Satu senja ketika langkah terhenti di sudut kota. Dia hanya ingin digiring menepi sesaat dari kepadatan dan soraknya kota. Hanya ingin sedikit relaksasi agar otot-otot yang menegang, tak sampai membatu. Hanya ingin menikmati hembusan angin menyejukkan semesta. Maka, kuayun dia ke sudut kota, tempat yang kuharap cukup tenang untuk merenungkan sekian langkah perjalanan yang telah diayun bersama.
Menjauh dari bisingnya kota, kutemui sesosok lelaki paruh baya. Postur tubuhnya mungil, bila tak ingin disebut kurus. Selembar kain putih membalut tubuhnya, menyamarkan kulit kelingnya. Rambut-rambut halus memutih tampak berkibar di ubun-ubun, mengkilap diterpa percikan sinar mentari senja yang jatuh dari sela pepohonan. Parasnya mencerminkan kedamaian, energi yang terpancar dari batinnya menyejukkan pelataran tempatnya bermeditasi.
Perlahan kudekati pelatarannya, membisu tak jauh dari singgasananya. Kebisuanku tak sanggup menutupi jejak kehadiran bagi dia yang telah terlatih menenteramkan diri. Sudut matanya mengisyaratkan agar aku pun bersila di depannya.

“Angin apa yang mengantarmu ke sini Nak?” sapanya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
“Aku hanya mengikuti kata hatiku yang menuntun langkah menjauh sejenak dari keramain, laluu … entahlah langkah membawaku ke sudut kota, dan disinilah aku, di depan Bapu,” jawabku sembari mengatur posisi kaki agar tak keram sementara dirinya tak sedikit pun beranjak dari duduknya.
“Satu-satunya penguasa yang kuakui di dunia ini adalah, suara hening kecil di dalam hati,” dia memulai tuturnya dengan suara yang menenteramkan.
Tanpa diminta, lelaki tua yang kupanggil Bapu (= ayah) itu pun menceramahiku dengan pesan berantainya. Tutur katanya lembut menyegarkan jiwa yang haus akan petuah penuh makna tanpa kesan menggurui. Menelanjangi pikiranku yang masih bergelut dengan ragam persoalan yang memeningkan kepala.
Kebenaran tertanam di dalam hati setiap manusia dan setiap orang harus mencarinya ke sana, untuk dipandu oleh kebenaran sebagaimana ia melihatnya. Tak seorangpun berhak untuk memaksa orang lain untuk bertindak mengikuti pandangan pribadinya atas kebenaran.
Manusia harus memilih salah satu di antara dua jalan, menanjak atau menurun. Tetapi karena manusia memiliki sifat brutal dalam dirinya, dengan mudah ia akan memilih jalan menurun daripada jalan menanjak, terlebih ketika jalan menurun dihadirkan dalam pakaian yang indah. Manusia mudah menyerah ketika dosa dihadirkan dalam pakaian kebajikan.
Ucapannya membuatku teringat pada peristiwa yang menyisakan setitik amarah yang kubawa ke kota ini. Pada suasana hati kala diperdaya oleh hasrat membara, lalu dipoles dengan jubah kesucian demi menutupi kemunafikan. Terlalu sering mata kita tertipu pada pesona yang tampak indah dipandang dunia, tanpa mau melihat apa yang terbungkus di dalamnya.
Nak , sejarah mencatat tak ada romantika kehidupan jika tidak ada resiko. Engkau mungkin tak akan pernah tahu apa yang akan kau dapat dari setiap tindakanmu. Tapi jika engkau tak melakukan sesuatu; engkau tak akan pernah belajar dan tak ada sesuatu pun yang akan terjadi.
Aku telah belajar dari ragam pengalaman yang pahit, satu pelajaran paling penting; tentang amarah. Simpan amarahmu, ubahlah panasnya menjadi energi, dan belajarlah untuk mengendalikannya menjadi kekuatan yang dapat menggerakkan sekelilingmu.

Oh tidaaaaak! Apakah Bapu menyelam ke dalam kepalaku? Kupelototi dirinya, masih duduk di tempat yang sama memandang dengan kharisma seorang guru. Dia hanya tersenyum melihat mataku mendelik-delik, mengusap kacamata yang serasa buram meski baru beberapa menit yang lalu dibersihkan. Bapu terus mengalirkan petuahnya, sedikit pun tak terganggu dengan gusarku.
Nak, jangan biarkan dirimu digenggam dunia hingga engkau tenggelam dalam kesulitan-kesulitannya. Letakkanlah dunia itu di telapak tanganmu agar engkau dapat menggoncangkannya sesuka hati.
Jika engkau ingin melihat jiwa pemberani, lihatlah mereka yang bisa memaafkan. Jika engkau ingin melihat pahlawan, lihatlah mereka yang bisa membalas kebencian dengan kasih sayang.
Kuusap aliran air yang menganak sungai, mendadak meluap dari tanggulnya, mengalir deras di kedua belah pipi. Kata-kata Bapu menyejukkan sekaligus menelikung hingga ke lubuk hati. Sebagai manusia yang keras kepala, sensitifitas rasa tak pernah bisa dibohongi. Dan Bapu, berhasil membuat sedu sedan itu mewarnai senjaku.
Ketika engkau mengakibatkan penderitaan kepada orang lain, engkau membawa penderitaan kepada dirimu sendiri. Camkan di dasar hatimu, cinta tak pernah meminta, ia selalu memberi. Cinta selalu menderita, tidak pernah membenci, dan tidak pernah membalas dendam demi memuaskan dirinya sendiri. Orang yang lemah tak kan pernah mampu memaafkan dengan tulus karena hanya mereka yang kuatlah yang sanggup memaafkan. Ingatlah selalu, dimana ada cinta di situ ada kehidupan.
Jangan pernah mengharapkan orang lain berubah seperti yang engkau inginkan jika engkau sendiri tak memberi teladan. Semua berawal dari dalam diri kita sendiri! Tuturnya sembari meletakkan telunjuk di depan dadanya, menunjuk ke tempat dimana hati bersemayam.
Perjumpaan sesaat di tepian kota itu membuat kepala pening semakin pening meresapi penggal demi penggalan kata yang dituturkan Bapu. Namun pening yang timbul karena pesan itu menenangkan hati untuk meresapi setiap makna yang terkandung di dalam katanya.
Aku pamit pada Bapu, kembali ke tengah keriuhan dengan asa yang tersulut bara semangat. Tak dinyana beberapa hari berselang setelah pertemuan itu, kami berjumpa di satu tempat, di tengah kota. Aku mengenalinya dari kain putih yang menjuntai membalut tubuhnya dan sebatang tongkat yang menopang langkahnya ketika berjalan tertatih melintasi pusat keramain. Be the change .. be your true self, pesannya sebelum dirinya menghilang dari pandangan.

We may stumble and fall but shall rise again; it should be enough if we did not run away from the battle – [Mahatma Gandhi]
Hari ini, siapa yang tak mengenal nama besar Mahatma Gandhi? Lelaki pemalu yang kurus, hitam, kecil! Yang dulu dipandang sebelah mata pun tidak, yang kehilangan kata di depan umum; perjalanan hidupnya menjadi cahaya bagi dunia.
Mohandas Karamchand Gandhi, lahir di Porbandar India barat laut (sekarang Gujarat) 2 Oktober 1869. Selama di bangku sekolah, Gandhi bukanlah siswa yang berprestasi; namun dirinya tak pernah meninggalkan tumpukan buku yang menjadi kawan setianya. Menyelesaikan sekolah hukum di London, kembali ke India merintis karir sebagai pengacara namun langkahnya tak mulus. Di kasus pertama dan satu-satunya kasus yang ditanganinya, Gandhi berlari dari ruang sidang karena kehilangan kata untuk melakukan pembelaan. Ia pun menjadi bahan olok-olok koleganya, Gandhi tak pandai berbicara di depan umum!
Atas bantuan kakaknya, pada 1893 Gandhi menerima tawaran kontrak kerja sebagai juru tulis di Afrika Selatan. Tak ada langkah yang berjalan mulus, tengah malam di hari pertama perjalanannya melintasi pegunungan Natal dengan kereta api menuju Johannesburg, Afrika Selatan; Gandhi diturunkan paksa dan ditinggal sendirian di Stasiun Maritzburg. Meski memegang tiket kelas utama yang dibelikan oleh pimpinannya, bagi orang Eropa di Afrika saat itu orang India hanya pantas duduk di kelas tiga.
Gandhi mulai mendapat penghinaan, diskriminasi hingga penganiayaan fisik karena warna kulitnya. Belajar dari kegagalan, Gandhi memandang setiap kesulitan sebagai peluang untuk pelayanan dan tantangan untuk memancing kecerdasan hingga akhirnya, Gandhi menjadi pengacara sukses yang dihormati.
Gandhi mulai mendalami Bhagavad Gita dan di Afrika Selatanlah Gandhi belajar menerjemahkan ajaran mencari keadilan dengan berpegang pada kebenaran/kekuatan jiwa tanpa kekerasan yang kemudian dikenal dengan Satyagraha. Pada 1915, Gandhi dan keluarganya kembali ke India dan dianugerahi nama Mahatma (= great soul) yang kemudian melekat pada namanya.
30 Januari 1948 pk 17: 15 saat memimpin doa bersama di Gedung Biria, New Delhi; tiga peluru ditembakkan Nathura Vinayak Godse pada tubuh Gandhi yang mengantarkannya menghadap sang Khalik 25 menit kemudian. Tiga kata yang mengalir dari mulutnya di jelang akhir hayatnya hanyalah panggilan pada: Rama … Rama … Rama …
An act of grace, demikian Gandhi menyebut perjalanan hidupnya. Dirinya adalah simbol perdamaian dari India, pemimpin spiritual, politikus dan aktivis Gerakan Kemerdekaan India nirkekerasan.
Di malam kematiannya, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru, sahabat karib Gandhi lewat siaran radio All India menyampaikan pesan duka kepada seluruh negeri menyebutnya sebagai Cahaya Pelipur Lara. “Sang Cahaya telah meninggalkan hidup kita … Cahaya yang telah menerangi negeri ini selama bertahun-tahun akan tetap menerangi negeri ini pada tahun-tahun berikutnya dan ribuan tahun berikutnya. Cahaya itu akan bisa terlihat di negeri ini dan dunia akan melihatnya, dan akan melipur lara hati yang yang tak terbilang banyaknya.”
Perjalanan ke kota ini adalah sebuah anugerah yang menjadi sempurna karena mendapat kejutan pertemuan dengan Bapu. Padanya aku berterima kasih untuk segala petuah yang diberikannya saat perjumpaan kami di tepi kota itu. Terkenang Bapu, mengingatkanku pada sosok kepala kampung yang baru terpilih di kampung sana. Harapan warga kampung besar padanya, untuk kehidupan kampung yang lebih harmonis. Meski jalannya berusaha dipites sana sini, dia tetap tenang tak terbawa gelombang. Hati siapa yang tak merindukan damai? Tak ada yang terjadi jika DIA tak menginginkannya terjadi. Saleum [oli3ve].
Bacaan:
- Gandhi The Man, Ekhnath Easwaran, 2011
- Gandhi Is Killed By A Hindu; India Shaken, World Mourns; 15 Die In Rioting In Bombay Three Shots Fired, The New York Times, 31 January 1948.
- Imaji yang menari-nari pada perjumpaan sesaat dengan Gandhi di Art of Paradise, Pattaya dan Madame Tussauds, Bangkok
- Gandhi’s Quote: Goodreads, Brainy Quote
Kata yang begitu terhamonisasi… juga ternyata mampu membuat pagi yang pening ini sedikit bisa bersinar dan membawa bara semangat. terima kasih, mba! sukaaaaaa banget sama tulisannya :3
terima kasih sudah mampir, pening2 enak main ke rawa pening kali ya mbak 😉
selamat beraktifitas
rawa pening di mana? hihi.. sini main ke Bandung, mbak 😀
Semarang mbak, sempat ke Bdg Juli kemarin tp nggak jalan kmn2
Bagus banget.. 🙂
terima kasih, semoga mencerahkan 😉
Syahduuwnya…
habisnya aku ditinggal sendiri di depan
Jadi tertarik untuk semakin mengenal Si Bapu mbak, btw pengen kenalan ama Kepala kampung terpilih,hehehe
monggo mbak diselami sosoknya Bapu, setahuku kepala kampung terpilih tetangganya mbak Prima. aku bertemu waktu dirinya masih Kepala Lingkungan 😉
Yakinlah, walaupun kejahatan dapat berlari secepat kilat and kebenaran berjalan perlahan, ada waktu Tuhan sendiri bertindak dan membuat kebenaran melewati kejahatan
sependapat chef
Dalemmm banget kata-katanya… Kupikir menceritakan orang terdekat dan terpenting dalam hidup mbak Olive, ternyata yang dimaksud adalah Mahatma Gandhi hehehe
sebenarnya iya, cuma diplintir dikit 😉