Dalam konser interaktif The Indonesia Choir (TIC) yang diadakan di Jakarta pada 21 Mei 2013 lalu, Jay Wijayanto bertanya kepada anggota The Indonesia Children Choir (TICC) dimana mereka belajar lagu Indonesia Raya? apakah di sekolah mereka masih ada upacara bendera?
Jawaban anak-anak yang masih polos ini mengundang senyum, tawa hingga prihatin penonton yang memenuhi Usmar Ismail , Kuningan malam itu. Mereka yang bersekolah di sekolah negeri/swasta Indonesia masih menikmati upacara bendera sedang yang bersekolah di sekolah multinasional dengan bahasa pengantar bahasa asing, baru mengenal Indonesia Raya ketika bergabung di TICC.
Mungkin satu prestise bagi para orang tua jaman sekarang bila lidah anak-anaknya yang sejak balita sudah gak belepotan berkomunikasi dalam bahasa asing. Saya jadi teringat cerita seorang kawan tentang anak kawannya yang sehari-hari berkomunikasi dengan orang tuanya yang asli Indonesia menggunakan bahasa Inggris. Keluarga kecil ini sehari-hari menghirup udara Jakarta yang masih ada di wilayah Indonesia dengan bahasa persatuan bahasa Indonesia namun perbendaharaan kata Indonesia sang anak sangat minim. Lalu, akan dibawa kemana generasi penerus ini?

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Anak Segala Bangsa mengatakan,”Tanpa mempelajari bahasa sendiri pun orang takkan mengenal bangsanya sendiri.”
Penonton malam itu pun tak ketinggalan mendapat pertanyaan sederhana, umur berapa WR Soepratman ketika menciptakan lagu Indonesia Raya? Bagi sebagian orang umur adalah topik yang sensitif untuk dibicarakan tapi akan menjadi hal biasa bila dibahas dengan orang yang telah kita kenal baik.
Wage Rudolf Soepratman, nama yang hanya akan naik daun dan disebut-sebut pada pelaksanaan upacara 17 Agustus memperingati hari kemerdekaan RI. Lahir di Jakarta pada 9 Maret 1903, pada 1914 dia ikut kakaknya ke Makassar, di sana ia mulai belajar memetik gitar dan bermain biola dibimbing kakak iparnya W.M van Eldik (Sastromihardjo).

Pada 1924 WR Soepratman pindah ke Surabaya lalu pindah ke Bandung menjadi wartawan surat kabar Kaoem Moeda. Sebagai wartawan Sin Po, pada 1926 ia rajin mengunjungi rapat-rapat pergerakan nasional dan mulai menulis lagu Indonesia Raya. Tahun 1928 lagu tersebut selesai dan dinyanyikan pertama kali pada Kongres Pemuda Indonesia yang kedua di Jakarta yang berlangung 27-28 Oktober 1928. Lagu yang refrein aslinya menggunakan kata Indones, Indones, Merdeka, Merdeka .. membuat WR Soepratman menjadi target polisi Hindia Belanda.
Sepanjang tahun 1930 – 1937, hidupnya berpindah-pindah hingga akhirnya dibawa oleh saudaranya ke Surabaya pada 1937 karena sakit. 7 Agustus 1938, ia ditangkap dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Tujuh tahun sebelum Indonesia menyatakan kemerdekaanya, WR Soepratman menghadap sang Khalik pada 17 Agustus 1938 dan dimakamkan di kuburan Islam Kapasan, Surabaya.

Pada masa pemerintahan Megawati, makamnya dipugar dilengkapi dengan ornamen biola pada taman pemakamannya dengan bagian atas pusara berbentuk biola. Biola bersejarah tersebut menjadi koleksi Museum Sumpah Pemuda, Jakarta. Sebait pesan trakhir yang terpatri di salah satu monumen dalam taman pemakaman itu berbunyi:
Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ichlas. Saja toh soedah beramal, berjoeang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti merdeka. – [WR Soepratman]
Jadi, umur berapa WR Soepratman ketika menciptakan Indonesia Raya?
Hari ini, Indonesia Raya kembali berkumandang di upacara-upacara bendera untuk memperingati 68 tahun Kemerdekaan Indonesia. Pertanyaannya, sudahkah Indonesia di hati kita? Selamat Hari Merdeka [oli3ve].
Amin… sayang sekali dia tidur panjang sebelum lagu ciptaannya resmi berkumandang di seluruh Indonesia ..
iya, tapi beliau menerima itu *eh ini berdasarkan pesan terakhirnya di makam hehe*
Tulisan yang mengharukan kak Olyv …