Merdu suara tetabuhan menyambut langkah menjejak di Kampung Tebekang, Serian, Serawak. Pagi itu kami hendak berkunjung ke Kampung Melayu Tebekang, sedang bus yang kami tumpangi berhenti di sisi jalan raya Kampung Bidayuh Tebekang. Jalan tercepat untuk menggapai kampung Melayu Tebekang adalah meniti jembatan gantung yang terentang di atas Sungai Sadong, penanda batas kedua kampung.

Setelah hampir 2 (dua) jam dihibur lambaian hijau pepohonan dan bebukitan di sepanjang perjalanan dari ibukota Serawak, Kuching; sambutan warga setempat membangkitkan semangat untuk bergegas mengenal lebih dekat kampung ini. Keceriaan yang terpancar dari wajah remaja Melayu Tebekang yang memainkan tetabuhan menyertai kaki meniti jembatan yang turut menari mengikuti irama langkah kami. Keriaan belumlah berakhir, di ujung jembatan sebelum kaki benar-benar menapak di Kampung Melayu Tebekang; dua remaja menyambut kami dengan atraksi Pencak Silat.

Berperahu menyusuri Sungai Batang Kayan, pilihan menarik untuk dinikmati saat berkunjung ke sini. Tak sekadar berperahu, di salah satu bibir sungai yang airnya sedang surut; perahu ditambatkan. Perbekalan dikeluarkan, sungai yang tadinya sepi, mendadak riuh. Dua bilah bambu berisi potongan ayam dan daun ubi diberi sedikit rempah disiapkan. Kayu bakar yang diambil dari tepian sungai pun ditumpuk, siap untuk dinyalakan. Ayam dimasak sekitar 30 menit dengan api yang sedang hingga siap disajikan. Agar tak bosan menanti makanan matang, untuk menyelami kehidupan dan keseharian warga setempat, cobalah memancing dan menjala ikan secara tradisional.

Sayang, karena air sedang surut, hari itu tak ada ikan yang tersangkut di jala. Maka sebagai pengganjal perut jelang makan siang cukup dengan Ayam Pansuh (ayam yang dimasak dalam bambu). Karena berada di hutan, alas makannya pun menggunakan daun yang dipetik di sekitar tempat beristirahat. Ayam Pansuh, menu sehari-hari yang dinikmati oleh leluhur Melayu Tebekang ketika mereka menerabas hutan, saat ini dapat dijumpai di meja perhelatan di kampung hingga hotel berbintang. Sebagai camilan, ada Kek Jantung Pisang yang pembuatannya bisa memakan waktu 2 (dua) jam karena dibuat lapis demi lapis. Konon, Kek Jantung Pisang adalah cikal bakal Kek Lapis Serawak, kue lapis terkenal yang wajib dicoba bila berkunjung ke Serawak.

Dari kampung Melayu Tebekang, kami kembali berkendara selama 30 menit menuju perkampungan suku Dayak Bidayuh; Kampung Mongkos. Dayak Bidayuh atau dikenal sebagai Dayak daratan adalah suku asli ketiga terbesar yang mendiami Serawak setelah Iban dan Melayu. Di depan rumah panjang, rumah tradisional suku Bidayuh, kami disambut oleh tetua adat yang mengayun-ayunkan seekor ayam jago di tangannya. Inilah ritual Mipis yang harus dijalani oleh setiap tamu yang berkunjung ke Kampung Bidayuh untuk menghalau roh-roh jahat (ritual tolak bala) agar tak mengganggu sang tamu. Sebelum melangkah ke dalam rumah panjang, sang tamu harus menginjak sebutir telur yang ditempatkan di dalam wadah yang disebut bandai sebagai lambang penghancuran roh jahat.


Usai ritual Mipis, semua penghuni rumah panjang, tua muda, akan menyambut setiap tamu yang berkunjung ke rumah mereka dengan berdiri berjajar dari depan tangga hingga ke ujung rumah. Para tamu dipersilakan untuk masuk dengan tetap diiringi tarian selamat datang sembari bersalaman dengan mereka yang ada di rumah pada saat itu. Di atas rumah panjang inilah semua aktifitas digelar sebagai ungkapan sukacita tuan rumah menyambut tamu yang datang ke kampung mereka. Ragam tarian dibawakan oleh anak-anak Mongkos hingga sajian penganan khas daerah yang menggoda tersaji di depan mata menjelang petang.

Kunjungan ke kedua kampung tersebut dilakukan dalam rangka Hari Koperasi Nasional Malaysia 2015 lewat program Jom Jelajah Koperasi Serawak 2015 (JJKSerawak2015) yang digelar bersama Suruhanjaya Koperasi Malaysia (SKM) sebuah badan di bawah Kementerian Perdagangan Dalam Negeri, Koperasi dan Kepenggunaan dan Gaya Travel Magazine diresmikan oleh Puan Hjh Sharifah Hasidah Sayeed Aman Ghazali, Ahli Dewan Undangan Negeri 7 Samariang pada Selasa, 11 Agustus 2015 di Riversid Majestic Hotel, Kuching. JJKSerawak 2015 bertujuan untuk mengajak perwakilan media melihat lebih dekat usaha yang digalakkan oleh koperasi. Selain JJKSerawak2015, pada 14 – 16 Agustus 2015 digelar pula Pameran Koperasi dan Industri Kecil di sepanjang waterfront Kuching.

Kampung Melayu Tebekang dan Kampung Mongkos menjadi destinasi wisata menarik di Serawak, khususnya bagi pelancong yang ingin mengenal lebih dekat budaya serta keseharian masyarakat Melayu dan suku Bidayuh di perbatasan Malaysia dan Indonesia ini. Kampung Mongkos hanya berjarak 2,5 km dari Entikong, Kalimantan Barat, Indonesia dapat dicapai dengan berkendara dari Pontianak atau dari Kuching. Untuk mendukung program wisatanya, koperasi diberdayakan sebagai lembaga pemberi bantuan bagi warga setempat untuk membuka dan mengelola homestay; sarana akomodasi bagi para pelancong, saleum [oli3ve].
sebelumnya dipublikasikan dan menjadi headline di Kompasiana, Sabtu (22/08/2015)
Googling ah ttg ayam pansuh kayak nya enak, ntar nyuruh bikinin asisten rumah
ayam pansuh kayak pa’piong kk 😉
Sementara itu, koperasi di Indonesia… bisa kita lihat sendiri bagaimana keadaannya ya Mbak :hehe (eh tapi belum boleh pesimis dulu sih :hehe). Tapi terlepas dari semua itu, ini acara yang keren! Ayam pansuhnya menggoda dengan dimasak di dalam bambu jadi citarasanya pasti berbeda, belum lagi kalau kaya rempah (masakan Asia Tenggara memang kaya rempah ya Mbak :hehe).
Tulisan ini semakin memastikan bagi saya kalau untuk mendapatkan pengalaman yang lengkap akan suatu daerah, seorang pejalan sebaiknya merasakan makanan masyarakat itu, menjalankan aktivitas di sana, dengan kata lain berperan sebagai anggota di sana :hehe. Keren!
semangat dooonk!
kalau pernah ke Toraja atau Manado di sana juga ada masakan dlm bambu 😉
Baiklah, kita ke sana dulu kalau begitu :hehe. Terima kasih buat informasinya, Mbak Olive :)).
baru tahu kalau ada masakan ayam pansuh …. he he kuper ..
Indonesia memang kaya banget ya … ga akan habis2 di explore
ebuset, liat foto2 dan narasinya, jadi iri euy 🙂
hi hi hi
pengen jalan2 kayak dulu, bebas dari hutan ke hutan, tapi sekarang mah udah ga bisa lagi…
dilarang iri kakaknya, nganan 😉