Penulisku Idolaku, judul artikel dengan warna jambon di salah satu majalah wanita edisi lama yang dibolak-balik saat antri di salon beberapa waktu lalu memikat mata. Artikel yang mengulas pengalaman tiga pembaca yang memenangkan undian untuk berkencan dengan penulis idola mereka selama 2 jam! Waktu yang tersedia digunakan untuk makan di resto plus ngobrol sepuasnya dengan idolanya. Tiga penulis yang dipertemukan dengan penggemarnya tersebut adalah Ayu Utami, Andrea Hirata dan Chlara Ng. Haiyaaaaa, ini artikel gw banget hehehe.
Bertemu dua jam saja mereka sudah kegirangan, kebayang donk gimana traveling bareng penulis idola menyusuri jejak sosok idola yang tertuang dalam bukunya? prikitiuwwwww! Dilarang sirik hahaha.
Lima bulan ini nyaris semua tulisan saya tentang Aceh selalu menyeret nama seseorang yang menginspirasi perjalanan, merajut rindu pada Nanggroe dan IBU. Kekuatan mantra tapak tuan eh bukan the power of the book!

Bila tiga orang pembaca di atas bisa bertemu idolanya melalui persaingan dengan penggemar lain, saya cukup dengan modal sok akrab mengirim pesan ngaku-ngaku penggemar berat bukunya plus berbagi link tulisan yang segera membawa langkah kembali ke Nanggroe. Hmmm, ada faktor beruntung juga sih karena dalam sekejap pesan yang dikirimkan dibaca dan dibalas oleh sang penulis. Gak perlu bersaing dengan pembaca lainnya karena saya yakin sebagai satu-satunya penggemar gila yang disayang dan ditempatkan di urutan teratas di hati sang penulis #GRtingkatdewa. Keyakinan itu sesuatu yang mahal di jaman banyak jiwa yang galau saat ini lhoooo.
Dua minggu sebelum pertemuan dengan Ibu (Ibu adalah panggilan hormat dan sayang saya pada sang penulis idola, berulang latihan pakai mbak or kakak tetap yg keluar di mulut ya, Ibu 😉), saya berbagi tulisan tentang sosok idola yang jadi headline di Kompasiana; Simbiosis Mutualisma dengan Idola. Tapi untuk yang satu ini kasusnya lebih dalam karena melibatkan emosi jiwa, entah kenapa mendadak kami seperti dua pribadi yang sudah saling mengenal sejak berabad silam. Mendadak akrab bukan sok akrab lagi, gitu lhoooo maksudnya.
Beberapa hari sekembali dari Nanggroe, kami bertemu di @america Pasific Place menghadiri Indonesia Women of Change Awards yang diselenggarakan oleh Kedutaan AS. Senang banget bisa bertatap muka setelah sebelumnya hanya berkomunikasi lewat pesan-pesan yang dikirim melalui ujung jari. Seminggu berselang sesaat setelah mendarat di Cengkareng, rindu menghantarkan kaki meluncur ke rumahnya dengan menenteng lumpiah Gg Lombok dari Semarang, orang gila kan?

Ya, kegilaan dan kecintaan yang membuahkan sebuah kolaborasi untuk berbagi jejak IBU yang sangat kami banggakan dan kagumi, Laksamana Keumalahayati lewat tulisan di blog Perempuan Keumala. Kami menyebutnya Jejak Keumala, jejak IBU untuk generasi Keumala, untuk Nanggroe dan untuk Nusantara.
Tulisan ini saya dedikasikan untuk perempuan hebat yang telah menginspirasi dan sangat saya kagumi, Endang Moerdopo. Ibu, terima kasih untuk semuanya. Maaf ya bu kalo sering dipelototin saat jemarimu mulai memainkan benda kesayanganmu; itu pertanda sayang. I love you Ibu, sangat. Teruslah berkarya, sukses ujian tesisnya JBU [oli3ve].
Ibu EM orangnya baiiik.. meskipun saya belum pernah jumpa.. 🙂
kapan2 pengen jumpa deh
bukan cuma baik bu Seno, baik banget *jangan sampai dibaca deh, bisa guling2 beliau*
Oly…..
Ibuuuu *peluk erat*
iya.. Baik banget deh Ibu EM.. 😀
wiiih ada yg ge-er ntar Ri 😉
oh …. ini toh IBU-nya 😉
IBU dan Ibu itu beda lho wkwkwk
waduh, makin bingung saya
kalo memperhatikan cara penulisannya di tulisan di atas dijamini gak bingung Isna 😉
asli keren ka olive 🙂
hehehe …
Hihihi…idola yang jadi temen dekat ya… Jadi kepingin ketemu penulis idolaku juga deh 🙂
jadi penasaran, siapa tuh? 😉
Waaahhhhh pasti senang sekali berbagi cerita dengan penulis idola 😀
Apalagi bisa menyimak langsung cerita dibalik bukunya
hmmm … Ari saksinya 🙂
Walah, mau dunk! Aku pasti bisa suatu saat. Lam kenal bu…
salam kenal juga ya, terima kasih sudah menjejak di sini
senengnya 🙂
hehehe, gitu deh mbak 😉
makasih sudah mampir
Salam kenal kak Olive, saya dari Aceh Besar juga nih.
Udah sering baca-baca di mari, tapi baru bisa komen sekarang karna kemarin2 buka lewat hape, hehehe…
hai Fardelyn, salam kenal juga
kapan² kalo mudik lagi ke Aceh bisa jumpa ya kita
Oke kakaaaaak…maen-maen ke kampung saya juga boleh 😉 cuma lima belas menit dari kampus Unsyiah
komen saya di postingan nyekar “agak SARA” yah? maaf..
kok nggak ada lagi
*permisi
emang komen apa? saya gak ada hapus2 komen lho
kemaren saya bilang gini “apakah asal usul mbak olive sebagai orang Toraja
sangat berpengaruh terhadap minat mbak terhadap makam, kuburan dsb ?”
eh..balas disini juga boleh hehe
oooh pernah baca tapi kayaknya bukan di postingan Nyekar deh 😉
banyak yang beranggapan begitu hahaha, kalo diceritain dari awal bisa panjang lho! intinya sih dari kecil saya senang baca nama-nama di nisan setiap ada kesempatan datang ke satu kompleks pemakaman mis saat ada keluarga/kerabat yg meninggal etc. setelah pindah ke Jkt ada kawan yg bilang pamali lho bacain tulisan di nisan *tapi dia gak pernah kasih tahu kenapa?*
baru tertarik untuk mengakrabi kuburan tua setelah gabung dengan Sahabat Museum gegara satu waktu main ke makam tua di Onrust awal 2005. meski aslinya saya dari kecil takut hantu, akhirnya menemukan cara untuk melawan rasa takutnya dengan main ke kuburan! dari iseng jadi ketagihan, hitung2 beramal juga kan nyekar ke makam orang dan bisa berbagi ilmu ke sesama 🙂
hahaha…. saya yg pikun 😉
baru nemu postingan itu rupanya di bulan maret hihihi….
makasih infonya mbak 🙂
btw,saya pernah dikasih tau om saya keseringan baca nama nisan bikin cepet pikun… entahlah, percaya gak percaya aja sih .. 😉
masa sih?
bukannya membaca itu mempertajam ingatan ya 😉
Isna, akhirnya ‘nemu komen kamu tuh ada di Meresapi Makna Injil di 100IMT hehehe
hehehe…iyak, ketauan deh asal usul mbak Olive, ya soal kepercayaan, mitos kembali ke masing2 mbak 🙂