Aku mengawali hari kala mentari masih senang meringkuk di peraduannya. Mengayun langkah bersama sepi yang menyelimuti taman kota yang lama tak disapa warga kotanya. Dalam setiap langkah, kukenang ketergesaan ketika mentari yang sama perlahan beranjak ke barat setahun yang lalu. Hari itu, dua hari menjelang pergantian tahun. Kuredam rindu yang sedang membara pada pulau Mutiara, di gerbang Cornwallis pulau Penang. Tak dapat kuulur waktu selain bergegas dari hadapanmu dengan sejumput janji tuk merangkai asa kan waktu yang lebih bersahabat bagi kita untuk berbincang.

Commitment is what transforms a promise into reality – [Abraham Lincoln]
Hari ini, setahun berlalu. Aku kembali untuk mewujudkan janji yang pernah terucap. Bukan ke Benteng Cornwallis, tapi di sini, di taman kota Georgetown, tempatmu melepas segala lelah.
Dari kejauhan kulihat dirimu sedang bercengkerama dengan beberapa kawan. Kulambatkan langkah enggan mendekat, namun lambaianmu meyakinkan diri untuk menghampiri kelompok kecilmu. Senyum lebarmu menghapus segala keraguan yang membayangi diri.
Kemarilah anak muda, kamu pasti senang berkenalan dengan mereka.
Apa kabar Opa Francis? Maafkan terlalu lama menunggu.

Kau memperkenalkan Opa Logan bersaudara (James dan Bram Logan) yang sebelumnya sudah kusapa serta para misionaris yang kemudian kuketahui sebagai pendeta Hutchings, pendeta John Ince, dan pendeta Bausum yang bersamamu pagi itu.
John Ince, misionaris pertama yang menjejak di Penang. Bersama istrinya Joanna, mereka memenuhi panggilan pelayanan semasa masih menjadi pengantin baru, dikirim oleh British Protestant Christian Missionary untuk melayani orang-orang Cina di Penang dan Malaka.
Tentang Opa Hutchings yang lebih senang dipanggil Opa Robert; kau mengenalkannya sebagai pendiri Penang Free School, sekolah menengah pertama yang berbahasa Inggris di kawasan Asia Tenggara; orang di balik berdirinya St George Church.

Kamu sudah ke St George kan?
Aku menggeleng, semoga ada kesempatan untuk melihat lebih dekat tempat itu.
Kamu harus ke sana. Dan aku hanya tersenyum, mengingat padatnya jadwal selama di Penang.
Lelaki di sebelah Opa Ince, sepertinya tak asing. Belum sempat diperkenalkan ketika seorang perempuan bergabung dan memperkenalkan diri, Maria Dyer. Aku senang menikmati senyum ramah pendiri St Margaret’s Primary School Singapura itu. Wajah teduh yang penuh karisma, sorot mata penuh kasih seorang ibu yang memancarkan energi yang sangat kuat. Oma Maria adalah misionaris perempuan pertama di Penang, istri dari lelaki yang sedari tadi hanya menikmati perbincangan pagi ini, Opa Johann Bausum.

Waktu jualah yang kembali melerai reuni kecil yang mulai hangat dengan perbincangan menyenangkan. Tentang pelayanan yang membawa para misionaris muda itu menempuh perjalanan jauh meninggalkan negerinya demi memenuhi panggilan jiwa. Kehidupan baru di negeri beriklim tropis yang sangat berbeda dengan kehidupan di tempat asal. Serta semangat yang tak pupus, mengemban misi meski harus berpisah dengan orang-orang terkasih karena wabah malaria, tipus dan kolera yang merajelela dan menelan banyak korban jiwa.
Semangat! Jika yang satu itu bisa kau pelihara dan tetap jaga di dalam hatimu, percayalah engkau tak akan goyah menghadapi tantangan hidup. Meski tak kau tahu apa yang akan terjadi di depan mata, semangat itu yang akan membuat dirimu tetap kuat merangkai masa depan. Jangan terlena dengan masa mudamu anak muda, beri kesempatan dirimu untuk menikmati kesenangannya yang dapat kau pertanggungjawabkan untuk masa depanmu.

Kutinggalkan taman kota, meninggalkan mereka yang tenggelam dalam keseruannya bernostalgia dengan perjalanan hari kemarin yang telah dilalui. Dengan Opa Francis kembali kami mengatur janji pertemuan di kedai kopi di tengah kota sebelum beranjak dari kotanya.
Penasaran akan kisah perjalanan sejarah negeri ini, membawa langkah mengunjungi Pinaon Time Tunnel. Pinaon, nama yang diberikan oleh James Lancaster ketika mampir di Pulau Jerejak pada awal abad 15. Aku memilih duduk di salah satu sudut kedai kopinya, menanti Opa Francis. Aku ingin berbagi kisah pertemuan dengan Lancaster di kebun rempah yang membuatku tergesa meninggalkan taman kota pagi itu. Aaah, terlalu banyak rasa yang berkecamuk, teramat banyak hal mengejutkan dan menyenangkan yang kutemui dalam dua hari terakhir di sini. Aku bingung harus dari mana memulai penuturan masanya? Untuk meluruhkan campuran rasa yang belumlah rela beranjak, kupesan secangkir kopi hitam sembari menikmati lalu lalang mereka yang berkeliaran di depan kedai.

Malaysia pada masa perang dunia kedua, dirancang sebagai basis pertahanan Inggris untuk merebut kembali Singapura dari Jepang. Port Dickson dan Port Swettenham (sekarang Pelabuhan Klang, Selangor) pun dipilih sebagai kota pelabuhan Inggris untuk mengatur strategi penyerangan lewat Operasi Zipper. Pecahnya perang Pasifik, jadikan operasi tersebut tak berjalan sesuai dengan rencana. Hingga pada 2 September 1945, Jepang yang diwakili Laksamana Uzumi akhirnya menyatakan tunduk dan menyerahkan Penang kepada HTC Walker di atas kapal HMS Nelson, setelah disentak dengan serangan bom pada 11 Desember 1941.
Kulihat tiga bhiku sibuk mondar-mandir di lorong waktu. Di salah satu sudutnya mereka berhenti, memandangi gambar Sun Yat Sen yang menggantung di sana. Pada 1910, Sun Yat Sen dan keluarganya tinggal di Penang. Di tahun itu juga, pada 13 November di rumah yang sekaligus dijadikan sebagai kantor, sejarah mencatat sebuah pertemuan diadakan untuk menyusun rencana dan strategi kebangkitan Guangzhou yang dikenal sebagai Konferensi Penang. Pertemuan yang memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan sosial politik Cina.

Lima puluh tahun setelah berdirinya Penang, Om William Light, putera tertua Opa Francis; dipercaya membangun tata kota Adelaide di pesisir Selatan Australia pada 1836. Opa Francis mengakhiri perjalanannya pada 21 Oktober 1794, karena malaria yang menghajar pertahanan tubuhnya delapan tahun setelah berdirinya Penang. Janji adalah hutang, karenanya harus ditepati. Saleum [oli3ve].
Semoga janjiku kembali ke Penang dapat dilunasi juga. Kangen Penang banyak-banyak.
1794 sudah lama sekali lewat, sudah dua abad yang lalu, tapi yang namanya cerita memang akan abadi, tak bisa mati selama masih diingat dan ditulis ulang dalam berbagai medium :hehe. Mudah-mudahan suatu hari nanti saya bisa bertualang ke sana, siapa tahu saya dan Opa Francis bisa jadi teman baik juga :hehe.
Asiknya berwisata sejarah ke Penang yah 🙂
kopinya jenis apa kak? arabika kah? 😀
Sebagai pecinta kopi, aku wajib dateng nih!