Pagi ini iseng membuka lembaran Greetings from Jakarta, Post Cards of A Capital 1900 – 1950 -nya Scott Merrilees yang lama dibiarkan tergeletak di atas tumpukan rak buku. Dari sekadar buka, begitu lembar yang menampilkan gambar kartu pos monumen Michiels terbentang di depan mata, mendadak teringat sahabat yang konon hendak menulis satu kisah tentang Bali. Aaaah, apa kabarmu sobat? Semoga semangatmu belum pupus tuk berbagi jejak yang tertunda.
Mari kembali berkonsentrasi dengan Opa Michiels. Kalau pemerintah Belanda sampai mendirikan sebuah monumen untuknya, tentulah si Opa bukan orang biasa. Tentang siapa Opa Michiels, sepotong kisahnya pernah tertuang bersama Panggilan Dewa Agung Jambe. Hmmm … masih banyak kisah tentang si Opa, namun yang terlintas adalah sosoknya yang diangkat oleh Multatuli dalam Max Havelaar.

Andreas Victor Michiels, lahir di Maastrich, Belanda 30 Mei 1797; menjejak di pulau Jawa pada 1817.Selain pernah memimpin ekspedisi Bali, Opa Michiels juga turut berperang dalam Perang Jawa serta memimpin invasi Belanda ke Pantai Barat Sumatera bersama Jan Jacob Roeps pada 1831. Serangan ke Pantai Barat Sumatera ini dipicu oleh ketegangan yang terjadi antara Belanda dan Aceh dalam urusan pelayaran dan perdagangan setelah penandatangan Perjanjian London 1824 antara Inggris dan Belanda.
20 November 1837, Opa Michiels diangkat menjadi Gubernur Jenderal di Pesisir Sumatera Utara. Bersama pasukannya Opa Michiels berhasil mengambil alih Tapus, Barus dan Singkil yang kala itu diduduki oleh pasukan Aceh pada 1840.


Semasa menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Pesisir Sumatera Utara, Michiels terlibat kontra dan berang pada Edward Douwes Dekker, seorang ambtenaar pamong praja yang ditempatkannya di Natal pada 1843 sebagai kontrolir. Setahun setelah pengangkatannya, Douwes Dekker diberhentikan karena penyalahgunaan jabatan yang merugikan kas pemerintahan. Potongan perjalanan hidupnya di Natal dibagikan Douwes Dekker dalam Max Havelaar. Tokoh Jenderal van Damme pun dipilih untuk menggambarkan sosok Opa Michiels.
Michiels mati di Kusamba pada 25 Mei 1849, kisah kematiannya mirip dengan Kohler di Aceh. Opa Michiels diterjang timah panas saat sedang mengontrol pasukannya. Malam itu pasukan Klungkung menyerang markas Belanda, bayangan Opa Michiels yang berdiri di keremangan malam terlihat oleh seorang laskar pemating (=berani mati) Klungkung yang menghujaninya dengan butiran peluru. Kisah lain menyebutkan, Opa Michiels adalah korban tembakan meriam salah sasaran yang dimuntahkan anak buahnya.

Karena jasanya, pada 1853 – 1855 pemerintah Belanda mendirikan sebuah monumen untuk mengenang keberanian Opa Michiels di sekitar Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng, Jakarta). Monumen yang sama juga didirikan di Michielsplein (sekarang Taman Melati), Padang. Sayangnya, kedua monumen tersebut diperkirakan dihancurkan pada masa pendudukan Jepang. Atau bisa jadi dirusak setelah kemerdekaan Indonesia untuk menghilangkan jejak kolonial di bumi pertiwi. Salam Sejarah [oli3ve].
salam sejarah…. juga…. 😀
Ah sayang banget monumennya dihancurkan, padahal rancangannya keren banget. Agak-agak gothic gitu ya ….
iyaaa … kan masa itu tak boleh ada jejak kumpeni 😊
Kebetulan Beliau adalah Opa saya..
John Antonius Michiels
benarkah? 😊
Kakek saya (Markus Juan Michiels) yang mana adalah orang tua dari ibu saya (Elis Eliyarti Michiels) adalah cucu dari Opa Michiels dan Kami saat ini masih tinggal di Kampung Toegoe kec.cilincing Jakut ( kampung dimana kami warga keturunan masih tetap menjaga kebudayaan dan peninggalan yaitu Gereja Toegoe/Tugu yang berdiri sejak 1676
Senang Melihat Ibu Olive dapat menuliskan Sejarah Tentang Opa Kami,,Salam Sejahtera Untuk Penulis..
ic .. saya pernah mendengar fam Michels Kampung Tugu, nggak nyangka ada hubungannya dengan Opa Michels.
Terima kasih sudah meninggalkan jejak di sini bang John, kapan – kapan saya main ya ke Kampung Tugu biar bisa ngobrol ☺
salam