TARI, Metoda Terapi Pemulihan Anak-Anak Korban Trauma Pasca Bencana


Senja itu sedianya kami berencana menikmati matahari terbenam di tepian Ujong Batee. Kepada Kak Yasmin yang menemani berkeliling menyusuri jejak IBU Laksamana Keumalahayati, dari semalam sudah diwanti-wanti untuk menepi sejenak di pantai itu sepulang dari Benteng Inong Balee. Sayangnya, semesta tak bersahabat. Sedari pagi hujan menderas saat kendaraan baru meniti Jalan Malahayati menuju Krueng Raya.

Karena telah diniatkan, meski senja itu gerimis turun satu-satu; kami tetap berhenti sejenak di bibir jalan dan bergegas ke pantai. Kak Yasmin meminta ijin untuk tetap berada di dalam kendaraan karena dirinya masih belum yakin untuk menjejak di pantai. Tsunami 2004 lalu yang menghabiskan sebagian besar keluarganya, telah membuatnya trauma melihat air laut.

Tak hanya laut, untuk mengantarkan putranya berenang ke kolam renang pun dirinya tak sanggup. Maka, heranlah saya ketika mendadak dirinya telah berdiri di bibir pantai tak jauh dari tempat saya berdiri.

Kak … kakak tahu apa yang sedang kakak lakukan? Kakak berdiri di pantai! Tempat yang nyaris 9 (sembilan) tahun kakak hindari.”
Aku iri melihat kalian sangat menikmati berdiri di sini. Kakak berpikir kenapa harus menunggu di mobil jika butir-butir pasir yang selama ini kakak rindukan bisa kakak rasakan sentuhannya di tapak kaki?”
Kakak sudah siap kan?” saya memandangi kak Yasmin dengan was-was.
Seperti yang kamu bilang kemarin Live, kakak harus bisa melawan rasa takut yang selalu menghantui pikiran dan perasaan kakak jika ingin terbebas dari trauma ini.”

Trauma adalah luka/kekagetan yang disebabkan oleh tekanan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba di luar kontrol seseorang yang dapat membahayakan jiwanya. Kak Yasmin adalah salah satu contoh orang yang mengalami trauma pasca tsunami Aceh 2014 lalu. Selama 2 (dua) tahun dirinya menjalani pengobatan dan pendampingan terapis pasca bencana. Bolak balik ke Penang, itulah yang dirinya lakukan demi bertemu dengan terapisnya. Tak terhitung berapa besar biaya yang dikeluarkannya demi melepaskan diri dari trauma psikologis yang dialaminya.

monumen tsunami aceh
Monumen Tsunami, Gelombang Waktu dan Puing di Gampong Punge Blang Cut, Banda Aceh

Pendampingan pemulihan trauma pasca bencana juga dijalani oleh Helmy, salah seorang rakan yang saya kenal ketika bertandang ke Sabang. Sewaktu tsunami melanda Aceh, dirinya masih tercatat sebagai salah satu mahasiswa di perguruan tinggi di Banda Aceh. Setahun dirinya didampingi dokter terapi dari Jepang, membantu pemulihan trauma pasca tsunami. Meski sampai detik kami bertemu, Helmy menuturkan kenangan pahit tsunami masih sering mengusiknya kala kupingnya menangkap bunyi seperti perputaran air;  langkah tetap harus diayunkan. Dia harus bisa melawan rasa itu, memompa semangat dalam dirinya karena roda kehidupan terus berjalan.

Tak ada seorang pun di muka bumi ini yang mengharapkan diri maupun keluarganya terkena musibah yang memisahkan anggota keluarga satu dengan yang lain. Kehilangan orang terkasih akan berdampak pada kondisi kejiwaan dan psikis orang yang ditinggalkan. Seberapa besar dampak yang ditimbulkan, tergantung seberapa siap/kuat dirinya menerima goncangan hidup yang terjadi secara mendadak.

Bukan hanya mereka yang menjadi saksi langsung dari sebuah peristiwa/bencana yang menyerempet kematian yang mengalami trauma terhadap peristiwa yang dialami/dilihatnya. Kali pertama bertandang ke Aceh di pertengahan Oktober 2012, seorang Ibu yang tak tahan dengan penuturan kembali peristiwa tsunami yang melanda Aceh setiap kali kami melewati kawasan yang cukup parah dilanda tsunami meminta dengan sangat untuk tidak membahas peristiwa tersebut sepanjang perjalanan. Empat hari kami habiskan di Aceh, cukup membuat jiwanya tergoncang. Bagaimana dengan mereka yang mengalami langsung?

tari saman
Tari Saman, salah satu jenis tari untuk melatih kepekaan gerakan yang dapat membantu anak-anak dalam proses pemulihan trauma

Satu hal yang sering terlupakan pasca bencana adalah pendampingan korban yang mengalami trauma baik secara psikis maupun psikologis. Menyadari betapa pentingnya pendampingan terhadap korban yang mengalami trauma pasca bencana lewat trauma healing (pemulihan trauma)Endang Moerdopo yang pernah menjabat sebagai Kepala Pengembangan dan Evaluasi Pusat Pembelajaran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pasca tsunami, selama 2 (dua) tahun masa tugasnya sebagai seorang pekerja sosial pun melakukan penelitian terhadap korban anak-anak tsunami di wilayah Lhok Nga.

Sebagai seorang penari, Endang Moerdopo melakukan pendampingan dengan memberikan terapi tari pada anak-anak korban bencana. Dalam disertasinya Endang Moerdopo mengemukakan bahwa: terapi tari bersifat rekreatif sehingga dapat membantu seseorang untuk mengekspresikan emosi diri. Melalui terapi tari yang bersifat rehabilitatif ini para pengungsi anak mencapai keseimbangan tubuh dan jiwa, sehingga dapat memperbaiki pandangan hidup dan fungsi mental mereka.

Seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari hidup perasaannya dan bersifat indah, hingga dapat menggerakan jiwa perasaan manusia – [Ki Hajar Dewantara]

Mengapa terapi tari? Perempuan dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan dalam pemulihan trauma pasca bencana. Emosi memainkan peranan yang penting memainkan rasa dalam tumbuh kembang kejiwaan seseorang (anak).

terapi tari
Endang Moerdopo dalam salah satu sesi pertemuan dengan para korban pasca tsunami di Aceh pada 2005

Lebih lanjut dari hasil penelitiannya, Endang Moerdopo memaparkan kenapa memilih terapi tari untuk trauma healing terhadap anak-anak di Aceh sebagai berikut:

  • Tidak setiap individu/kelompok bermasalah dapat mengungkapkan masalahnya secara verbal, maka dengan melakukan gerakan tari seseorang dapat mengungkapkan permasalahannya secara non verbal.
  • Bermanfaat bagi aspek emosi kita. Terapi tari bersifat rekreatif sehingga dapat membantu seseorang untuk mengekspresikan emosi diri.
  • Terapi tari bersifat dinamis, melibatkan gerakan kinestetis sehingga dapat meningkatkan keseimbangan mekanisme tubuh.

Tak bisa dipungkiri, bencana tsunami Aceh yang terjadi 26 Desember 2004 lalu masih menyisakan trauma bagi sebagian warganya. Jejak-jejak tsunami masih dapat kita jumpai di beberapa tempat untuk dikenang sebagai goresan sejarah dan pembelajaran untuk masa mendatang. Lewat jejak-jejak tersebut, kita berkaca pada pelajaran dan pengetahuan tentang tsunami, perdamaian, perjuangan, kerja keras dan kebangkitan.

endang moerdopo
Endang Moerdopo menyusuri daftar korban tsunami Aceh 2004 di Lampulo saat kunjungan ke Aceh, Juni 2013

Museum Tsunami Aceh adalah tempat kita bisa belajar banyak dan menggali pengetahuan tentang bencana (tsunami). Ridwan Kamil yang merancang Rumoh Aceh as Escape Hill dalam wujud bangunan museum ini memang sedari awal merancang tempat ini dengan tujuan sebagai zona edukasi, zona perenungan dan pengingat serta tempat untuk memetik dan belajar banyak dari peristiwa tragedi tsunami Aceh sepuluh tahun yang lalu.

Mengingat letak geografis Indonesia yang berada di jalur cincin api (ring of fire), perlintasan pegunungan sirkum pasifik dan sirkum mediterania; serta berada pada pertemuan lempeng tektonik, ancaman bencana alam pun setiap waktu mengintai. Sehingga sudah seharusnya pemerintah daerah rawan bencana maupun masyarakatnya dibekali pengetahuan dan kepekaan terhadap tanda-tanda alam. Sayangnya, sosialisasi bencana masih sangat minim dilakukan di Indonesia, hingga setiap kali terjadi bencana; korban yang berjatuhan pun cukup banyak.

Salah satu poin manajemen bencana yang juga perlu mendapat perhatian adalah penanganan trauma pasca bencana meliputi pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Semoga ke depan pemerintah dan masyarakat Indonesia dapat belajar dari peristiwa lalu untuk menghadapi segala kemungkinan di masa mendatang. Karenanya sosialisasi tanggap bencana ini tak hanya diberikan kepada masyarakat dewasa namun juga anak-anak agar mereka sedari dini mengerti dan tahu bagaimana melindungi dirinya ketika menghadapi bencana serta persiapan mental pasca bencana. Pilih tarianmu dan bergeraklah, saleum [oli3ve].

Referensi:

*****

Tulisan ini dibuat untuk menyemarakkan Lomba Menulis Kebencanaan memperingati 10 Tahun Tsunami Aceh “Berdamai dengan Bencana

banner-lomba

10 thoughts on “TARI, Metoda Terapi Pemulihan Anak-Anak Korban Trauma Pasca Bencana

      1. semoga katut. aku lebih suka tulisan yang bagus menang, bukan tulisan yang banyak di-vote menang hehehe..

      2. amiiin, aku tahu seleramu mbak. andai kamu jurinya hehe

        April lalu ada yg meresensi Perempuan Keumala di Baltyra trus ada yg komen gini,”ini buku kalo yg meresensi mbak Ary pasti habis dibantai.” *sungkem mbak*

        aku hanyut dengan Negeri Pala dan Lelaki Samatoa-mu, suka cara bertuturmu tentang dua pendeta yg meninggalkan biara, meninggalkan panggilan pelayanannya demi mengikuti gelora cintanya pada perempuan asing yg dijumpainya di biara. kirain happy ending dgn perempuan itu, ternyata tetap ya hidup ad/ pilihan 😉

  1. bencana tsunami di Aceh tak akan pernah bisa hilang dari ingatan siapapun yang menjadi korbannya….namun itu bukanlah berarti kita harus berdiam diri saja untuk membantu mereka meminimalisir trauma yang mereka alami…agar semangat hidup bisa kembali menyala di dalam dada…..salah satunya adalah dengan tari menari…..
    selamat berlomba…semoga menjadi yang terbaik,….keep happy blogging always…salam dari Makassar 🙂

  2. Pernah bergelut di bidang kebencanaan memang benar apa yang Mbak Olive paparkan.
    Derita sesungguhnya adalah bukan pada kehilangan, tapi pada trauma atas kehilangan itu sendiri.

    Semoga Menang. 🙂

    Salam

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s