Nenek Moyangku [Ternyata] Seorang Pelaut


Bagi yang mengenyam pendidikan dasar hingga menengah pada era 80an, pastinya tak akan lupa bahwa pada masa itu di sekolah diajarkan bahwa negara Indonesia adalah negara agraris. Karena hidup di negeri yang senang diiming-iming, kita tidak pernah senang mengupas sejarah bamgsa karena lebih suka melahap makanan yang disodorkan di depan mata. Meski lahir dan dibesarkan di dataran tinggi, sedari kecil kuping terbiasa dengan lagu anak-anak karya Ibu Sud ini.

jalesveva jayamahe, monjaya, bung tomo, perjuangan surabaya
KRI Bung Tomo (357) bersandar di depan Monumen Jalesveva Jayamahe, Surabaya

nenek moyangku seorang pelaut
gemar mengarung luas samudera
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

Dari lirik lagu di atas, jelas sudah kalau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut. Artinya, negara ini adalah negara maritim dari jaman Majapahit pula Sriwijaya. Memang dulu pernah ramai iklan yang saban hari muncul di kotak televisi yang menyerupai lemari itu, gambar bergerak yang menunjukan seorang bapak beruban memanen padi dengan senyum khasnya. Tapi tak pernah ada penyair yang menulis kisah Nenek Moyangku Seorang Petani. Yang ada, lagu yang mengajak kawan bersama untuk menanam jagung.

Jika ingin membahas seluk beluk maritim, Surabaya adalah destinasi yang wajib untuk didatangi. Kota yang pada masa revolusi kemerdekaan dijadikan pangkalan angkatan laut sekutu setelah jatuhnya Singapura dan Manila; sampai hari ini pun sejarah mencatat Markas TNI Angkatan Laut di kawasan Armada Indonesia Timur (Amaritim) Surabaya merupakan pangkalan militer laut terbesar di Asia Tenggara.

Sayangnya, meski Soekarno pernah mengingatkan kita untuk tak meninggalkan sejarah; karena ketidaktahuan (atau pura-pura tidak tahu?), beginilah cara kita menghargai mereka yang pernah merelakan darahnya tertumpah demi generasi sesudahnya dapat menghirup kemerdekaannya hari ini.

Untuk berkeliling di Monumen Kapal Selam (Monkasel) seorang pengunjung dikenai biaya masuk Rp 10,000 hanya untuk pulang ngedumel. Coba bandingkan apa yang bisa kamu dapatkan jika berkunjung ke House of Sampoerna sampai pegal ditambah ikut tur keliling beberapa destinasi sejarah dengan Surabaya Heritage Track tanpa membayar sepeser pun. Di Monkasel, saya menjumpai Yos Sudarso yang kisah heroiknya memimpin KRI Macan Tutul sebelum ditembak HMS Eversten di Laut Aru ternyata ditugaskan untuk menjaga warung teh botol.

yos sudarso, monumen kapal selam
Rugi bandar, bayar 10ribu hanya untuk melihat ini 😉

Kalau Yos Sudarso yang masih dalam jangkauan memori terlupakan, bagaimana dengan jejak perempuan ini? Pemilihan sosoknya untuk menghiasai pelataran Monkasel banyak menuai tanya, mungkin itu sebab dirinya disudutkan di dinding berbau pesing, dekat bak sampah. Meski jejaknya terlupakan, bagiku, dia tetaplah perempuan yang selalu membuat hati bangga terlahir sebagai perempuan Indonesia. Dia, Laksamana Malahayati.

laksamana malahayati, laksamana wanita pertama dunia
Sosok kebanggaan, IBU laksamana wanita pertama dunia

Saya masih di Surabaya Minggu pagi itu, tak punya rencana hendak kemana sebelum beranjak dari kota ke Juanda; akhirnya iseng mampir ke TPU Ngagel. Saat berjalan santai di belakang penjaga makam yang mengantarkan untuk melihat tempat peristirahatan Dr Posch, tempat ini menarik perhatian. Sehari sebelumnya, saya hanya bisa puas memandangi KRI Bung Tomo yang bersandar di Amaritim karena dipaksa petugas untuk bergegas, waktu kunjungan sangat dibatasi karena tak membawa surat sakti. Melihat tempat peristirahatan Bung Tomo tanpa ada rencana untuk mencari, menjadikan penemuan ini bonus perjalanan.

makam bung tomo, pertempuran 10 nopember
Nggak sengaja melewati makam Bung Tomo di Ngagel 😉

Hal yang jauuuuuuuuuh sekali berbeda dijumpai dan mulai terlihat ketika mengayun langkah memasuki gerbang taman kehormatan di Kembang Kuning. Di tempat ini, mereka yang pernah ada, jasanya dikenang agar generasi yang lahir jauh setelah mereka, dapat memahami apa yang pernah terjadi sebagai pembelajaran dan bekal untuk melangkah ke depan.

pertempuran laut jawa, karel doorman
Monumen Karel Doorman di Kembang Kuning, Surabaya

angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b’rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai

Tak perlu menuding siapa yang keliru dalam membenahi ini itu, sore itu di perjalanan pulang, dalam hati hanya berharap dan berdoa semoga mereka tenang di sana. Mari bersama menjaga warisan bangsa, saleum [oli3ve].

Advertisement

23 thoughts on “Nenek Moyangku [Ternyata] Seorang Pelaut

  1. hahah, ternyata masuk museum kapal selam bayar 10 ribu ya 😀 Kayaknya bakal milih ke House of Sampoerna aja deh kalau ke surabaya nant. Museum kapal selam foto di depannya saja 😛

      1. nah loh? Seriusan lagu dangdut? Pengelola museumnya siapa sih~ ini kan museum bersejarah ceritanya -,-” memang ya museum di indonesia itu kadang unik bin ajaib XD

  2. Saya juga agak kesal di Monkasel itu… 😦

    Yayaya, negara agraris itu memang propaganda. Dengan negara kepulauan seperti jelas terpampang di peta, tak perlu diragukan lagi jika nenek moyang kita adalah pengelana samudra. Yang jauh lebih membahan dibandingkan pesona Pirates of Carribbean sekalipun hehe.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s