Dapoer Kopi, satu akhir pekan jelang senja. Secangkir kopi tubruk mengebul tersaji di atas lemari kaca multifungsi. Selain sebagai lemari pajangan, tempat penyimpanan juga difungsikan sebagai meja; tempat para tamu kedai kopi menikmati seduhan kopi yang terhidang untuk disesap.

Kopi Sapan. Efenerr, seorang kawan travel blogger mempromosikannya pada satu hari sembari mengirimkan gambar secangkir kopi yang dinikmatinya,”Kamu harus coba mbak.”
Sapan, dataran tinggi di Toraja Utara yang terkenal dengan hasil perkebunan kopinya. Torabica (=Toraja Arabica) Sapan
memiliki aroma yang khas dengan kandungan asam yang rendah dan cukup terkenal di kalangan pecinta kopi sebagai salah satu kopi Arabica Indonesia terbaik.
Menurut primbon tata cara ‘ngopi, pagi dan malam hari adalah waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi. Tapi siang itu, tanpa menghiraukan tatanan penikmat kopi; aku ingin menikmati secangkir kopi Toraja karena merindumu.
“Tunggu tiga menit ya.” Christine, pemilik Dapoer Kopi mengingatkan setelah meletakkan cangkir kopi di atas meja.
Tiga menit adalah perhitungan waktu saat ekstrak kopi matang dan tercampur dengan air setelah diseduh air panas. Ya, menyesap kopi punya tata cara tersendiri agar sensasinya dapat dinikmati. Ada metoda dalam dunia kopi yang harus diperhatikan dari mulai proses tanam, pemilihan biji kopi, menyangrai biji kopi pilihan hingga cara menyeduh dan menyesap yang benar.
Setelah tiga menit, sisihkan butiran kopi yang melayang di atas permukaan air ke pinggir cangkir. Biarkan dia jatuh dengan sendirinya, tenggelam ke dasar cangkir. Sesaplah kopi selagi panas, nikmati aromanya tanpa campuran gula atau creamer. Maka sensasi cita rasa aslinya akan menancap sempurna di lidah.
Sembari menanti kopi matang, mata menjelajahi setiap sudut kedai yang menempati lantai dasar Pasar Santa, Jakarta Selatan ini. Hiasan ukiran Toraja tergantung di dinding, berjejer dengan kipas angin kecil penghalau panas. Biji-biji kopi ditempatkan dalam toples kaca yang berbaris rapi, bersaf dengan mesin penggiling kopi; di atas lemari kecil yang juga menjadi meja tempat meracik kopi.
Obrolan dengan Christine yang memulai langkahnya bersama Dapoer Kopi dari 2011 pun mengalir seputar cerita dari kampung halaman, di sela dirinya menyiapkan pesanan biji kopi. Tentang ayahnya yang bekerja di Perkebunan Toarco Jaya, perkebunan kopi yang dirintis bersama perusahaan patungan Indonesia – Jepang di Toraja pada 1976. Lewat secangkir kopi penyusuran kekerabatan pun berlaku hingga sampai pada satu simpul, ada akar yang menautkan hubungan itu.
Secangkir kopi yang kusesap di Dapoer Kopi membawaku berkelana pada memori masa kecil. Pada lelaki di ujung senja dari Sapan yang sesuka hatinya bertandang ke rumah memanggul sekarung buah markisa dan terong Belanda seusai panen. Entah siapa nama aslinya, tak ada yang pernah menanyakannya. Kupanggil dia Nek Kisa, nama yang melekat menjadi nama panggilannya di rumah karena setiap kali pintu pagar menderik didorong olehnya; kata pertama yang terlontar dari lidah sengaunya adalah,”Alli kisa (= beli markisa).”

Perlahan kusesap sisa kopiku, sembari memperhatikan mereka yang berseliweran di sekitar Dapoer Kopi. Ada yang tak biasa ketika langkah-langkah muda melenggang memasuki bangunan pasar. Mereka yang biasanya tampak berkeliaran di pusat perbelanjaan berpendingin mendadak menyesaki pasar. Berpasang mata nanar di antara kios-kios yang dilaluinya, yang mereka cari bisa ditebak. Hanya saja ragu membuat bibir mereka enggan untuk bertanya.
Akhir pekan jelang senja, di sudut Pasar Santa; secangkir kopi tandas. Yang tersisa hanya ampas kopinya, seperti sisa kenangan yang tetap melekat sebagai pengingat jejak yang pernah disusuri.
Aku bukan penikmat kopi sejati. Hanya penggembira yang menyesap secangkir kopi kala jiwa sedang mendamba. Dan aroma Sapan berhasil mengajak memori mengembara pada tepi sawah kala secangkir khupi itam menjadi perekat pertemuan. Pada jejak yang tertinggal di puncak Geurute, saat secangkir kopi menemani menanti gerimis usai berpesta. Pada perjalanan yang pernah dilalui bersama, pada setitik rindu yang abadi. Saleum [oli3ve].
Aku minum kopi tiap pagi :3
Aku cuma minum kopi kalo mudik ke Nanggroe n Toraja, beda sensasinya
Wah, itu kopi beneran kak. Aku cuma kopi sachetan sih. Some people call it “minuman rasa kopi” 🙂
Tumben itu judulnya typo 😀
Haijaaaah, baru nyadar typo 😉
posting pk 3 pagi dgn mata garfield
Lihat foto kopinya teringat dengan kopi di Pulo Aceh yang disajikan langsung sama bijinya mba, jadi ingin icip juga apalagi emang mantap tanpa tambahan gula. 😉
Iya Aul, teringat sore2 kita ngopi di Lubok Sukon. Semoga Des bisa mudik ke Nanggroe
Sip, semoga nanti akhir tahun aku bisa ada di Aceh juga mba biar bisa lihat sunset di Ulee Lheue hehehe
Yup, blom berjodoh menikmati sunset di Ulee Lheue. Pengen nyusurin Takengon 😉
Nah dataran tinggi itu emang paling top, kita juga lagi usahakan untuk wisata kopi kesana tahun ini dan semoga bisa terwujud.
Sama ILA? Semoga bisa join
Iya mba, rencana ILA mau mencoba merambah wisata ke daratan tinggi biar lebih mengeksplore 🙂
wah mantap nampaknya nih olive,tp aku blm sempat minum di dapoer kopi
cobain deh Bu, aku mendadak ngopi 2 minggu ini.
kalau aku memang setiap hari ngopi, pagi dan sore
iya deh kapan2 🙂
nyeruput kopi pagi2 emang sensasinya luar biasa ya mbk,waktu pkl di kampung idiot Ponorogo kalau siang habis dzuhur sering dibuatin kopi sama ibu kos yang sudah mbah2,panas2 nyeruput kopi siang2 g kalah enak sih hehe…