Bercermin pada Pengelolaan Wisata Sejarah Toraja


Hadiah natal terindah yang diberikan dua tahun lalu oleh pemerintah propinsi Sulawesi Selatan masih dalam tahap penyelesaian sejak diresmikan oleh Gubernur Sulawesi Selatan, Yasin Limpo pada puncak perayaan Lovely Desember 2012 tegak berdiri di atas Bukit Singki’, Rantepao, Toraja Utara. Pagi itu tampak beberapa pengunjung dan pekerja yang dikejar target untuk menyelesaikan pemasangan huruf-huruf dan lampu di bawah kaki salib raksasa agar terlihat dengan jelas dari kejauhan sebelum pergantian tahun. Di Tana Toraja; pemerintah daerah setempat pun sedang mempersiapkan pembangunan patung Yesus memberkati yang konon hendak menandingi patung Kristus Sang Penebus di Puncak Corcovado, Brazil. Seorang warga yang ditemui di sekitar Bukit Singki mengatakan akan ada pembangunan salib kedua yang sama dengan salib di Singki.

bukit singki', salib raksasa, destinasi wisata toraja
Menikmati Rantepao dari atas Bukit Singki’

Ada persaingan antara pemerintah Toraja Utara dan Tana Toraja untuk mendandani program wisata daerahnya dengan patung! Apa salah jika pemerintah daerah ingin memajukan wisatanya? Tak ada yang salah, hanya saja apakah patung-patung yang konon akan menjadi ikon baru pariwisata lebih jelasnya lagi wisata religi itu sangat dibutuhkan oleh Toraja untuk mendongkrak kembali wisata daerahnya?

Mengacu pada tuturan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan, H. Jufri Rahma kepada Tribunnews (29/12/2012), pembangunan salib raksasa ini adalah sebuah terobosan baru untuk memperkuat destinasi Toraja menjadi daya tarik world heritage. Ada yang menarik dengan penekanan kata world heritage yang dalam berita di Tribunnews disamakan dengan pariwisata dunia.

World heritage berasal dari 2 (dua) suku kata, world (=dunia) dan heritage yang dalam kamus Oxford diartikan sebagai sejarah, tradisi dan nilai-nilainya yang dimiliki oleh suatu bangsa selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter mereka. UNESCO memberi definisi untuk heritage sebagai warisan budaya dari masa lalu yang dijalankan di masa kini dan akan diteruskan kepada generasi yang akan datang.

Manis dan pahit getir perjalanan masa lalu adalah rangkaian perjalanan dengan selaksa pelajaran untuk bercermin dalam mengisi hari ini demi mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Soekarno dalam pidato kenegaraannya pada 17 Agustus 1966 pun menegaskan,”jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.”

salib raksasa toraja, bukit singki', destinasi wisata toraja
Salib raksasa, simbol iman atau pencitraan?

Mari sejenak bermain imaji, berpikir di luar kotak dan mencoba memaknai tujuan pembangunan ikon wisata religi yang konon perencanaannya sudah ada sejak 1973 (Tempo, 31/12/2012). Apakah benar sebagai simbol 100 tahun Injil Masuk Toraja atau demi pencitraan? Mari kita bermain dengan angka, berapa biaya yang dihabiskan untuk membangun satu patung itu? Untuk salib raksasa, anggaran biaya pembangunannya yang masuk ke APBD Toraja Utara sebesar 6M. Lupakan imaji dan singkirkan deretan angka yang membuat mata melotot. Mari kita lihat dari perjalanan sejarah religi di Toraja.

Berita Injil mulai masuk ke Toraja pada abad 19 yang diberitakan oleh para zending dan misionaris. Misionaris pertama yang bertugas di Toraja adalah Antonie Aris van de Loosdrecht yang menjejak di Toraja pada November 1913 bersama istrinya Alida Sizoo saat mereka masih terhitung sebagai pengantin baru. Van de Loosdrecht mati sebagai martir pada 1917 kala sebuah tombak disarangkan ke dadanya.

Di sepoi-sepoi kibasan semangat 100 tahun Injil Masuk Toraja di sepanjang 2014 ini, makam van de Loosdrecht dan makam-makam misionaris lainnya cukup teduh dikelilingi semak yang tumbuh di antara tempat peristirahatan mereka. Apa kabar dengan ikon lainnya yang sudah rata dengan tanah? Sungguh IRONIS, disaat pemerintah Toraja sedang giat-giatnya menggalakkan pengembangan dan promosi potensi wisata religi di Tana Toraja dan Toraja Utara; ikon destinasi wisata religi yang ada dan seharusnya dijadikan cagar budaya; DILUPAKAN.

van de loosdrecht, misionaris toraja, anton van de loosdrecht, 100 tahun injil masuk toraja, sejarah gereja toraja
Peristirahatan van de Loosdrecht, 28 Des 2014

Penyair Skotlandia, Thomas Carlyle dalam On Heroes, Hero-Worship and the Heroic in History mengatakan; pelajarilah sejarah perjuangan bangsamu yang sudah lampau agar tak tergelincir dalam perjuanganmu menuju masa depan di kekinian.

Mengantisipasi lahirnya generasi gagap sejarah yang anti-kebudayaan dan lebih mendewakan benda daripada Tuhan, pemerintah Toraja perlu mempertimbangkan surat terbuka penolakan pembangunan patung Yesus dan mengkaji ulang; apakah pembangunan ikon baru wisata religi tersebut akan memulihkan amnesia sejarah serta menambah wawasan pengetahuan sejarah masyarakat Toraja pada khususnya dan wisatawan pada umumnya, dan akankah meningkatkan angka kunjungan wisata ke Toraja serta menaikkan pendapatan pemerintah daerah dari bidang pariwisata?

Lalu, bagaimana dengan infrastruktur serta tata kota, apakah tidak sebaiknya mendapat perhatian lebih? Tak sekadar dibuat mulus ketika ada kunjungan pejabat pemerintah pusat dan kembali rusak di akhir kunjungan. Bagaimana mau menjadikan satu destinasi menjadi world heritage jika jejak sejarahnya sendiri terlupakan? Apa tanggung jawab kita terhadap generasi yang akan datang? saleum [oli3ve].

Sebelumnya dipublikasikan di Kompasiana, Selasa, 30 Desember 2014; dibagikan kembali di sini sebagai dokumentasi

Advertisement

6 thoughts on “Bercermin pada Pengelolaan Wisata Sejarah Toraja

  1. Betul. Sepertinya masih belum memahami betul apa itu “World Heritage”. Bukan menciptakan sesuatu yang baru, namun menjaga dan merawat apa yang sudah ada, lalu dipromosikan.

    Makam itu seharusnya masuk dalam “heritage” yang dimiliki oleh Toraja. Dia yang seharusnya dibersihkan, dirawat, dipromosikan, dijadikan 1 paket dalam rangkaian World Heritage of Toraja 🙂

  2. Miris ya, padahal jauh lebih hemat anggaran dan tentunya tidak menjadi celah penyelewengan kalau yang dibenahi yang sudah ada; yang sebenarnya betul-betul bernilai. Bukannya saya mengecilkan arti monumen yang sedang dibangun, tapi jor-joran membangun proyek monumental di saat makam bersejarah itu terbengkalai benar-benar… miris.

    Entah kenapa, pikiran (buruk) saya jadi melayang pada bahwa pembangunan besar-besaran ini lebih ke arah “memburu” proyek bagi oknum-oknum di beberapa instansi tertentu. Akan sedikit tidak kaget kalau beberapa waktu kemudian penggerebekan terjadi… ah, saya terlalu banyak melantur. Maafkan.

    Moga-moga ada seseorang yang bisa bertindak di sana membaca ini dan tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu, ya.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s