Gara-gara membaca 30 Hari Keliling Sumatera-nya Ary Amhir beberapa waktu yang lalu, saya memasang status di beberapa linimasa dengan menyebut-nyebut kasih sayang lelaki Takengon yang seksi. Status yang sontak membuat seisi jagad kasak-kusuk mencari tahu siapa gerangan lelaki Aceh yang beruntung itu hahaha.
Lalu, beberapa kawan yang mendengar kabar angin rencana kePULANGan ke Aceh saat bertemu menyodorkan muka penuh tanya,”Aceh agaiiiiiiiin? Ada apa sih di sana yang bikin loe kesengsem? Lelaki seksi itukah?” Ada juga yang bertanya,”loe punya keluarga ya di Aceh? doyan banget ke sana?”
Ha … ha … ha …haaaaaaa, kenapa sih pada penasaran?
Saya pernah menuliskan di sini bahwa belum ada tempat lain di Indonesia yang hadirkan hasrat begitu dalam untuk menyapanya [kembali] seperti kerinduan pada bumi Nanggroe, Aceh. Karenanya tak perlu heran bila dalam kurun 8 bulan ini nyaris tiga kali saya pulang ke Aceh, mengalahkan jadwal mudik sekali setahun ke Sulawesi.
Satu Minggu siang sambil menanti hujan reda, kami duduk mengelilingi meja panjang dan memesan khupi itam di kedai khupi tepi sawah di Lubok Sukon, Aceh Besar. Saya bukan peminum kopi. Kawan-kawan saya pun tahu, setiap kali diajak duduk di warung kopi berpendingin saya terbiasa memesan segelas teh hijau atau susu coklat panas. Maka heranlah saya dengan lidah yang tiap hari meminta kopi saat pulang ke Aceh akhir Februari lalu.

Wangi kopi yang diseduh air mendidih ke dalam gelas terbawa angin nikmat dihirup dengan hidung kembang kempis. Tanpa diaduk, saya mencoba menikmati rasa kopi yang tersaji di depan mata.
“Gimana rasanya, Liv?” bang Darzam memandang penasaran melihat mata saya merem melek kala air hitam hangat itu bersentuhan dengan lidah.
“Hmmmm …. arabica bang.”
Si abang mengangguk tanda setuju sambil berusaha menarik senyum yang sangat susah terbentuk di bibirnya.
“Dari mana kamu tahu ini Arabica?”
“Saya berasa minum kopi di Toraja bang. Kampung saya juga terkenal dengan Arabica-nya, sayang sekarang sudah sangat jarang kita temui kopi asli sana. ”
“Kamu tahu cara menikmati kopi itam?”
“Tinggal aduk dan minum bang.” Dari kecil saya sudah diajari bagaimana menyeduh kopi biar rasa dan matangnya pas (di lidah saya tentunya hehehe).
“Seperti tadi, coba rasakan keasliannya tanpa mengaduknya. Setelah itu aduk perlahan dari atas ke ujung gelas, jangan dikacau dengan kencang. Kopi paling nikmat ditemani kuwaci sembari ngobrol [ke sana ke mari]. “
Saat yang lain pamit untuk sholat, kami masih ngobrol soal kopi dan tentunya menjawab tanya si abang kenapa saya cinta Aceh. Obrolan kami terhenti saat seseorang mampir ke warung sebelah yang digeret bang Darzam untuk diperkenalkan.
“Bang, kenalin ini Olive kawan kita dari Toraja, dia jatuh cinta sama Aceh.” Kami melempar senyum berjabat tangan dengan erat. Entah karena gak konsen saya lupa nama si abang yang dikenalin siapa, atau bisa jadi karena senyum lebarnya yang membuat saya bengong. Lelaki Aceh itu dingin. Gak gampang tersenyum, tataplah matanya kala bertegur sapa dengan mereka. Perlahan kan kau temukan senyum itu menyembul di kedua bola matanya.

Segelas kopi tandas bersama sekotak kuwaci yang kulitnya berserakan di meja. Kami pamit kembali ke Banda Aceh, pada bang Darzam saya berjanji pasti kan kembali ke Lubok Sukon untuk menikmati sambal ganja.
Lalu kenapa saya suka PULANG bukannya PERGI ke Nanggroe?
Entahlah, saya pun tak tahu. Orang bijak bilang, orang yang jatuh cinta itu melihat segala sesuatu menarik pada yang dijatuhinya cinta. Yang saya tahu; Aceh, kopi itam, derai hujan dan sawah membuat semua memori terhadap sosok lelaki yang selalu bangkitkan getar rindu merebak ke permukaan. Lelaki yang bersamanya saya berbagi secangkir kopi itam pengusir dingin sambil menikmati hamparan sawah yang basah usai disiram hujan, Papaku. Andai aku tahu itu kopi terakhir yang kami nikmati bersama aarggghhhh. Rindu hati duduk di warung tepi sawah demi segelas kopi itam mengenangnya.
Bagi saya hanya ada tiga tempat di muka bumi ini yang membuat lidah menggelepar-gelepar penuh sensasi kala bersentuhan dengan kopi [itam]: Toraja, Nanggroe dan Gunung Bundar! Menikmati kopi Aceh ibarat menyelami lelaki Aceh. Jangan lihat hitamnya, tapi selami rasanya. Saleum [oli3ve].
ini di daerah mana keh? saya ke aceh baru coba kopi ulee kareng saja 😮
Lubok Sukon, warung kopi Jasa Ayah Ulee Kareng? saya suka ngintip pajangan di toko sebelahnya hehehe
Tulisannya kereng banget Mbak Olive. Serasa ikutan menguyup kopi hitam, di warung tepi sawah sambil ditingkahi hujan hehehe..
hehehe …makasih dah mampir mbak
Saya pertama kali mencintai kopi Aceh ya Ulee Kareng juga Mbak. Waktu itu lagi dingin-dinginnya di Gunung Sumbing, dan seduhan kopi Aceh bikin suasana di Pos 2 jadi kembali hangat. Hehehe.
yuk ngopi di Aceh 😉
wah dari kopi turun ke hati ya mbak hehehe…
hehehe, suka ke kopi ayah ya?
Wah, menarik sekali tulisannya.
Oh ya, “nanggroe” itu artinya “negeri”, jadi kurang tepat menyebut Aceh dengan “nanggroe”.
Salam..
terima kasih sudah mampir mas Nabil, terima kasih juga untuk koreksinya
btw, saya suka menamai barang atau hal² yg saya sukai dan berkesan dengan nama² yg khas ala saya. contoh saya menamai backpack dengan si onye, si blueben dan my red, sementara bagi orang lain mungkin itu hanyalah backpack.demikian juga dengan tempat, Aceh bagi saya sangat spesial; saya menyebutnya My Nanggroe yang akhirnya ikut terbawa dalam keseharian hingga penulisan. sehingga Aceh sering menjadi My Nanggroe kadang Nanggroe. its a matter of sense, ada kedekatan emosional di dalamnya.
saleum