Gema genta dari Sultan Abdul Samad memecah senyap, sesaat setelah kaki melenggang dari depan Masjid Jamek menyusuri Jl Raja. Di seberang Panggung Bandaraya (City Theater) sekelompok anak muda berambut punk bergerombol di atas kap mobil yang diparkir di sisi taman melempar senyum dari kejauhan. Nampaknya malam minggu mereka dihabiskan di sudut taman itu, hingga kantuk menahan mereka untuk pulang ke rumah.

Inilah Ampang, kawasan kota tua KL yang banyak menyimpan catatan perjalanan sejarah berdirinya Federasi Malaysia. Jejaknya tersimpan pada setiap sudut bangunan bisu, menempel di bibir Gombak dan Kelang yang menebar aroma pesing karena hanya bisa pasrah menerima cipratan air seni dari mereka yang seenaknya menyemprotkan urine di sana.
Semerbaknya terbawa hembusan bayu, hadir menyemarakkan pagi. Aromanya menempel pada serat kaosku saat bersandar di pagar yang membatasinya di belakang masjid, terperangkap pada selaput pernapasan yang mampet sehingga menyisakan jejaknya di ujung indera penciuman.

Di emperan belakang sebuah gedung, kutemui beberapa loper koran yang menyibukkan diri dengan tumpukan berita pagi yang masih hangat dari percetakan. Memisahkan dan mengikat lembaran koran untuk diisebar kepada para pencari berita pagi. Selintas mata menyusuri berita utama beberapa media cetak di KL pagi ini seputar kunjungan bapak kepala kampung kita dan berita lain dari kampung halaman.

Satu dua tuna wisma masih meringkel di sudut-sudut bangunan kokoh, pulas di atas ubin tak bertilam. Tak dihiraukannya hembusan angin, tak digubrisnya sapa mentari yang mencumbui tubuhnya di sela ruang waktu.
Pada dentang terakhir genta itu terdengar, kulirik jarum jam yang setia berdetak di pergelangan tangan kanan; pk 08.00 di Minggu pagi. Seuntai syukur melambung ke angkasa, sebait pujian dipersembahkan untuk Semesta yang mewarnai cakrawala pagi dengan biru yang kudamba, memberkati dengan sinar mentari yang perlahan menciptakan bayang pada jalanan yang disusuri.


Kini aku berdiri di depan Sultan Abdul Samad, memandang pada jam di pucuk menaranya yang tadi berdentang. Jam itu mengingatkanku pada si penjaga jam di Gare de Montparnasse, stasiun kota tua Paris; Hugo Cabret. Setetes asa tersemai di hati, satu hari nanti kaki ini kan memanjat ke atas menara jam Sultan Abdul Samad. Dan engkau pasti menudingku si gila dengan sejuta mimpi, yang akan merengek untuk turut, serta berharap pula untuk meraba seperangkat genta tua dan melihat putaran Gillet Johnston buatan 1897 di atas menara itu.

Aaah, bisa kau bayangkan semarak di sepanjang jalan ini jelang pergantian hari di akhir Agustus 1957. Malam kala semua orang berkumpul di tempat ini untuk menjadi saksi penurunan The Union Jack dari tiang bendera di ujung lapangan sana dengan kibaran Jalur Gemilang. Pekik sorak itu pastilah mengaum-aum di dataran ini, sejak malam buta hingga pagi menjelang. Mungkin tak segegap sorakku kala bertutur penemuan Padang Nyiru di ekspedisi Muar beberapa waktu lalu. Namun, getaran sorak itu serasa menggema pagi ini.
Andai kau ada di sini, aku takkan seperti si gila yang bermain tebak-tebakan dengan dirinya sendiri. Dan aku yakin dirimu kan sepakat bila kupastikan lonceng dari St Mary Church turut bernyanyi diiringi taluan bedug dari Masjid Jamek pagi itu. Bukankah semua orang ikut bertempik sorak menyambut kemerdekaannya?

Di depan Victoria Fountain aku terduduk. Menikmati lambaian Jalur Gemilang dari puncak tiang tertinggi. Dua lelaki berparas hindustan ikut pula berselonjor di bangku beton menikmati percikan air mancur yang dipersembahkan untuk kejayaan Ratu Victoria. Dia perempuan hebat, pasti kan kuceritakan kisahnya di pertemuan kita nanti. Kini langkah harus bergegas, kembali susuri dataran ini hingga di depan KL City Gallery yang mengingatkanku pada seulas senyummu ketika bergambar di depan ikon kota yang berdiri di samping gedung itu.
All of us were made for a purpose, If you lose your purpose it’s like you’re broken – [Hugo Cabret]

Lama sudah kita tak beriringan menikmati pagi. Entah kenapa dirimu masih setia dalam hening dan betah menyelimuti diri dengan senyap yang enggan kau koyak. Apa kabar pagimu? Kutitipkan rinduku pada Semesta, harap dirimu turut merasakan hangatnya mentari pagi ini.
Dan, ketika genta itu kembali berdentang, langkah diingatkan untuk menghampiriNYA. Aku merindumu, di Minggu pagi itu saat langkah terayun meninggalkan Dataran Merdeka. Semoga engkau pun tetap setia pada jalanNYA meski riak gelombang terkadang menghempas dan menggoyahkan langkah, saleum [oli3ve].
Semacam sisi lain dari ibukota yang gemerlap. Menyentuh sekali :)).
seperti itulah kira2, udah terlalu mainstream ngebahas destinasinya #eeh *permisiii*
Ups… :hihi.
enak banget membacanya….
boleh nambah koq mbak, makasih sudah mampir
selalu,mendayu2….tau2 udah end aja^^
mendayu-dayu? perasaan dah dilurusin deh mbak hihi
foto2 sama teks nya sama2 indah. yang aku suka, tulisan ini jelas terlihat lede dan nutgraf nya… jadi enak diikuti. huwal awwali wal akhiri.. 🙂
terima kasih mas Kamal, duh itu istilah tingkat dewanya jurnalisme humaniora ya mas? *jadi malu*
Aku baru lihat ada gelandangan di Kuala Lumpur, kak. Mungkin karena saat di sana aku dikejar waktu, jadi tak sempat mengamati 🙂
Anyway, aku sukaaakkk tulisan ini! Tapi agak bingung, “kau” di sini maksudnya siapa ya? Pembaca kah?
terakhir ke sana bulan lalu justru banyak ketemu tuna wisma, berjejer tuh di emperan dekat stesen Jamek
“kau” itu tergantung pada tafsiran pembaca 😉 *tekateki*
Yaduuuhhh, main persepsi hihihi.