Mencari Ibrahim Lamnga


Saban hari, perempuan itu mengayun puteranya dengan buaian pengantar tidur diiring doa dan harap sang putera bertumbuh menjadi pemuda gagah perkasa yang siap untuk maju ke medan perang menyusul ayahnya berjuang mengusir para khape Belanda dari tanah tercinta.

Doda idi doda idang,
Geulayang blang ka putoh talou,
Beurijang rayek pemuda seudang,
Jak tulong prang bantu nanggrou

Doda idi doda idang,
Boh mancang srot u bumou,
Beurijang rayek aneuk lon sayang,
U mideun prang tajak sambinou.

Namun, belumlah sampai akil balik sang putera ketika ayahnya gugur dalam satu pertempuran berhadapan dengan khape-khape itu. Lelaki yang telah membuatnya belajar mencintai, yang padanya hati dan jiwanya berlabuh, penopang hidupnya, tak kan pernah pulang ke rumah lagi. Kehilangan yang melahirkan sedih, kesedihan yang menggemakan sepi, sepi yang mengoyak semangat, membuat darahnya mendidih untuk bangkit meneruskan perjuangan.

monolog cut nyak dien, perjuangan cut nyak dien, sha ine febriyanti dan cut nyak dien, sha ine febriyanti
Sha Ine Febriyanti dalam Monolog Cut Nyak Dien

Melihat letaknya yang sangat strategis di tepi Selat Malaka yang menjadi jalur perlintasan perdagangan internasional, membuat Aceh banyak dilirik oleh bangsa asing dari masa ke masa.

William Marsden dalam Sejarah Sumatera mencatat, pada 1513 Raja Emanuel dari Portugis mengirimkan surat kepada Paus Leo X memberitahu armada kapalnya menemukan Pulau Zumatera. Ia pun merinci tentang perjalanan Diogo Lopez Sequeira berdasarkan catatan perjalanan para pengelana pada masanya mengunjungi Pedir dan Pase pada 1509. Bahkan Affonso d’Alboquerque pun mampir ke Pedir dan Pase sebelum melakukan serangan ke Malaka pada 1511.

Gimana Aceh nggak mulai goyah dan merasa terancam? Hanya dalam hitungan waktu, Portugis pasti akan melebarkan kekuasaannya ke Darud Donya. Beberapa kali pasukan Aceh melakukan serangan terhadap Portugis ke Malaka. Tak hanya sendiri, pada penyerangan di 1568; Aceh mendapatkan bantuan 400 pasukan Turki.

Setelah penandatanganan kesepakatan Inggris dan Belanda pada 1871, Inggris memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Pulau Sumatera. Maka pada Rabu, 26 Maret 1873; Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Invasi militer pun dilancarkan, pasukan pertama Belanda mendarat di Aceh pada 6 April 1873 dipimpin oleh Harmen Kohler. Kohler dan pasukannya membakar dan menguasai Masjid Baiturrahman, menjadikannya sebagai basis pertahanan.

Pecahnya Perang Aceh menyulut semangat para pejuang dan rakyat Aceh untuk bangkit melawan dan mengusir Belanda. Bermunculanlah para pemimpin yang menyatukan semangat dari berbagai daerah, mereka berjalan di garda depan, naik turun gunung, keluar masuk hutan menghadang pergerakan Belanda untuk merebut dan mempertahankan negeri tercinta. Teuku Cek Ibrahim dari Lamnga, Teungku Chik di Tiro, Teuku Panglima Polem Sri Muda Setia Perkasa Muhammad Daud atau yang dikenal sebagai Panglima Polem, Cut Nyak Dien, Pocut Meuligoe dan lain-lain.

Setelah mengantar dan menemaninya berkeliling di Krueng Rayeuk, sisa pagi itu aku hanya mengikuti kemauannya,”Gak pa-pa ya Lip, temanin ke tempat peristirahatan Ibrahim.”

Meski lima kali pulang, tak pernah sekali pun aku terpikir untuk mencari Ibrahim. Aku tak tahu di mana mereka membaringkan tubuhnya. Tapi hari itu aku tak kuasa menolak untuk beranjak bersamanya, mengikuti langkahnya. Aku merasakan energi yang berlipat ganda di dalam diriku setiap berada di dekatnya. Energi yang menyatukan kami melangkah ke bumi tempat semangat itu pernah mengisi masa; Nanggroe.

Dari Krueng Rayeuk, kami kembali ke Banda Aceh, menjemput seseorang di markas Mapesa (= Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Seseorang yang aku panggil abang, karena aku lupa nama yang diucapkannya setengah berbisik saat kami bersua di atas Rumoh Aceh. Dialah yang menunjukkan arah hingga kami berhenti di depan sebuah kedai minuman di bibir jalan Gampong Montasik. Melangkah ragu ke pekarangan belakang kedai yang dikelilingi rerumputan yang tumbuh tak beraturan. Ada kandang kambing di sisi kiri pekarangan, di sebelahnya tempat pembuangan sampah dan sebuah bangunan tak terawat menyambut kedatangan kami.

Ibrahim Lamnga, makam teuku ibrahim lamnga, suami cut nyak dien
Salah satu nisan yang menyembul di pekarangan belakang rumah di Montasik

Di antara rerumputan itu, beberapa batu kali besar menonjol dari permukaan tanah. Bukan batu kali biasa, ialah nisan bagi jasad yang ditanam di bawahnya. Aku dapat memastikan itu, karena sebelumnya pernah melihat bebatuan yang sama saat bertandang ke peristirahatan Teuku Chik di Tiro dan Panglima Polem. Tak nampak sedikit pun penanda yang memberi petunjuk bahwa di tempat ini seorang pahlawan besar yang telah menyerahkan nyawanya untuk membela negeri, terbaring di bawah salah satu batu kali itu.

Teuku Ibrahim Lamnga, anak seorang uleebalang dari mukim Tungkop, Lamnga, Aceh Besar. Ia seorang pemuda yang memiliki pandangan luas dan taat beragama. Ia mengenyam pendidikan agama di Dayah Bitay, tempat para raja termasuk Sultan Iskandar Muda belajar agama Islam. Pada 1860, Ibrahim dijodohkan dengan Cut Nyak Dien puteri dari Teuku Nanta Seutia ketika Cut Nyak Dien baru saja menginjak usia 12 tahun. Secara kekerabatan, mereka masih berada dalam satu garis keturunan. Ibrahim masih terbilang kerabat dekat Cut Nyak Dien dari garis ibu.

Hidup dalam situasi perang yang sedang berkecamuk membuat mereka sering terpisah lama. Ibrahim bersama pasukannya bergerilya sementara Cut Nyak Dien tinggal di Lampadang bersama dengan puteranya. Pada 28 Juni 1878, Ibrahim Lamnga gugur saat bertempur di Gle Tarum, Aceh Besar bersama pasukannya. Mendapatkan kabar perginya sang kekasih hati, membuat Cut Nyak Dien marah. Ia pun bersumpah,”… selama aku masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kaphe ini kuteruskan … aku kan bersetia padamu Ibrahim, dan berjanji hanya bersedia menikah dengan laki-laki yang dapat membantuku menuntut bela atas kematianmu.”

Jasadnya yang penuh luka dilarikan oleh sisa pasukannya ke Montasik dan dimakamkan di salah satu bagian tempat di mana kaki kami kini berdiri. Saleum [oli3ve].

5 thoughts on “Mencari Ibrahim Lamnga

  1. wuiiiih… ampun dj… ulasan sejarahmu tentang aceh seolah tak terbantahkan kak.. walaupun sebenarnya yudi sendiri masih ragu, apakah Ibrahim lamga beneran dikubur di tempat tersebut. wallahu`alam..
    orang aceh percaya, siapapun yang mati syahid, biasanya tempat pemakamannya akan sulit ditemukan kak. 🙂

    1. seperti katamu org yg mati syahid makamnya susah ditemui, dan beliau ini orang besar Yud.

      karenanya di akhir kutulis: … di salah satu bagian tempat di mana kaki kami kini berdiri dan judulnya “mencari”

      koq jadi pengen sarapan di tempat Cut Kak Pipi ya

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s