Selembar jaket merah marun terjatuh saat sedang bongkar-bongkar isi lemari mencari koleksi kemeja putih yang sangat langka. Lha isi lemarinya kaos hitam, hijau, merah, kuning koq mendadak pengen kemeja putih? Ya ‘nggak ketemu donk, Lip!
Maroon, nama yang resmi disandang si jaket kulit itu kala diajak menyusuri selatan semenanjung Malaysia beberapa waktu yang lalu. Setahun lalu kami dipersatukan. Disampirkan seorang sahabat yang tak ingin tubuh tipisku diserang angin malam sesaat sebelum beranjak dari rumahnya dengan sepeda motor jelang pergantian malam.
“Jaket ini menemani aku waktu di state 1998 lalu, jaga dia baik-baik ya.”
“Kupinjam malam ini saja, esok kalo ke sini lagi aku balikin.”
“Gak usah, dia lebih berguna bersama kamu.”
“Lhoo, koq gitu? Ini jaket kenangan, masa dikasih ke aku?”
“Hatiku mengatakan, dia menemukan orang yang tepat yang pasti akan merawat dan menjaganya. Ajak dia kalau kamu jalan-jalan ya.”
Maroon mengingatkanku pada peristiwa 16 tahun lalu … ketika jarum panjang di pergelangan tangan kanan mulai bergeser dari angka 12 sedang jarum pendeknya masih mengarah ke angka 7. Pantat mulai gerah setelah sejam lebih menempel di pokok pohon yang dijadikan perhentian ilegal untuk menaikturunkan penumpang di depan komplek Krakatau Steel, Cilegon. Aku berdiri menggoyang-goyangkan tungkai kaki untuk melancarkan aliran darah ke ujung jemari yang mulai kram.

Semalam Bapak telepon. Bapak bilang Ibu yang akan menghadiri wisuda adikku sudah sampai di Bandung, “pergi temui Ibumu.”. Bapak pun menanyakan kabar si jantung pisang, bukan kabar anak perempuan tunggalnya. Bapak membuatku mengiri maka kugoda dia sampai kehilangan kata. Diam-diam beliau ternyata menaruh sayang pada si jantung pisang meski di depannya lebih sering memasang muka garang.
Berani taruhan, kalau bukan karena urusan maha penting pasti nggak ada yang berani melintas ke Jakarta dua tiga hari ini. Meski dilarang keras untuk pergi, tak ada yang berani menahan langkah ini keluar rumah saat penghuni lainnya masih lelap. Di sinilah aku sekarang, terkantuk-kantuk dengan perut yang mulai kriyep-kriyep menahan lapar, menanti Arimbi yang tak jua datang.
“Mbak, Bandung tuh!” si Mas yang berbagi tempat duduk pada batang pohon tumbang yang dijadikan bangku membuyarkan lamunan. Benar juga, dari kejauhan tampak sebuah bus AC mendekat, bukan Arimbi. Kulambaikan tangan dan senyum pada si Mas sebagai tanda terima kasih dan bergegas melompat ke dalam bus. Langkanya angkutan pagi ini membuat bus sesak, beruntung masih mendapatkan tempat strategis di pojok balkon. Dari depan sayup-sayup terdengar suara Koes Plus … ke Jakarta aku kan kembaliiiiii, walau apa pun yang kan terjadi … Setelah merebahkan Blueblack di samping jendela, kuambil ancang-ancang untuk berlayar ke alam mimpi.
Pk 10 lewat suara gaduh memenuhi seantero bus, menghentikan mimpi. Rupanya aku cukup pulas sehingga baru terbangun saat bus sudah merayap perlahan di pintu tol Tomang. Tol dalam kota sangat lengang, masih terlihat sisa – sisa demo di depan gedung MPR/DPR RI. Ranting pohon, ban bekas dibakar, aneka sampah berserakan di sepanjang jalan.
Oh maaaaak! Hati ini berderap kencang teringat si jantung pisang. Sudah sebulan ini komunikasi kami tersendat karena jadwal kerjanya seperti diseret situasi Jakarta yang bergelora. Kemarin siang saat dihubungi ke Depok dirinya sedang di Salemba, giliran telepon ke Salemba kata yang menerima telepon,”Mas-nya sedang mengawasi mahasiswa yang demo di halaman kampus. Mbak ada pesan?”
“Tolong bilangin, besok pagi saya ke Bandung. Minggu saya mau bertemu di Depok. Makasih ya mbak.”
Ya Tuhan, semoga dia baik-baik saja. Jaman itu telepon seluler belumlah merajai pasar seperti sekarang. Komunikasi masih mengandalkan jasa pak pos, warnet serta sesekali memakai jaringan telepon dan memanfaatkan email kantor yang memang hanya bisa diakses di kotak kerjaku yang mirip kandang monyet di sebuah pabrik biji plastik di bibir pantai Anyer.
Akibat kerusuhan yang terjadi selama 3 (tiga) hari kemarin, banyak ruas jalan yang ditutup. Bus kami melaju membelah kota mencari akses yang bisa dilintasi untuk keluar dari Jakarta yang mati. Hati teriris melihat bangunan-bangunan yang hitam bekas terbakar yang kami lewati. Membayangkan nasib penghuninya kala kobar kemarahan menyulut hati mereka yang nuraninya telah terkoyak hingga tega menyakiti sesamanya.
Pasrah bersama penumpang yang lain mempercayakan jejak pada kelihaian abang sopir yang sebentar-sebentar meminta penumpang untuk tetap tenang agar dia juga bisa berkonsentrasi mengemudikan busnya. Entah, di sisi Jakarta mana kini kami berada. Yang aku tahu, hari itu kami akhirnya melaju ke Bandung lewat Subang hingga pk 24.00 kaki yang tremor menjejak di Leuwi Panjang. Terseok-seok menyeret langkah keluar terminal mencari tukang ojek dan memintanya mengantarku ke komplek di belakang penjara Sukamiskin.
Minggu pagi, usai ibadah aku pamit untuk kembali ke Cilegon diantar sopir ke Leuwi Panjang yang baru beberapa jam lalu kutinggalkan. Sesampai di terminal bukannya mencari bus ke Merak, bergegas kukejar Primajasa tujuan Kampung Rambutan yang siap beranjak. Aku harus menemui si jantung pisang! Sampai di Depok, tak disambut dengan riang malah didiamin dan disuguhi muka asem hingga jelang senja.
Padiam-diaman yang tercipta selama berjam-jam akhirnya luruh juga. Si jantung pisang meletakan bacaannya dan dengan suara diberat – beratkan mulai menceracau.
“Kamu nggak percaya ya sama aku? Situasi Jakarta lagi kacau, di kampus mahasiswa lebih banyak demo. Sebulan ini aku dan kawan – kawan mendampingi korban penjarahan yang diperkosa.” dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum meneruskan kisahnya.
“Si Tanti kemarin nyaris kena peluru. Dia ikut-ikutan memanjat dan melompat bersama mahasiswa di pagar Atma saat terjadi kejar-kejaran, kakinya nyangkut di atas pagar. Pantatnya didorong dari belakang oleh seseorang hingga dia jatuh ke dalam kampus. Untung dia gak kenapa-napa, cuma lecet dikit.”
Aku membayangkan Tanti sahabatnya, rekan kerja dan jurnalis sebuah media berbahasa Inggris yang bertubuh mungil. Dorongan untuk menyelamatkan diri yang membuatnya berjuang untuk memanjat dan melompati pagar tinggi itu.
“Banyak korban di luar sana. Mereka bukan hanya menjarah dan membakar barang milik orang lain, lebih biadab! Mahasiswa demo hilang, orang-orang diculik. Nyawa orang koq diputus seenaknya? perempuan-perempuan diperkosa tanpa ampun, dimana nurani mereka? Kita tak bisa membiarkan ini terjadi, apa yang bisa kita lakukan kita lakukan! Korban-korban kekerasan fisik itu perlu pendampingan, mencoba membantu mereka pulih dari goncangan psikologis. Kenapa mereka membenci orang Cina? Kita sama-sama dikaruniai hidup koq sama Tuhan.”
Matanya memerah, bendungan katulampa jebol di pipiku. Aku mengerti, kenapa Bapak mengkhawatirkan dirinya dan kenapa hati gelisah kala dirinya tak berkirim kabar. Warna kulitnya berbeda dengan warna kulitku, tapi hatinya tak diragukan untuk negeri ini. Aku merengkuh tubuhya, membiarkan tangis pecah dan air mata membasahi bahunya.
Senayan City, Mei 2014
Jantung pisang yang telah berubah wujud jadi pisang sale, senyam-senyum penuh arti di depanku. Lama tak saling berkabar, semalam dirinya mendadak ‘ngajak bertemu. Usai memamah biak di resto Jepang hingga perut buncit, kami duduk manis di salah satu pojok kedai kopi tanpa meminum aroma kopi. Baginya, dia memesan manggo dan untukku teh hijau panas.
“Katanya mau bikin buku, manaaaaa?”
“Udah koq, di sini.” ngeles pintar sambil ‘nunjuk jidat
“Ditanya serius.”
“Hahaha … ntar kalo mampir ke toko buku, cari buku ini.” tangkisku sembari menyodorkan gambar buku bersampul biru dengan gambar kapal uap merah. Obrolan kami terus mengalir meloncat ke berbagai masa, mengenang perjalanan yang pernah ditempuh bersama. Aaaah, keripik pisang eh pisang sale. Terima kasih untuk selalu ada dan mau mendengarkan curhat ndak penting serta memberi pencerahan.
Tersadar Maroon masih menjuntai di luar, aku merapikan dan mengembalikannya ke dalam lemari. Pandanganku berpaling pada sebuah buku bersampul merah yang teronggok di lantai. Kisah perjalanan bapak pendiri bangsa ini yang dituliskan oleh Cindy Adams. Mendadak teringat pesan yang pernah disampaikan oleh beliau .. Jas Merah, JAngan Sekali-kali MEninggalkan SejaRAH – [Soekarno]
Perjalanan kemarin adalah sebuah goresan sejarah dan langkah hari ini akan menjadi jejak sejarah untuk dikenang generasi di masa yang akan datang. Belajarlah dari perjalanan kemarin sebelum mengambil langkah yang akan diayun menuju masa depan. Bagaimana jejak di masa depan tergantung dari langkah yang diambil hari ini. Pilihan ada di tanganmu, mau dikenang seperti apa kelak saat jejakmu terhenti di satu titik yang telah ditetapkan olehNya, saleum [oli3ve].
wuii,,, pindah penjara nie ye…. jas merah… aku masih pake jas lab hahaha