Jejak Sang Pitarah


Dua ponggawa kampung berkulit kecoklatan berdiri pongah di ujung jalan menyambut langkah saat muncul dari balik tikungan yang menanjak menuju tongkonan Buntu Pune di jelang siang itu. Suara mereka memecah senyap, berlomba mengirimkan pesan pada Semesta yang lelap akan hadirnya seorang asing di wilayah kekuasaan mereka.

buntu pune, wisata sejarah toraja, destinasi wisata toraja, pong maramba
Tongkonan Buntu Pune dilihat dari tangga menuju Benteng Kaluku

Mata kami beradu, langkah kami bertemu di tengah tanjakan. Moncong mereka mulai mengendus-endus ujung sneakers busuk yang membalut tapak kaki, beranjak naik menyusuri setiap jengkal tungkai kaki. Bukan gagah-gagahan kalau langkah terus diayun, menepis ragu dalam diri untuk undur.

… jika nanti kena gigitan anjing atau kucing (lagi), nggak perlu disuntik anti rabies lagi ya mbak; kekebalan vaksin ini berlaku selama setahun ke depan,” pesan yang disampaikan oleh dokter jaga di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang memberikan suntikan anti rabies di Tarakan pertengahan tahun lalu terngiang di kepala tepat saat moncong salah satu ponggawa itu mengendus bagian bokong. Pasrah!

Proses pemindaian selesai, salak kegirangan nyaring terdengar memberi sapa,”selamat menjejak di tanah leluhur.”

Melenggang di depan dengan ekor menari ke kiri ke kanan, menuntun langkah hingga ujung tangga menuju pelataran tongkonan yang sangat sepi. Dua tongkonan (=rumah adat Toraja) yang sudah usur dimakan usia berdiri di ujung senja berhadapan dengan tujuh alang (= lumbung padi) yang berada dalam satu rentang generasi.

tongkonan buntu pune, pong maramba, destinasi wisata sejarah toraja
Tergerus masa

Semoga langkah tak salah (kembali) menapak di tanah ini setelah jumlah jemari tangan dan kaki tak cukup untuk menghitung masa yang berlalu. Semenjak engkau tak pernah lagi mendengungkan dongeng tentang senja yang akan selalu menemani langkah menuju senja; ia kan abadi tersimpan di dalam hati.

Kusapa dari ujung alang, lelaki yang tampak sedang menyemai sayur babi di sisi tongkonan. Dilambaikannya tangan memberi isyarat dengan menunjuk kuping kanannya sembari berteriak dirinya tak bisa mendengar setiap tanya yang dilontarkan dari jauh. Passeranan, nama lelaki itu. Kuulur tangan memberi salam, mengajaknya beriringan melangkah menuju lembah, tempat peristirahatan.

Ini namanya rapasan, tempat menyimpan jasad sementara pada saat dipindahkan dan selama berlangsungnya rapasan (= rangkaian acara pesta adat kematian untuk kaum bangsawan) di rante (= tempat pelaksanaan upacara adat),” tuturnya sembari menunjuk  sebuah peti tua berbentuk perahu yang terjepit di antara tumpukan peti lain di kaki tebing.

tongkonan buntu pune, pong maramba, pesta adat toraja, peti mati toraja
Rapasan, sepintas mirip dengan erong (=peti mati tradisional Toraja)

Terlalu bersemangat mengomentari setiap detail penjelasan Passeranan, membuat diri terkadang lupa dirinya tidak dapat menyimak dengan jelas setiap kata yang meluncur dari bibir. Beberapa  kali dirinya mengingatkan dengan menggoyangkan tangan agar tanya yang menggantung dituliskan di atas kertas.

Tangan kanannya terangkat, jarinya menunjuk lubang pahatan berbentuk kotak di dinding tebing,”lubang – lubang itu dulu digunakan sebagai tempat menyematkan kayu yang dipakai sebagai alas untuk mendudukkan peti-peti mati.” Hembusan masa membuat kayu lapuk sehingga peti-peti yang tadinya menggantung, jatuh dan ditempatkan bertumpuk di bawah kaki tebing.

Ohhh, kuburan gantung?” kusela penjelasannya sembari menggambarkan posisi tangan menggantung. Passeranan tersenyum, melanjutkan beberapa kisah di seputar lembah peristirahatan yang terdengar selintas karena mata mendadak terpikat pada bayang tongkonan di atas bukit di seberang tempat kami berdiri.

tengkorak toraja, destinasi wisata sejarah toraja, tongkonan buntu pune
Pada satu masa, engkau kan menjadi seperti ini

My gossshhhhh, is it him? Jemari bergegas merogoh tas mencari bolpen dan buku catatan yang dicemplungkan ke dalamnya, menuliskan sebuah nama lalu menyorongkannya ke depan Passeranan sembari menunjuk ke balik bayang tongkonan di sela beringin … kuburan Pong Maramba’? Melihat anggukan kepala Passeranan, secepat kilat tangan memberi isyarat keinginan rasa untuk menjejak di atas puncak bukit itu.

Tangganya sudah rapuh, jalanan ke atas juga tidak bagus, sudah lama tak ada yang naik ke atas.” tutur Passeranan sebelum tanya kembali digelontorkan. “Tapi … bisa dicoba kan? Saya harus naik ke sana,” diberondong dengan pinta penuh harap dirinya hanya tersenyum. Entah apa yang berputar di pikirannya, beberapa kali matanya tertangkap basah memandang heran sosok perempuan asing yang asik berkicau sendiri di sebelahnya.

Usai berkeliling di lembah peristirahatan, kaki kembali diayun ke pelataran tongkonan mendekati tangga, bersiap mendaki bukit peristirahatan Siambe’ Pong Maramba’. Passeranan mencoba kekuatan potongan bambu yang dijadikan anak tangga dengan mengayunkan badan di atasnya. Yakin masih cukup kuat, diajaknya kaki melangkah sembari mengingatkan agar menapak di ruas tengah bambu itu.

jejak pong maramba, destinasi wisata sejarah toraja, tongkonan buntu pune
Perjuangan dimulai dari sini

Sekian lama tidak memanjat bukit batu, baru dua langkah kaki berhenti, menatap ke pucuk patane yang menyembul di atas sana. Haruskah menghentikan langkah di tengah pendakian? Passeranan memberi petunjuk untuk menancapkan kaki pada lekukan kecil di sela bebatuan sebagai pijakan. Setelah berjuang dengan napas putus-putus; melebarkan langkah kaki dan memanjat dengan merangkak; haaaap! akhirnya sampai jua.

Todipatanean … suara Passeranan perlahan mengalun begitu kaki menjejak di puncak bukit. Merunut sejarah yang dituturkan secara turun temurun, Siambe’ Pong Maramba’ adalah orang Toraja pertama yang dibuatkan patane (=kuburan permanen berbentuk rumah), tempat peristirahatan terakhirnya. Makam yang dibangun sekitar tahun 1920 (merujuk pada tahun pelaksanaan upacara rapasan-nya) masih dipergunakan sampai sekarang, sebagai tempat peristirahatan keturunan Siambe’ Pong Maramba’ yang belum memiliki patane sendiri.

pong maramba, makam pong maramba, wisata sejarah toraja, kuburan toraja
Patane Pong Maramba’

Di depan pintu patane yang terkunci, sebuah ketukan dilantunkan penanda panggilan telah dipenuhi. Pada Pong Maramba’ aku mohon diri, perlahan mengatur debar jantung, menuruni bukit dengan selonjoran dan main prosotan.

Marla kakak Passeranan, menghampiri saat kaki diluruskan di alang sembari menikmati semilir angin usai turun dari bukit. Tak pandai massalu nenek (= bertutur silsilah keluarga), rasa penasarannya terhadap perempuan berparas Jawa yang berdiri di depannya dipangkas dengan menyebut satu nama kampung dan namamu yang menghantarkan langkah menjejak di sini. Matanya berkilau, ada haru di sana; satu kata kunci sebagai pamungkas menjadi tanda bukti, tali pengikat rasa itu abadi.

Perkenalan singkat yang membuahkan secangkir kopi Arabica dengan aneka cemilan dihantarkan ke alang untuk menemani berbincang. “Di atas ada sisa benteng tradisional yang dulu dipergunakan oleh Pong Maramba’, tongkonan ini juga tadinya berdiri di sana sebelum dipindahkan kemari…..” tuturan Marla kembali kobarkan semangat untuk mendaki bukit di seberang bukit peristirahatan Pong Maramba’

Usai menyesap setengah cangkir kopi hitam dan mencuil sepotong kue tulban sebagai pemulih energi, langkah kembali dipacu ke atas Benteng Kaluku. Tak perlu merangkak, ada tangga semen di sisi pelataran tongkonan di sela batang coklat untuk menggapai puncak bukit. Kali ini kaki diayun sendiri dengan penuh semangat berbekal setengah botol air mineral. Mencoba mengajak dua anak perempuan yang sedang bermain di ujung tangga untuk menemani namun dengan muka tersipu, mereka sepakat menggelengkan kepala.

benteng kaluku, pong maramba, tongkonan buntu pune, destinasi wisata sejarah toraja
Yang tersisa di Benteng Kaluku

Suara gelak tawa terdengar dari sisi utara benteng. Oooh rupanya dua sahabat lama sedang bercengkerama di ujung sana. Yang seorang mengenakan passapu (= penutup kepala laki-laki dari kain) dan sarung sedang seorang lagi to mabusa ulunna (= si rambut putih) dengan setelan safari putih. Mereka, Pong Maramba’ dan Anton van de Loosdrecht. Tak ingin menggangu keakraban di sana, badan beringsut meneduh dan menguping obrolan mereka dari balik semak.

Lelaki bersarung itu berdiri lalu menunjuk ke sebuah bukit nun jauh di sisi kirinya,”Eleka sangmane, mutiro tu kayu pea’ta’ mabusa sambali buntu? itukah buah dari benih yang kau tabur seabad yang lalu? tibollo punala bangmo tu raramu, adakah mereka mengingat jejakmu? kabulungan bangmo tu to’banuanmu jong.” Anton menarik napas panjang, mengatur emosi yang membuncah mendengar ocehan sahabatnya. “Tuhanku tak pernah ingkar janji. Tanah ini tak akan lepas dari perhatianNya, satu hari nanti ya … satu hari nanti, pemulihan besar akan terjadi di Tondok Lepongan Bulan Tana Matari’ Allo,” suaranya menggelegar, pandangannya tajam mengitari benteng. Tatapannya berhenti, memandangi semak tempat berteduh.

pong maramba, tongkonan buntu pune, destinasi wisata sejarah toraja
Pong Maramba’ bersama istri dan cucunya (sumber: Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544 – 1992)

Dua sosok itu berjalan mendekat, semakin dekat hingga kedua tungkai kaki beradu menahan getar. Sosok berbaju safari putih berhenti, hingga jarak hanya terpisah selembar daun; sorot matanya berubah lembut. Tangannya terulur, hinggap sesaat di ubun-ubun. Ada aliran energi hangat yang mengalir dari ujung kepala hingga tapak kaki. Suara bariton meluncur dari bibirnya,”Apa yang engkau tabur dengan kasih, tak akan pernah kembali sia-sia; percayalah Nak. Berjalanlah dengan imanmu.” Sekejap, lalu kedua sosok itu menghilang.

image

Kembali ke alang menyeruput sisa kopi yang telah dingin untuk meredakan debaran hati. Jelang petang, langkah ringan terayun meninggalkan tongkonan setelah sebelumnya tak bisa menampik ajakan tuan rumah yang memaksa untuk menikmati sajian makan siang ala Toraja. Sebelum berpisah di depan tongkonan, Marla mengingatkan,”Sering-seringlah kemari …”. Ah, semoga ada sedikit bangga di raut mukamu saat memandang dari atas sana karena rasa itu menggema di hati kala berdiri di depan tongkonan darimana nama yang kau sematkan kan abadi mengikuti jejak langkah ini. Pfiuuuuuh, satu panggilan terpenuhi, saleum [oli3ve].

faktanya:

  • Perjumpaan van de Loosdrecht dalam perjalanan menuju Toraja dengan Siambe’ Pong Maramba’ di atas kapal S.S. Reynst yang mereka tumpangi dari Makassar ke Palopo, menjadi awal persahabatan mereka.
  • Van de Loosdrecht meninggal sebagai martir pada 26 Juli 1917, sedang Pong Maramba’ meninggal dalam pengasingan di Maluku pada 1919. Satu bukti persahabatan yang didasari oleh kasih, meski Anton telah meninggal; rekan misinya Johannes Belksma mengirimkan surat kepada juru injil di Ambon, Pdt Wesseldijk agar membimbing Pong Maramba’ selama dalam pengasingan.

baca juga:

Sumber inspirasi:

  • Dari Benih Terkecil Tumbuh Menjadi Pohon, Kisah Anton dan Alida van de Loosdrecht, Misionaris Pertama ke Toraja – Anthonia Arisa van de Loosdrecht – Muller, 2005
  • Ayah Anak Beda Warna, Anak Toraja Kota Menggugat – Tino Saroengallo, 2010
  • Rangkaian Tanah Air, Toradja – Parada Harahap, 1952
  • Berlibur ke Tana Toraja, Harry Wilcox; Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544 – 1992 – George Miller, 2011
Advertisement

5 thoughts on “Jejak Sang Pitarah

    1. di ke’te kesu kan juga masih asli kk Indri, tongkonan ini dilalui kalau ke ke’te kesu tp nggak banyak yg ngeh

      Toraja lagi yuk, pas aku nggak riweh tapi jadi kuantarin keliling 😉

      1. Aku kan naik angkot, jadi nggak ngeh. Coba kalau jalan kaki kayak ke Lemo dan Londa, pasti ketemu. Haha.

        Ke Toraja, nanti kudu punya ‘alasan tesis’ 😉

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s