Salah satu tips agar bisa melihat koleksi yang jarang diunjukin ke publik saat berkunjung ke musium adalah membina hubungan SOK AKRAB dengan petugas musium. Sepanjang sejarah kunjungan ke beberapa musium atau tempat-tempat yang rada ribet peraturannya, cara tersebut masih cukup ampuh untuk melunakkan hati yang jaga pintu masuk apalagi jika ditambah dengan: senyum manis, prolog didukung informasi yang meyakinkan tentang target dan muka memelas bila diperlukan hahaha.
Cara ini kembali dipraktekkan saat berkunjung ke Museum Taman Prasasti beberapa waktu yang lalu. Hasilnya, Eyang pemegang kunci ruangan yang sudah lama gak dibuka tanpa banyak tanya langsung meminta Imin untuk menemani langkah masuk ke sana. Gantian Imin dengan tampang penuh tanya berjalan mendahului ke depan pintu ruangan yang langit-langit luarnya mulai melambai-lambai karena sobek.
“Bang ruangannya perlu direnov nih, makanya gak dibuka-buka ya?” [si Imin hanya senyum-senyum sembari mengangguk]
“Eh bang, koq si Pastor tidur di sini???” [kaget saat pintu di buka mendapati Pastor van der Grinten “terbaring” di lantai]
“Jatuh mbak, ketiban angin waktu itu, jadi dipindah ke sini.”
“Ooooo, anginnya kuat banget ya. Nanti bakal dibalikin lagi gak ke tempatnya?”
“Rencananya begitu mbak, tapi belum tahu kapan.” [Imin meninggalkan saya sendirian di ruangan dia balik menyapu di pekarangan depan]
Pastor Van der Grinten adalah pastor kepala Gereja Katolik Batavia, cikal bakal Katedral Jakarta sekarang. Kasihan juga lihat si pastor “tergeletak” di lantai di ruang tertutup padahal biasanya berdiri dekat pojok belakang taman sehingga bisa menikmati pemandangan di sekeliling taman. Lupakan sejenak kisah sang pastor, kembali ke tujuan awal masuk ke ruangan ini adalah untuk melihat benda berikut:

Pasca dilengser dari jabatannya, Bung Karno diburu-buru untuk meninggalkan Istana Bogor. Beliau menjadi tahanan rumah, diasingkan ke Istana Batu Tulis sebelum dipindahkan ke rumah Dewi Soekarno di Wisma Yaso (sekarang Museum Satria Mandala). Bung Karno menghembuskan napas terakhir di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta 21 Juni 1970 karena komplikasi penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Jenazahnya disemayamkan di Wisma Yaso sebelum dibawa dan dimakamkan di Blitar. Puluhan ribu massa tumpah ke jalan mengiringi kepergian Singa Podium, Putera Sang Fajar sejak dari Jakarta hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya. Makamnya sempat disterilisasi dari kunjungan pelayat hingga 1979, yang ingin ziarah mesti mendapatkan ijin tertulis dari Kodim.

“Hoe gaat het met jou…?” itulah sapa terakhir Bung Karno kepada Bung Hatta ketika membezoek sahabat Dwi Tunggal-nya di ruang ICU RSPAD Gatot Subroto dua hari jelang kepergiannya. Hatinya sedih melihat kondisi orang yang dihormatinya terkulai lemah tak berdaya membuat tubuhnya terguncang menahan tangis malam itu.
Sepuluh tahun setelah kepergian Bung Karno, putera kelahiran Bukit Tinggi yang juga mantan Wakil Presiden RI pertama ini menyusul menghadap sang Khalik pada 14 Maret 1980 di RS Cipto Mangunkusomo, Jakarta. Keesokan harinya, Bung Hatta dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Inti cerita sebenarnya adalah, selama disemayamkan hingga dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya; jasad kedua tokoh proklamator ini diistirahatkan di dalam peti mati. Sebagai muslim, ketika diturunkan ke dalam liang lahat petinya gak ikut ditanam bersama jasadnya.
Lalu, peti mati itu diapakan? Tak banyak yang tahu kalau kedua peti mati sang Proklamator kini disimpan di Museum Taman Prasasti, Jakarta. Sayang ya, setiap memperingati Hari Kemerdekaan RI gak pernah lho orang membahas peti matinya. Lha iyalahhhhh, ngapain Lip? Orang lagi sorak-sorak bergembira koq bahas peti mati? Hmmm, peti mati itu kan saksi bisu sejarah perjalanan akhir kedua tokoh bangsa Indonesia itu. Terus, ngapain disimpan? Salam penjelajah kubur [oli3ve]
Baru tahu lho aku kalau peti mati Bung Karno & Bung Hatta ada di situ.. thanks infonya ya Olive…
suerrr aku gak berani masuk ke situ sendirian..
masuknya siang aja bu jadi terang hehe, dulu waktu pertama masuk malah malam2 lho 😉
wiiih serem deh ,kalo rame2 mah saya berani sih
agak2 horor sih liat peti mati, tapi jadi penasaran cerita dibalik peti mati tokoh proklamator… btw boleh dibuka ga petinya?
kayaknya sih boleh, tapi gak enak ..ntar kalo ada yang nyembul gimana?
wow, what a great post mbak, selalu misterius ya kalo ngebahas sang proklamator
txst to share it, mbak….
sama-sama mbak Fla
[kaget saat pintu di buka mendapati Pastor van der Grinten “terbaring” di lantai]
maksudnya apa sih mbak? maksudnya tengkoraknya gitu ??
hahaha …patungnya mbak
baca lanjutannya di paragraf bawahnya .. … Kasihan juga lihat si pastor “tergeletak” di lantai di ruang tertutup padahal biasanya berdiri dekat pojok belakang taman sehingga bisa menikmati pemandangan di sekeliling taman…
oh baru inget, patung yang di tengah2 taman belakang yah mba, sayang jg ya gak dimaintain baik.
Btw, tuh patung lumayan serem :))
iya betul, serem karena cara natapnya ya hahaha
Wat? Masa di Museum Prasasti? Aku kelewatan lihat ruang tersebut…huhuhuhu….
Bener-bener butuh mbak Olive deh kalo jelajah sejarah Jakarta *wink
pamer foto perempuan ‘nangisnya habis dari Jakarta sih hahaha
iya…bulan lalu belum puas muter Museum Prasasti, karena nggak bawa buku sejarah dan guide #ehh hehehe….
di tiap musium kan ada pemandunya #eaaaaa
serem kayaknya ………..
ruangannya terang koq Is, jadi gak serem 😉
ayuk ah olive kapan ke sini lagi, aku ikuut
baru tau lho ada petinya di sini
lho kalo lihat peti gak takut mbak? hehe
ntar cek jadwal dulu ya *sok sibuk*
Menarik ya historinya 🙂
begitulah
thx sudah mampir