I was in Galang from 05/31/90 – 10/11/93 KI 0531/84. We will never forget Galang Refuge Camp – [Hieu Nguyen, USA]
Tulisan tangan yang berderet rapi pada buku tamu yang ujungnya menebal karena terlalu sering dibolak-balik di Museum Galang pagi itu mengaburkan pandangan. Alih-alih membuka lembar baru yang bersih untuk menuliskan pesan di sana, setelah menyeka ujung mata yang mendadak memanas dan berair; saya melanjutkan membaca pesan-pesan lain yang tertulis di atasnya.

Galang, pulau di selatan Batam, Kepulauan Riau; pada 1976 atas desakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibuka sebagai kampung penampungan “manusia perahu”, sebutan yang melekat pada warga Vietnam (dan Kamboja) yang terdampar di sekitar kepulauan Riau, Indonesia serta pulau-pulau di sekitar Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand.
Mereka, para pengungsi yang melarikan diri dari negaranya untuk mencari suaka politik karena perang yang berkecamuk di sana dengan menumpang perahu. Perjalanan panjang yang melelahkan, puluhan manusia berdesakan berbagi ruang di dalam perahu, diayun dan dihempas ganasnya gelombang samudera. Mereka datang dalam beberapa gelombang, berkelompok dengan orang sekampung, keluarga bahkan ada pula anak kecil yang hanya dititipkan pada tetangga oleh orang tuanya demi menyelamatkan garis keturunan.
Layaknya sebuah kampung yang tumbuh dan hidup; beberapa fasilitas publik dibangun oleh United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR), lembaga PBB yang bertugas untuk menangani para pengungsi. Ada barak-barak penampungan untuk mereka tinggali, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, tempat pertemuan pun tempat peristirahatan bagi mereka yang perjalanan hidupnya harus berakhir di Galang.
Beberapa hari sekembali dari Galang, rasa penasaran menautkan saya dengan Jamie, salah seorang mantan manusia perahu yang pernah hidup di kamp Galang pada 1980 – 1982 serta Gaylord Barr, seorang guru bahasa Inggris, volunteer UNHCR yang bertugas di Galang pada tahun yang sama.
Dalam salah satu email yang dikirimkan, Jamie menuliskan usianya baru memasuki angka 11 (sebelas) tahun ketika didorong ayahnya ke dalam perahu yang hendak meninggalkan Vietnam. Perahu itu dikerjakan bergotong royong oleh ayahnya bersama warga kampung selama hampir setahun dengan harapan bila perahu itu selesai, mereka sekeluarga dapat berangkat bersama untuk mencari perlindungan politik. Namun di hari keberangkatan, perahu sudah penuh. Jamie dititipkan pada saudara sepupunya yang usianya hanya terpaut 5 (lima) tahun di atasnya. Ayahnya berjanji akan menyusul bersama ibu dan adik-adiknya dengan perahu lain yang belum dibuat, yang entah kapan akan selesai dan berangkat.
Pada kesempatan lain, dalam emailnya Jamie bercerita tentang kawan baru yang ditemuinya di pulau Kuku (sekarang, wilayah Anambas), pulau tempat perahu yang ditumpangi Jamie dan saudaranya terdampar. Mereka menikmati hari itu dengan bermain di tepi pantai. Berlari ke sana ke mari, hingga entah kenapa, tiba-tiba kawan barunya berlari dengan kencang masuk ke dalam laut. Tubuhnya menghilang terseret arus dan ditemukan beberapa jam kemudian telah mengapung tak jauh dari pantai. Manusia perahu kecil yang malang itu mengalami depresi, hidup dalam halusinasi yang membawanya berlari ke dalam air, meraih kebebasan. Mereka tak sempat berkenalan, namun pertemuan itu melekat dalam ingatannya. Ia kehilangan kawan barunya, di tempat baru yang sangat asing. Jamie dan saudaranya tinggal di pulau Kuku selama beberapa hari sebelum dipindahkan ke Galang di mana dirinya beberapa kali bersua dengan Gaylord yang terekam dalam memori kanak-kanaknya sebagai seorang guru yang ramah, banyak membantu pengungsi dan selalu tersenyum.

Dari sekitar 1 (satu) juta warga Vietnam dan Kamboja yang keluar dari negaranya, sekitar 800 ribu orang berhasil selamat menggapai daratan. Seleksi alam, membuat banyak di antara mereka yang meninggal di tengah laut, dihadang perompak, sakit; sisanya bertahan hingga menggapai daratan meski dalam kondisi yang lemah karena kelelahan dan kelaparan.
Berada di kamp pengungsi tak serta merta membuat mereka bisa bertahan hingga mendapatkan suaka dari negara yang mereka incar. Meski berada dalam pengawasan, konflik karena pergesekan di antara sesama pengungsi, tekanan kejiwaan karena menghadapi cobaan hidup yang berat serta kejahatan moral tak terhindarkan. Mereka yang tak kuat, memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tinh Nhan, satu di antara mereka. Perempuan Vietnam ini menjadi korban kekerasan seksual di kamp. Ia memilih menggantung dirinya pada sebuah pohon. Untuk itu, sebuah monumen kemanusiaan dibangun tak jauh dari gerbang kampung sebagai pengingat susutnya tenggang rasa kemanusiaan.
Gaylord banyak menghabiskan waktunya di kamp – kamp pengungsi Vietnam yang dikelola oleh UNHCR seperti Filipina dan Indonesia. Sebagai trainer, dirinya bertugas untuk melatih dan memberikan bekal bahasa Inggris kepada para pengungsi sebelum mereka mengikuti tes untuk mendapatkan suaka politik. Tes yang mereka jalani tidaklah mudah, banyak yang gugur karena tak menguasai bahasa Inggris serta tak memiliki keahlian sebagai bekal untuk menjalani kehidupan di negara tujuan. Jamie berhasil lolos tes, ia diberangkatkan ke Amerika. Yang lain, ada yang dikirim ke Hongkong, Kanada dan Australia. Sementara mereka yang tak lolos, mau tak mau harus menerima nasib dipulangkan ke negaranya. Sebagian yang tak bisa menerima kenyataan, memilih jalan pintas.

Mengunjungi pulau Galang, seperti tersedot pada putaran waktu. Tak banyak yang berubah di sana. Bangunan-bangunan yang dulu didirikan oleh UNHCR sebagian masih berdiri meski tampak lusuh dan renta dikoyak perjalanan waktu. Tin Lanh (gereja protestan) menyisakan ruang kosong dengan salib besar berdiri lelah di lantai sembari menyandarkan kepalanya pada dinding yang sudah koyak. Kehidupan masih berjalan di Vihara Kuan Am Tu, meski berjalan lambat, ditandai dengan sumbu lilin yang masih berasap. Begitu pula dengan pagoda Chua Ky Vien, sisa hio masih tertanam dalam pot di depan patung Sang Buddha yang tertidur.
Di depan Immaculate Conception Mary Church, gereja katolik di tengah kampung, saya menjumpai pak Filipus. Dirinya duduk di dekat pintu masuk gereja, bersendiri menikmati pagi tanpa sepatah kata yang terdengar keluar dari bibirnya yang terus berkomat-kamit. Sesekali matanya melirik, memperhatikan siapa yang mondar-mandir di depan gereja. Di atas fasad, bunda Maria merentangkan tangannya menyambut setiap langkah yang terayun di pelataran gereja. Tak ingin mengganggu paginya, saya melangkah ke dalam ruang ibadah. Di dalam saya temui bangku-bangku tua yang masih tertata rapi, menanti hadirnya umat untuk berbakti.

Berat dan kerasnya kehidupan di kamp pengungsian Galang, terekam pada jejak-jejak yang tersisa di dalam ruang museum, bangunan yang pernah menjadi markas UNHCR. Pula dapat dibaca dari pesan yang dituliskan oleh mereka yang pernah tinggal di kamp pengungsian dan kembali untuk menyusuri jejaknya seperti Hieu Nguyen.
Tahun 1996, kamp pengungsi pulau Galang ditutup dan dikembalikan PBB kepada pemerintah Indonesia. Jamie yang kini menjadi warga negara Amerika, telah kembali ke Saigon (sekarang Ho Chi Minh) berkumpul dengan keluarganya dan menjalankan usaha di bidang farmasi. Gaylord meninggal dengan tenang di rumahnya di Roanoke, Virginia pada 30 Mei 2015 setelah berjuang menjalani hari-hari terakhirnya dengan kanker; saleum [oli3ve].
Sekarang pulau Galang itu masih dihuni kak? oleh org Vietnam atau Indonesia?
masih tp di bagian luar ex kamp Vietnamdikhususkan sebagai tempat wisata.
Pak Filipus….
ya, namanya pak Filipus
aku sapa beliau asik ngomong sendiri