langsung dan sesuai dengan yang tampak, tapi saya koq terganggu dengan masuknya deru motor dan aneka bunyi-bunyian yang melaju di jalan saat mbak Dinny berbicara di ruangan. Apakah itu disengaja untuk menggambarkan suasana di tempat kerja? Dalam pemikiran awam saya, hal ini bisa diatur dari konsep awal pengaturan pengambilan gambar dan perekaman suara.
- Gambar close up blur, contoh pada saat layar menampilkan muka mbak Nina koq nggak focus ya? Apakah ini juga kesengajaan?
Secara keseluruhan saya dan teman-teman dari #TorajaMembaca sangat mengapresiasi usaha Toraja Melo untuk mengangkat tenun Toraja, terlebih dapat mengikuti rekam jejak mereka melalui karya yang dihasilkan oleh Biru Terong Initiative, saleum [oli3ve].
indah sekali rangkaian katanya
makasih bang 🙈
Wah, wastranya warisan budaya yang harus dijaga.
sepakat kk Ef 💪
suka banget bacanya jadi betah semua nya dapet gampang dipahamin juga inti dari tulisan2nya, cara ngerangkai katanya jg bener2 dah salut banget dahh dahh saluuttttttttttttttt.. ajarin saya donk kak:D
terima kasih, yuk sama2 belajar
oooh klo di sigli, wanita sigli, dulunya bila bangun tidur atau menjelang magrib yang di cari itu “itek” nya kak.. jadi, klo ilang suami, mereka sudah biasa. tapi kalau ilang bebek? nah itu bisa heboh sekampung hehehe
hahaaa … itek kesayangan ya, buat diajak jalan2
salut kak udah berupaya melestarikannya
kakaknya bener bener penulis perjalanan, hehe harus banyak belajar nih supaya bisa masuk ke media kayak kakak 🙂
Wah tulisan mbak bikin saya nyesel gak bisa datang kesana.. padahal pengin banget liat filmnya dan bertemu langsung sama mbak Dinny Jusuf.. eh izin reblog ya?
Yaaaa, nggak bermaksud lho 😊
Silakan bila mau direblog
Terima kasih mbak.. saya lg belajar nenun dan emang lagi cari event tenun di jakarta.. 🙂
Di Bentara Budaya Jakarta ada pameran Weaving for Life yg berlangsung sampai besok, siapa tahu mau berkunjung
hahaha sudah 3 kali kesana.. dan saya senang sekali dapat ketemu penenun yogya dan mama Yovita dari NTT bertanya sekitar tenunan…
Reblogged this on TinuLeutik and commented:
“Jika sebelumnya penenun Toraja berkejaran dengan waktu, kini ada secercah harapan yang dibawa oleh Toraja Melo untuk kelestarian tenun Toraja”