Aku mematung di ujung Indra Patra, memandang mentari beranjak memunggungiku. Dia mengijinkanku menyaksikan senja mencumbui cakrawala, menghantarkan desah binarnya memancarkan rindu pada tembok-tembok bisu yang padanya kaki kujejakkan. Ini kali pertama dirinya membiarkanku menikmati kemesraan senja, setelah berkali harapku pupus dilerai derai hujan.

Pikirku, mungkin ini hari yang istimewa. Atau … sapa rindu penebus kesalahan setelah melewati hitungan tahun untuk kembali menjejak di sini. Entahlah, aku tak ingin berdebat. Aku hanya ingin menikmati senyum puas senja, usai memagut-magut setiap jengkal benteng yang telentang di hadapannya. Mencoba memindai setiap gerak-geriknya, tuk kuceritakan bila nanti kita berjumpa. Entah kapan. Menebaknya aku meragu. Hanya jejak yang kutitipkan di gerbang Indra Patra dengan sejuta asa kupasrahkan pada sang waktu.
Aku iri pada perempuan-perempuan di luar benteng, yang bebas melepas tawa sembari mengais-ngais lumpur dari dasar parit yang mengelilingi Indra Patra. Bayangkan, pada masa jayanya, pastilah parit itu sebuah sungai deras yang tak mungkin mereka duduki dengan santainya sembari berkelakar. Karena masa itu, ada dua gerbang yang berdiri di antara aliran airnya. Yang tak memungkinkan mereka untuk melintas sesuka hati. Gerbang terdepan, adalah gerbang yang menuju ke laut lepas, sedang gerbang di belakang adalah gerbang untuk memasuki benteng. Pertahanan berlapis yang dibangun untuk melindungi seisi gampong dari gempuran Portugis dan bangsa asing yang datang dari Selat Malaka pada masa Kerajaan Lamuri.

Indra Patra berdiri semasa Hindu merambatkan akarnya di Tanah Rencong. Negeri yang dipuja sebagai Serambi Mekkah yang akarnya berasal dari tiga benteng pertahanan yang dikenal sebagai Aceh Lhèè Sagoë: Indra Puri, Indra Patra dan Indra Purwa. Dari tiga mukim inilah kemudian muncul Kerajaan Aceh Darussalam.
Kupandangi perempuan-perempuan itu yang sekejap menghentikan candanya, mengalihkan perhatian meski tangan-tangan mereka tetap lincah mengais lumpur dan memandangku penuh tanya.
“Saleum Cut Kak, peu haba?”
“Saleum, adek dari mana? $@# … bla … bla .. bla ..,” bahasa planet yang membuatku hanya tersenyum setelah melontarkan kata Jakarta.
Mereka mengutip kerang di waktu senggang antara pagi hingga siang ketika lelakinya berangkat untuk bekerja dan anak-anak mereka berangkat ke sekolah. Serta di petang hingga jelang maghrib. Kerang – kerang yang terkumpul, dibersihkan lalu dijual ke pasar sebagai tambahan biaya lauk serta apa pun yang bisa dibeli dengan uang itu untuk keluarga di rumah.

“Tak banyak yang didapat Dek, cukup tuk tambah biaya di dapur.”
Jika beruntung, dalam sekali berendam, mereka dapat membawa pulang sekaleng susu kerang yang telah bersih dan siap dijual ke pasar dengan harga Rp 8,000,-. Di hari Sabtu dan Minggu, saat benteng banyak dikunjungi pelancong, perempuan-perempuan itu menggunakannya untuk berjualan makanan kecil dan minuman ringan.
Sebulan berselang, aku kembali ke Indra Patra. Di pagi saat matahari masih malu-malu mencumbu bumi, aku berjalan ke belakang benteng mencari perempuan-perempuan yang bersamanya kami pernah berbagi senyum. Hanya seorang yang kujumpai di sana, asik bersendiri, berendam di dalam sungai. Dirinya melarikan diri sesaat setelah menghantarkan anak perempuannya ke sekolah demi sekaleng kerang yang padanya dia berharap, ada sedikit tambahan uang yang kan membuat seisi rumah tersenyum memandang sajian di atas meja yang bervariasi. Tangannya dibungkus sarung tangan tebal. Mencoba melindungi jemari dari gesekan kulit kerang yang tajam meski tak urung sekali dua kali tangannya tergores karena ujung-ujung sarung tangannya sudah sobek.

Berbincang dengannya, mengingatkanku pada obrolan senja yang membuatku hanya tersenyum tak mengerti apa yang mereka sampaikan.
“Belajarlah kau bahasa Aceh, kakak ini orang Aceh tapi kau kan yang tahu jalan, Live. Kalau jalan sendiri, tahulah kau berbincang dengan mereka.“
Beruntung senja itu, kak Yasmin yang menemani berjalan setelah dirayu-rayu mau juga menjelaskan dengan runut kisah yang membuatku hanyut. Tentang sodet yang bisa mampir ke wajah, menjadi senjata untuk melawan ketika lelaki mereka hanya bisa memuntahkan amarah saat tak ditemuinya apa yang mereka harapkan terhidang di meja makan. Tentang mulut yang kan tetap terkunci rapat, meski sakit terasa hingga ke ulu hati. Tentang kerelaan mereka untuk berbagi waktu mencari tambahan biaya meski hasilnya tak selalu menyenangkan. Bertumpu pada aliran sungai di belakang benteng dengan harap masih banyak kerang-kerang yang tersasar terbawa arus ketika pasang.
Setengah baskom kecil kerang telah dikumpulkannya, namun itu belumlah cukup.
“Harus dibersihkan Dek, tak ada yang mau jika masih terbungkus kulit dan terlihat kotor seperti ini.”

Besar perjuanganmu Cut Kak. Kutinggalkan perempuan itu menikmati kesendiriannya, sembari menanti waktu anaknya bubar sekolah, dia bersetia mengais lumpur mengumpulkan kerangnya. Kuteruskan langkah, memanjat benteng di belakang, untuk menyapa Seulawah.
Di dalam benteng, kujumpai seorang perempuan yang asik bersijingkat, memainkan ujung-ujung sepatunya, meliukkan badannya ke depan dan ke belakang. Tangannya menari mengikuti irama kakinya berlari, di tempat engkau pernah hadir dan diakui keperkasaanmu. Di tempat kupijakkan kembali kaki yang sempat enggan untuk diayun.
IBU, aku pulang
pulang untuk menghirup wangi tanahmu,
pulang untuk mereguk helaan napasmu,
pulang untuk memeluk asamu,
pulang untuk menyelami energimu,
pulang untuk menyapa generasimu,
pulang untuk kembali melangkah
Betapa syukurku padaNYA yang masih memberi kesempatan untuk menikmati sapa mesra mentari pagi dan senja di negerimu. Di tempat generasi masa masih terus menata asa, meski pendar asamu redup di mata rasa. Selamat hari IBU, saleum [oli3ve].
Tulisan bertema #InspirasiIBU ini di #HariIbu, Selasa, 22 Desember 2015 ini adalah posbar dengan teman-teman TravelBloggersIndonesia. Tulisan lainnya bisa dinikmati dari:
- Albert Ghana – Pulang ke Kampung Ibu
- Danan Wahyu – Dua Belas Kisah Bunda dan Buah Hati
- Fahmi Anhar –Traveling bersama Ibu
- Indri Juwono – Momen-momen Tetirah Mama
- Parahita Satiti – Mama
- Titiw Akmar
ibu-ibu luar biasa kak
iyeesssss … kamu jadi ke makassar kapan Win?
jadi kak besok
sepengga kisah bunda … tulisanku kak Olive selalu bikin merinding *packing siap2 ketemu emak
merinding bulu romaku … eh itu lagu jaman apa ya kk 🙂
Setiap kali baca tulisanmu yang ada jejak sejarah acehnya, hati kecil ini bertanya, yang sebenarnya orang aceh itu siapa ya? Yudi ataukah kakak? Hihihi
aku hanya seorang penggemar sang’er Yud hahahaha
kopi “Saling Ngerti” ya kak 😀
Perjuangan mereka semoga berbuah hadiah yang setimpal dari Yang Kuasa ya Mbak :hehe. Doh, bentengnya itu memang menggoda benar untuk dijelajahi dengan lebih teliti. Tapi kehidupan manusia di sekitarnya pun tak kalah menarik. Terima kasih telah memberi potret berbeda dari masyarakat di sekitar situs sejarah, dan selamat hari Ibu!
Ngomong-ngomong, kerangnya bisa dijadikan masakan apa, Mbak? Kok saya penasaran dengan olahan kerangnya :haha.
tentang bentengnya ntar diulas terpisah kalo nggak malas 😉
kerang biasanya direbus, makan pakai cocolan sambel. kalau mau tahu tempat makan kerang rebus yg enak hub saya hahaha
Makan kerang di aceh itu enak bgt, trutama sausnya sih… beda dr saus kerang di kota2 lain :).. DIsuruh bljr bhs aceh gitu, aku jd ngerasa tersindir nih ;p.. tinggal 18 thn di aceh utara, tp ampe skr, bhs acehku bisa dibilang nol ;p tiap ujian bhs aceh di sekolah, udhlah… biasanya pasrah aja :D. jd kangen ama aceh ….
yup, kerang rebus Aceh memang beda karena makannya di Aceh hahaha
ayo donk belajar bahasa Aceh bareng2 😉
Weh nemu juga tulisan yang puitis – puitis gimana gitu. Para perempaun pekerja keras, pahlawan buat keluarganya,,,, terharu kak daku membacanya 🙂
terima kasih sudah mampir 😊
kakak sedang membahas daerah saya tuh 😀 peu haba? (apa kabar?)
mau saya ajarin bahasa aceh kakak? 😀
haba get. mau donk belajar bahasa Aceh 😚
sungainya tidak mengelili benteng ya mba …
kebayang saya kalau benteng2 peninggalan orang eropa selalu dikelilingi sungai …
yg tersisa seperti itu, dulunya pasti mengelilingi
Tulisan nya bercerita lebih dari yang ku baca. Mampu membawa imajinasi bahkan melampaui suasana cerita.
Salam kenal mbak.
Terima kasih sudah mampir bang
salaman