Di Persimpangan, Sebuah Resensi untuk Lelaki dari Samatoa


Hampir setahun yang lalu Lelaki dari Samatoa menghampiriku. Hadirnya yang lama dirindukan membuat hati berbunga tuk segera luruh bersamanya. Dia, Lelakimu, kawan setia berbagi langkah hingga ke peraduan. Meski terkadang rela tersingkir dari pembaringan ketika mimpi membuatnya terhuyung, jatuh mencium lantai. Padanya, dekapan di sisa malam tercurah.

Kenangan pada Lelakimu kembali menari kala mata terantuk pada sehelai baju panas merah yang tergantung di ruang seterika rumah masa kecilku di penghujung tahun lalu. Aaah, baju panas itu hadiah natal berpuluh tahun lalu; oleh-oleh dari adik lelaki ibu yang akhirnya pulang setelah bosan mengarungi lautan. Baju panas merah itu mengingatkanku pada Flanel Merah yang dibeli Basilia di Friendship Border Market, kisah yang mengawali perjumpaan dengan Lelakimu.

image

Perjalanan dengan Lelakimu diwarnai gejolak rasa, berhiaskan ragam kisah sepanjang kebersamaan; mengajak diri untuk merenung akan perjalanan yang telah ditempuh. Mencoba berkaca pada Perempuan Renta di stasiun kereta Aranyaprathet, melihat kehidupan seperti yang dituturkan oleh Paulo Coelho adalah, kereta api. Katamu …

Perjalanan selalu menjadi obat terbaik bagi semua jenis penyakit – [Ary Amhir]

Dibuatnya aku tergagap pada kisah Cinta 2 Pendeta, Pee Nan Hoeng dan Pee Nan Jim yang dijumpai Sabe di Samoeng. Kenapa mereka meninggalkan biara, meninggalkan semua yang pernah membuatnya merasakan kedekatan dengan Sang Khalik; menanggalkan jubah pendetanya? Lelakimu membuatku terhenyak pada kisah Pee Nan Hoeng yang pergi demi mengejar perempuan asing yang membuat hatinya kebat-kebit. Meski cinta mereka kandas di persimpangan, semua kembali pada satu kata; PILIHAN.

Bibirku melat-melet menahan senyum teringat perbincangan tentang cinta kasih dengan Romo Gery, seorang sahabat yang menjadi pastor di satu paroki.

“Mo, pastor boleh jatuh cinta nggak?” pancingku suatu hari.
Cinta itu universal, setiap makhluk boleh jatuh cinta termasuk pastor. Poinnya adalah, kepada siapa dan ada apa di balik pikirnya ketika menjatuhkan cintanya.”

Hahaha … aku lupa, cinta adalah anugerah. Maka kembali kuajukan tanya boleh tidak seorang pastor memelihara hasrat pada seorang perempuan? Bagaimana jika ia menggebu ingin menyalurkan hasratnya? Jawabannya?? Kuliah dua sks tentang panggilan pelayanan di penghujung hari yang kesimpulannya membuatku tergelak.

Liv, salah satu syarat menjadi pastor adalah dia lelaki normal. Mereka manusia yang sehat, makanannya terjamin koq. Jadi kalau dia lagi horny jangan dekat-dekat, kamu bisa hamil!”

Lelakimu sangat pandai berbagi cerita, dibangkitkannnya rindu pada seseorang yang kaca jendelanya menghadap kolam dimana teratai menari di atasnya. Ia serupa dengan kisah pengembaraan Saira yang mencari sejumput lotus untuk ibunya yang tak pernah lepas pandangannya dari bunga lotus di kolam di bawah jendela kamar. Perempuan itu sedang sekarat.

Atau, kisah Rambi mencari lelaki dari masa lalu ibunya, Pelukis Famosa; lelaki yang lebih memilih bercengkerama dengan pensilnya timbang menimang perempuannya yang sedang bunting. Perjalanan cinta yang meninggalkan salam perpisahan di sebuah persimpangan ketika diperhadapkan pada pilihan. Dan perempuan itu, yang kelak menjadi ibu Rambi memilih untuk menyimpan rahasianya sendiri meski harus merasakan perih yang abadi. Pencarian yang mengingatkanku pada satu siang terik ketika berlari ke puncak Famosa tanpa kenal lelah, pada janji untuk kembali ke bukit itu satu hari nanti.

Lelaki dari Samatoa karya Ary Amhir, nukilan perjalanan dan pengembaraan seorang perempuan yang pernah berjuang dengan sakitnya menyusuri Kamboja, Malaysia, Negeri Gajah Putih dan Timor Lorosae. Lelakimu adalah kumpulan kisah di persimpangan. Mau dibawa kemana langkah selanjutnya, akankah hanyut dalam permainan rasa yang tak menentu atau mengikuti petunjuk dari Atas; PILIHAN ada di tanganmu. Terima kasih telah mengijinkan untuk melahap dan berimaji dengan Lelakimu, saleum [oli3ve].

One thought on “Di Persimpangan, Sebuah Resensi untuk Lelaki dari Samatoa

  1. Kontemplasi yang sangat apik tentang hakikat memilih ya, Mbak.
    Perjalanan memang begitu kaya akan cerita, tinggal pejalannya saja, apakah berkenan menangkap, menuangkan, dan membagi cerita itu kepada semua orang, ataukah dinikmati sendiri bahkan dibiarkan berlalu.
    Ujung-ujungnya, pilihan lagi :hehe

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s