Bandung – Banda Aceh: Menapaki Jejak Opa Verbraak


“Ada tiga hal yang banyak dijumpai di Aceh: masjid, warung kopi dan restoran/tempat makan”, seloroh seorang kawan ketika kami bersua di bumi Nanggroe. Apa yang dituturkannya memang benar adanya karena ketika menyusuri jalan-jalan di Banda Aceh; kiri kanan ketiga hal di atas berderet di sisi jalan. Lalu, ketika berbicara mengenai destinasi wajib kunjung saat bertandang ke Banda Aceh maka ikonnya pun tak lepas dari tiga hal ini: Masjid Raya Baiturrahman, Kopi Solong dan Mie Aceh (banyak yang merekomendasikan Mie Razali tapi Mie Kepiting Warung Ayah di Krueng juga slurrrrpppp aaahhhhh, maknyos lhoo. Apalagi makannya pakai candle light karena mati lampu hahaha).

Setuju atau tidak, kota Banda Aceh hanyalah tempat persinggahan bagi sebagian besar pejalan yang lebih memilih menyeberang ke pulau Weh! Maka ketika rencana kepulangan ke Nanggroe diketahui oleh khayalak, banyak yang bertanya apakah saya akan ke Sabang? malah ada yang rela dan menawarkan diri untuk diculik demi memiliki teman seperjalanan ke Nanggroe. O maaaaak, saya bukan penculik 😉

Demi tampil beda, kepulangan ke Nanggroe kali ini saya menyisipkan satu destinasi yang menyimpang dan saya sangat yakin tak akan ditemui di itinerary pejalan waras. Maaf, ini bukan tentang kuburan tapi penyusuran jejak Opa Verbraak ke Paroki Hati Kudus, Banda Aceh. Paroki? bukankah kata itu konotasinya rumah ibadah? maksud loe di Aceh ada gereja, Lip?? Ya, ada duooooonk! kemana ajaaaaa?

Gereja Katolik Hati Kudus Aceh
Gereja Katolik Paroki Hati Kudus dilihat dari atas Krueng Aceh.
Paroki Hati Kudus Banda Aceh
Bagian atas Gereja Katolik Paroki Hati Kudus, Banda Aceh

Terlepas dari kehilangan yang sampai detik ini masih membayangi aneuk negeri, tak dapat dipungkiri tsunami telah membuka mata dan membawa banyak perubahan bagi Nanggroe. Aceh berdamai dengan konflik, membuka diri pada perubahan dan mau bergandengan tangan dengan sesama melangkah menyambut hari baru. Satu contoh nyata adalah tetap berdirinya Gereja Katolik Paroki Hati Kudus, Banda Aceh; salah satu bangunan yang bertahan saat tsunami menerjang.

Berawal dari sebuah kapel yang berdiri pada 1885 hanya sepelemparan batu dari Masjid Raya Baiturrahman. Dari seberang Krueng Aceh, sungai yang melintas di tengah kota Banda Aceh; saya memandangi kemegahan bangunan tua yang berada di jantung Banda Aceh ini. Memori berputar dua ramadhan ke belakang saat berdiri di bawah terik surya menutup hidung di sisi pembuangan sampah di jantung Parahyangan, terpesona pada sebuah patung yang berdiri gagah di tengah Taman Maluku, Bandung.

Pastor Henricus O. Verbraak SJ, putera dari Jacob Verbraak dan Antonia Bax yang lahir pada 24 Maret 1835 adalah pastor pertama yang bertugas di kapel Hati Kudus sebagai perawat rohani aka imam bagi pasukan Belanda yang berada di Aceh pada masa Perang Aceh. Opa Verbraak bertugas di Aceh 1873 – 1907 dan meninggal di Magelang pada 1 Juni 1918. Untuk mengenang kebaikan hati, kebijaksanaan dan jasa-jasa sang pastor, pada 1922 pemerintah Hindia Belanda membangun patung perunggu di Molukkenpark atau yang sekarang dikenal sebagai Taman Maluku.

Verbraak, HC Verbraak, Taman Maluku
Patung Pastor Henricus O. Verbraak SJ di Taman Maluku, Bandung

Hari terakhir di Banda Aceh, sebelum berdebar mengejar waktu terbang ke bandara Sultan Iskandar Muda; saya melangkah ke dalam halaman Paroki Hati Kudus mengagumi bangunan bersejarah yang dibangun pada 1926, empat tahun setelah berdirinya patung Opa Verbraak. Di depan monumen korban tsunami yang terdapat di depan pintu masuk gereja, sebuah doa dipanjatkan untuk perdamaian di Aceh.

Ada persamaan dari lokasi patung Opa Verbraak dengan Gereja Katolik Hati Kudus, kedua ikon ini berdiri satu lokasi dengan Markas Komando Daerah Militer (Makodam). Opa Verbraak berdiri menenteng kitab suci di seberang Makodam Siliwangi, Bandung sedang gerejanya berada di sisi depan pintu masuk Makodam Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Kebetulan? Tak ada yang kebetulan jika telah digariskan untuk dilalui. Another mission accomplished! Tuhan memberkatimu hei Aceh, saleum [oli3ve].

31 thoughts on “Bandung – Banda Aceh: Menapaki Jejak Opa Verbraak

    1. gak sempat Ri, pagi itu kita keluar rumah aja udah kesiangan. setelah hujan2an ke Gampong Pande cuma punya waktu 30 menit untuk transfer foto dari bang Faisal di pinggir jalan, meluncur ke Ulee Kareung dan mengejar waktu boarding ke SIM. tahu sendirilah, kalo sudah masuk tempat kek gini pasti aku lupa waktu hehehe

      jadi jatahnya disisain untuk next mudik 😉 *selalu ada alasan untuk pulang ke Nanggroe*

  1. baru tau ada gereja ini di banda aceh …
    btw, mbak olive asli aceh kah ?
    saya bela2in ke sabang bukan buat ke pantai, tapi lihat bangunan2 *bukan pecinta alam, tapi pecinta bangunan 🙂

  2. ditunggu kedatangannya lagi kak olive. nanti kalau ada waktu kita ke Tangse ya kak. kampung Liza yang pemandangan alamnya masih bagus *eh masih bagus nggak ya, soalnya baru banjir bandang

  3. setuju banget tentang pendapat ttg banda aceh sebagai tempat singgah, padahal kotanya lumayan tertata. belum nyoba kopi solong tapi mie razali sempat nyoba sih

  4. Terimakasih mbak Olive atas infonya. Semakin banyak orang menulis Aceh dr sisi yg lain seperti Mbak Olive lakukan tentu akan semakin baik persepsi orang terhadap Aceh. karena Selama ini persepsi orang terhadap Aceh sering kali bersifat minor, padahal mereka sendiri belum pernah berkunjung ke Aceh.

  5. sumpah kak, pengen bilang kalau yudi itu geraaam kali sama kakak :))

    ku putar2 nyari informasi tentang gereja ayam di banda aceh, nyasarnya ke sini :))
    yang orang banda, kakak apa yudi kak? :))

      1. waaah klo itu mah hampir tiap minggu kak.. klo kira2 lagi kere dan pengen makan di luar.. kedai ini sasaran empuk kak hahaha

Leave a reply to Jo Jones Cancel reply