Saat rehat di Escape, Penang akhir pekan lalu; saya berkenalan dengan pengacara yang juga blogger dari Malaysia, Farah. Dari ‘ngobrol ‘ngidul seputar perjalanan, mendadak dia bilang,”just travelled to Jakarta last week.” Ngapain? Khusus menonton 3 (tiga) film: Soekarno, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (TKVDW) dan 99 Cahaya di Langit Eropa! Onde mande, rancak bana! Farah meyakinkan saya untuk menonton TKVDW setelah mendapat jawaban bahwa film itu tak seperti film dongeng, pun duplikasi Titanic. Jadilah usai ibadah Minggu siang (05/01/14), saya sempatkan untuk pergi ke Kuningan City demi TKVDW!
Saya termasuk satu di antara segelintir orang yang mengatasnamakan penikmat sastra yang awalnya sempat merasa sayang ketika membaca beberapa ulasan kekecewaan terhadap film TKVDW sebelum diluncurkan ke publik. Pasalnya, poster yang menyebar aduhaiiiiiii bak gambar cerita dongeng dari negeri khayangan. Untungnya sengaja menahan diri untuk tidak mengintip thriller trailer-nya di youtube! Dikarenakan Desember 2013 waktu lowong lagi terbatas, saya hanya sempat pergi ke studio untuk menikmati Soekarno.

Waktu kecil saya gemar membongkar isi lemari buku Opa untuk menikmati tulisan tangan indah di lembaran kertas leces. Nah, saat iseng bongkar-bongkar itu saya menemukan TKVDW yang menjadi bacaan berat pertama kala masih duduk di bangku SD. Tak tahu sekarang itu buku rimbanya dimana karena rumah sempat kebanjiran dan banyak buku yang hancur.
Mungkin saat menonton TKVDW, banyak orang yang tahunya film ini adalah kisah yang disadur dari sebuah novel dengan judul yang sama buah karya Buya Hamka. Sebuah kisah cinta tak sampai karena salah satu pelakonnya adalah korban dari tenggelamnya sebuah kapal bernama Van der Wijck.
Van der Wijk tenggelam di perairan Lamongan, Jawa Timur, 20 Oktober 1936. Momen ini menjadi inspirasi bagi Buya Hamka untuk dijadikan bagian dari novel TKVDW yang ditulis pada 1938. Potongan kisah saat Zainuddin kembali harus merelakan Hayati terlepas dari pelukannya.

Van der Wijck adalah nama salah seorang Gubernur Jenderal pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Dari Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia-nya Mona Lohanda, di sana tercatat bahwa Carel Herman Aart van der Wijck adalah Gubernur Hindia Belanda (1893 -1899) yang memerintah sebelum W. Rooseboom (1899 – 1904) dan van Heutz (1904 – 1909) yang terkenal di Perang Aceh. Demi mengenang jasa dan baktinya, pada 1921 nama Van der Wijck diabadikan sebagai nama sebuah kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Dan … untuk mengenang peristiwa TKVDW; sebuah monumen dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda di pelataran Kantor Pelabuhan Brondong, Lamongan masih bisa kita saksikan hingga hari ini (semoga cukup terawat dan dikenali).

Saya menikmati TKVDW saat bunyi srat srot terdengar bersahutan dari deretan bangku-bangku di dalam studio diseling gelak tawa saat adegan-adegan sedih yang malah membuat penonton tergelak di antara lelehan ingus. Ibarat nenek menangis sambil tertawa, melihat kakek bermain kelereng. Lalu menceracau sendiri kala melihat beberapa lokasi pengambilan gambar yang sangat akrab di mata hanya dari melihat detail-detail dan ornamen gedungnya. Lhaaa di NHM! jiaaah, tidurnya di Majapahit! yaaaa nontonya di GKJ! Termasuk mengingatkan saat blusukan ke dalam gedung KPM pada PTD Gambir – Ragusa pertengahan 2005 lalu bersama Sahabat Museum (BatMus).
Eh, di tengah-tengah serunya TKVDW sebuah email masuk dari seseorang yang tersesat di laman Penjelajah Kubur menanyakan kegiatan BatMus. Lha koq, semua serba kebetulan yak? *Buat mbak Cindy yang mengirimi saya email, udah dibalas ya mbak ;)*.
Kejatuhan itu bukan awal kesedihan, tapi awal kebangkitan – Zainuddin, TKVDW
Pada akhirnya selembar tisu dari Garden Cafe XXI pun lecek tak beraturan sepanjang menikmati TKVDW yang banyak menyampaikan pesan-pesan filosofi kehidupan. Pun kepala mendadak mules pengen ke Minangkabau teringat Rendang Traveler-nya Reno Andam Suri. Yang berharap menemukan review TKVDW di tulisan ini, silakan tontonlah sendiri di studio sana. Saleum [oli3ve].
penontonnya gak dewasa banget ya mba, banyak yang ngeluh kayak gitu juga tuhh -_____-
kebiasaan manusia kan lebih suka berkoar seblom mendalami biar rame 😉
pasti pengaruh tertipu poster, potongan
thrillertrailer serta mungkin saja tak paham apa itu TKVDW, kenapa settingan dan tata bahasa TKVDW lain dari yg lainbukannya mau mbandingin, kemarin depan blakang saya kebanyakan pesan Edensor. dari segi pertiketan aja saya bisa menilai bahwa penontonTKVDW yg lebih sedikit itu hasil seleksi alam!
terlepas dari kekurangannya, saya yg nggak gitu doyan ke bioskop merekomendasikan TKVDW untuk ditonton mereka yg tertarik dgn seni, budaya dan sejarah, saleum
eh met tahun baru ya, kebiasaannya masih males apa udah rajin Dit?
betuuull kak, yang nonton TKVDW ini rata-rata yang emang udah baca bukunya atau penggemar sastra, seni, budaya, dan sejarah.
met taun baru juga kak
esolusi rajin mandi itu ada tiap tahun, tapi realisasinya selalu dibawah target 😀
BAgus film ini mbak… akusuka… tapi gak banget pas adegan tenggelamnya kapal.. gak tragis blas.
Kalo ke MInang aku ikuuuut 🙂
itu memang salah satu bagian yg nggak banget, satu studio kemarin terkikik2 pas bagian tsb.
yuk makan nasi padang dulu, eh di Kompasiana ada lomba blog review makanan 5 daerah hadiahnya jalan2 kuliner lhooo
iyo mbak.. aku absen dulu kayaknya. 🙂
Btw, yg bener trailer mbak. Bukan thriller. Trailer itu cuplikan film. Sedangkan thriller itu genre film yg mengerikan. Kayak horror tapi biasanya soal detektif dan pembunuhan.
Hahahaha .. saya memang suka ketukar dalam penggunaan dua kata itu. thx Ri
woo..pdhal aku juga kepengen tadinya nonton film ini, hmmm pikir2 lagi deh ya
ayo bu Seno, sudah nonton belum?
belum hahaha
wah takut “di apusi bakule”
apanya om?
trilernya bagus,… setelah nonton gigit jari
sangat menikmati film ini, indah banget, tutur kata dan pengambilan gambarnya, bikin ga nyangka itu film durasinya 3 jam lhoooooh
iya ya … 3 jam tanpa sadar, tapi kemarin lumayan irit cuma pakai selembar tissue 😉
aku belum nonton kaaak.. nasib ini temen nontonnnya jauh di sana, tapi filmnya lamaaa… nonton sendiri deh ya..
tau gitu bareng aku kemarin kk Indri 😉
hayooo sana nonton
Belum sempat lihat film ini tapi ya sudah banyak baca review yg mengkritik habis-habisan dgn kesimpulan kecewa. Saya dulu juga baca novelnya pas masih SD atau SMP, bukunya juga entah di mana sekarang.
coba deh tonton, serasa dibawa kembali ke masa awal baca itu novelnya.
awal2 lihat bikin perih mata soalnya pemandangan minang yang indah dibiruin… mungkin sengaja buat menampilkan kesenduan nasib zainuddin.. btw ingus zainuddin emang gak nahan dah 😀 *muncrattt
efek2 itu mah,
soal ingus perhatiin nggak pas zainuddin nangis kala hayati dah end? ingusnya netes dekat bibirnya hayati 😉
iyah…bikin gak nyaman di mata…
itu momen yang bikin orang seruangan pada gerrrr 😀
juga pas zainuddin marahin hayati, aku lihatnya juga aneh….
saat kita membaca buku ituh……
kita akan merasa kisah itu…
terjadi d diri kt sendiri….