AriReda Menyanyikan Puisi


Arum Dayu dan Meicy Sitorus, Tetangga Pak Gesang, malam itu mampir di Cikini. Meski bertetangga, mereka tidak tinggal di Solo sebagaimana halnya almarhum Pak Gesang. Mereka datang dari Bandung, berboncengan Naik Motor Tua mengusung Yellow Ming-Ming ke pentas.

Tetangga Pak Gesang senang bercerita keseharian mereka tanpa mengurangi pesan yang ingin disampaikan meski lewat kata-kata yang sederhana. Obrolan-obrolan kecil mengajak penonton lebur meski sesekali terkikik melihat mereka mengusir kikuk lalu kembali dibuai oleh petikan ukulele saat tampil membuka Konser AriReda Menyanyikan Puisi di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), 26 Januari 2016 lalu.

Konser AriReda, Reda Gaudiamo, Ari Malibu, Musikalisasi Puisi
AriReda Menyanyikan Puisi

Dua buah lagu selesai, beberapa kali saya berpandangan dan berbisik dengan Nana yang malam itu digeret ke TIM. Hmm .. mereka nggak pecah suara ya? Ada yang terasa mengganggu meski tak menjadi soalan besar. Kami kembali menatap ke panggung, memasang kuping lalu seperti janjian pada menit berikutnya kembali berpandangan.

Sebentar Kak, buka lembar programnya, bukan itu … ya buka lagi. Nih, baca,”ujarnya sembari tersenyum telunjuknya menunjuk sebait kalimat pada sebuah paragraf di lembaran kertas yang dibaca dengan penerangan yang temaram … Mereka punya masalah tata suara

So, we got the point. Kami kembali menikmati penampilan Tetangga Pak Gesang, ikut melantunkan syair Jembatan Merah yang turut dibawakan malam itu, meski tak bisa mengelak masih saja gatal membahas pembagian suara di ujung-ujung lagu. Terlepas dari masalah tata suara, saya suka dengan mereka. O,ya satu hal baru yang saya jumpai malam itu adalah, dengung kazoo yang sesekali muncul menjadi penyedap dendang mereka. Tak lama, Tetangga Pak Gesang pun pamit.

Duo berikutnya yang menjadi bintang malam itu sudah duduk di atas pentas, AriReda. Pada lembar program tercatat, kemeja sedikt gombrong di tubuh Ari Malibu adalah koleksi Second Life sedang Reda Gaudiamo mengenakan busana Sumba dari KAEA Indonesia.

Pada Suatu Hari Nanti membuka penampilan AriReda, disambung dengan puisi kedua Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco setelah jeda sebentar menyapa penonton. Dua puisi karya Sapardi Djoko Damono yang akrab disapa SDD ini ada di dalam album pertama AriReda, Becoming Dew. Pada Suatu Hari Nanti digubah oleh Budhyman Hakim pertama kali direkam dalam album berupa kaset Musikalisasi Puisi SDD: Hujan Bulan Juni sedang Kartu Pos Bergambar Jembatan Golden Gate, San Fransisco adalah gubahan M. Umar Muslim direkam pertama kali dalam Musikalisasi Puisi SDD: Hujan dalam Komposisi.

Meski telah puluhan bahkan tak terhitung berapa kali mentas, di konser mereka AriReda tampak grogi. Beberapa kali tangan Reda meraih botol air mineral yang berdiri di meja kecil di samping bangku yang didudukinya, memutar tutupnya lalu meletakkanya kembali. Diraih lagi, diusap-usap sebentar tapi tak jadi dibuka. Sedang Ari menyiasatinya dengan menundukkan kepala, seperti berdoa, mengusap-usap tangannya ke celana sebelum kembali memeluk gitar. Bisa jadi kegugupan itu terdorong ke permukaan karena ini adalah konser perdana mereka yang murni mengusung nama grup sendiri, AriReda.

Seperti pada penampilan-penampilan mereka sebelumnya, di sela pergantian lagu Reda lebih banyak mengambil peran untuk berbagi cerita perjalanan AriReda. Bagaimana mereka dipertemukan pada satu hari oleh Ferrasta Soebardi aka Mas Pepeng, dipaksa berkolaborasi dan membawakan dua buah lagu sore itu di acara kampus.

Senar gitar kembali dipetik, lengking suara tipis-tipis kembali memenuhi ruang teater kecil. Kata-kata dan rasa bertebaran, pun suara penonton yang sesekali terdengar ikut berdendang. Ada Gadis Peminta-minta, Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi, Ketika Kau Tak Ada, Di Restoran, Nokturno hingga Tuhan Kita Begitu Dekat.

Malam itu, SDD ikut maju ke atas pentas, membacakan dua buah puisi, berterima kasih puisinya banyak dikenal berkat kerjaan mahasiswanya yang “mencuri” dan menjadikannya musikalisasi puisi. Tak ketinggalan Jubing Kristianto diajak bermain bersama. Mereka mendendangkan Gadis Kecil yang aransemen gitarnya dikerjakan oleh Jubing pada 2005, membuat penonton turut pula bernyanyi.

AriReda Manyanyikan Puisi, Ari Malibu, Reda Gaudiamo, Sapardi Djoko Damono, Musikalisasi Puisi
Album AriReda Manyanyikan Puisi

Aaah berhasil! Ada desah lega ketika 20 puisi tuntas disuguhkan mengikuti tatanan acara tanpa melompat-lompat atau menggantinya dengan pilihan lagu yang lain. Selebihnya, beberapa bonus sebagai pelengkap disajikan meski tak membuat penonton puas dan semakin ingin berlama-lama hanyut di dalam ruang teater. Tak ada perpanjangan waktu, tak ada permintaan lagu. Semua harus beranjak dari ruangan, konser telah berakhir. Tak terasa.

Jelang pk 23, sembari menanti Nana yang pamit ke toilet, saya mengobrol dengan Lita Jonathans di luar gedung. Dari kejauhan, di balik kaca AriReda terlihat sangat sibuk meladeni para penggemar mereka yang meminta tanda tangan dan berfoto. Melihatnya, mengingatkan pada pertemuan pertama dengan mereka 8 (delapan) tahun yang lalu usai Malam Puisi Cinta SDD di belakang panggung Graha Bakti Budaya TIM. 34 tahun bukanlah masa yang sedikit untuk berjalan bersama dalam sebuah grup musik. Perjalan mereka tak selalu mulus, tapi malam itu AriReda berhasil membuktikan mereka duo yang solid, punya kelas dan penggemarnya sendiri, saleum [oli3ve].

Advertisement

3 thoughts on “AriReda Menyanyikan Puisi

  1. Baca postingan ini, nonton video Ari-Reda di Yutub, jadi ikut merinding dan ikut kebawa suasananya. Gimana kalau ikut nonton langsung di depan panggung ya 🙂

    Eh? 34 tahun? Ternyata duo Ari-Reda sudah ada bahkan sejak aku belum lahir. Kerreeen!

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s