Hujan deras tak menghalangi langkah segelintir warga Jakarta yang kini mengantri di ruang depan bangunan utama Asrama Putri Carpentier Alting Stitching (CAS) siang itu. Bangunan yang dibangun pada 1817 oleh G.C van Rijk atas prakarsa Yayasan CAS, sebuah lembaga yang dibentuk oleh Pdt Albertus Samuel Carpentier Alting yang bernaung di bawah ordo van Vrijmetselaren.

Ketika pemerintah Indonesia pada masa Soekarno mengeluarkan larangan berkegiatan yang berbau Belanda, pengelolaan lembaga pendidikan ini diserahkan kepada Yayasan Raden Saleh. Karena ditengarai masih berada di bawah naungan Vrijmetselaren Lorge sebuah gerakan yang dinyatakan sebagai gerakan terlarang di Indonesia, maka pada 1962 Yayasan Raden Saleh dibubarkan. Gedung dan seisinya berikut pengelolaannya kemudian dialihkan kepada Departeman Pendidikan dan Kebudayaan.
Di serambi depan bangunan utama gedung yang sekarang dikenal dengan Galeri Nasional (Galnas) Indonesia ini, saya mengantri mengisi buku tamu dan menanti kegiatan tur bersama pengunjung lain. Tak menunggu lama, kurang lebih 5 menit berdiri, seseorang memberikan aba-aba untuk bersiap di depan pintu masuk galeri yang dijaga oleh petugas keamanan.

Mengekor di belakang rombongan kecil yang dipandu oleh Werner Kraus, sebuah buku tebal dan besar bolak-balik dikepit dari kiri ke kanan begitu pula sebaliknya untuk berbagi beban. Karenanya, langkah dipacu mendatangi Galnas meski harus berjinjit melintasi genangan air di depan Stasiun Gambir agar tepat waktu mengikuti tur bersama kurator Aku Diponegoro. Selain Kraus, siang itu Peter Carey juga bertugas mendampingi pengunjung berkeliling melihat koleksi yang dipamerkan.
Kraus mengajak rombongan kecil kami ke sebuah ruang di sudut kanan ruang pameran, Ruang Penampakan Leluhur atau Ruang Pusaka. Ruang berukuran 4×5 meter yang minim pencahayaan itu dilengkapi dengan tempat duduk dengan cermin melintang di belakangnya untuk memantulkan cahaya yang ada. Tiga buah benda pribadi milik Pangeran Diponegoro dipajang di dalamnya: tombak Kiai Rondhan, tongkat ziarah Kanjeng Kiai Cakra dan pelana kuda Kiai Gentayu.

Dari Ruang Pusaka, kami berpindah ke sisi tengah ruangan dan berdiri di depan lukisan yang menjadi ikon pameran, Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh. Kraus pun menjelaskan bagaimana sosok Pangeran Diponegoro di mata Raden Saleh berdasarkan emosi sang maestro yang tertuang pada lukisan tersebut.
Ada yang menggelikan ketika melangkah ke ruangan dimana sejumlah karya seniman kontemporer dipajang. Di ruangan ini sebuah lukisan berjudul Salah Tangkap Pangeran Diponegoro karya Heri Dono menarik untuk ditelaah. Di atas kanvas berukuran 160×200 cm, refleksi penangkapan Diponegoro dilukiskan lewat situasi politik Indonesia pada 2007. Pangeran Diponegoro melihat dengan mencibir dari atas genteng suasana penangkapan Soeharto yang dikelilingi oleh tokoh – tokoh politisi Indonesia.

Tur berakhir di ruang Sisi Lain Diponegoro, sebuah ruang yang menyajikan beberapa karya yang berhubungan dengan Diponegoro. Usai menyorongkan buku Raden Saleh untuk mendapatkan tanda tangan dari penulis dan kuratornya; Werner Kraus; saya bergegas meninggalkan Galnas dengan senyum lebar meski hujan masih rintik.
Sejumlah kegiatan pendukung melengkapi pameran Aku Diponegoro seperti pentas teater, museum ceria untuk anak-anak, pemutaran film dan lain-lain. Pameran Aku Diponegoro yang diprakarsai oleh Goethe-Institut Indonesien akan berlangsung sampai 8 Maret 2015. Saleum [oli3ve].
*****
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan dan menjadi Headline di Kompasiana, Kamis, 19 Februari 2015
Jalan-jalan ke sana ah :))
bareng dooonk :p
ini dari kantor aku tinggal koprol padahal *jadi malu sama kak Olive*
Kalau dari kantornya Mbak Dita mungkin ngesot juga bisa kali ya Mbak :manas-manasin :hihi
Jadi kalian sudah ke sana blom? Janjiannya jgn diundur2 ya 😉
Luar biasa, sang pangeran dikenang dengan jalan seni 🙂
Biar lebih terasa jiwanya 😉
Keren Mba. Jadi menarik rasanya museum kalau ada acara spt ini. Kalau ke museum kadang bingung saya. Jd bnyk skip. Lbh banyak fotoin bangunan aja.
Kalo pajangan di museum sepi informasi memang suka bikin pengunjung jenuh. Mesti pinter2 berimajinasi jadinya hehe
Bener banget Mba. Kalau gak main imajinasinya: masuk. Lihat. Keluar. Dalam hitungan menit yak. Hahahhaa.
Btw mba. Aku mau tanya dong. Kalau kita foto lukisan atau karya seni lainnya di museum. Trs post di blog kita. Itu melanggar hak cipta gak?
mesti dilihat aturan yg berlaku saat pengambilan gambarnya
ada beberapa pameran atau museum yg tidak memperkenankan pengunjung untuk mendokumentasikan koleksi yg dipajang, namun ada juga yg membebaskan pengunjung untuk motret semua koleksinya.
patokannya dari situ aja, dan hargailah peraturan yg ditetapkan oleh pengelola tempat tsb 😉
I see. Jadi cek lagi aturan di museumnya ya mba. Makasih banyak mba.
terima kasih infonya mbak, anak-anak juga perlu ya belajar sejarah dan seni dengan mengunjungi museum
betul banget mak, biar belajar perjalanan perjuangan 😉
Aku perna berkunjung ke makan diponegoro hehehe
Pasti dipaketin sama kunjungan ke Toraja waktu itu ya om cum?
Ajak2 dong klo ada ginian lagi…anak daerah jarang denger kabar beginian 🙂
Masih ada tuh kk, kamu sih jalan-jalan mulu #eeeh