Speedboad yang membawa kami dari pulau Pelauw perlahan merapat di bibir pantai Haruku. Air sedang surut, kami tak dapat menepi di tempat yang biasanya dilabuhi di pulau ini. Jujur, baru mendengar nama Haruku sehari setelah ditawari perjalanan ke Maluku oleh Nokia Indonesia dan mengecek agenda perjalanan. Haruku, selain nama pulau juga merupakan nama salah satu negeri di gugusan pulau Haruku. Haruku bukan harumu, nama yang lucu-lucu sedap di kuping.
Di Haruku, langit dan laut tak henti menebar pesona birunya, pantai pasir putih yang lengang dari pengunjung. Meski matahari garang, sejuk dihembuskan semilir angin yang menebar wangi garam serta lambaian nyiur dari pantai mengajak langkah mendekat ke daratan.
Tanggul beton yang memanjang di sepanjang batas daratan dan pantai terlihat hancur dihempas gelombang. Ke sana kami harus beranjak untuk menggapai jalan ke kampung Sameth dengan berpegang pada akar pohon yang terjulur di sela-sela tanggul. Begitu kaki memijak di atasnya pemandangan yang tersaji di depan mata adalah tadaaaaaaa, kuburan man! Beragam bentuk kuburan yang menyembul di permukaan tanah membuat mata tak henti mengerjap penasaran. Wouuuuwwwww, merapat di kuburan! amazing hahaha.


Sayang, tak banyak waktu untuk berlama-lama di sana, langkah harus kembali diayun pada tujuan menjejak di pulau ini, Benteng Nieuw Zeelandia. Salah satu benteng pertahanan yang dibangun Belanda di Maluku pada 1926 semasa pemerintahan Gubernur van Gorkum. Benteng yang dibangun dari tumpukan batu karang ini, hanya tersisa satu dinding yang memanjang di bibir pantai setelah berkali-kali terhempas gelombang. Selagi asik menikmati sisa benteng, sekawanan babi melenggang dengan santainya di depan mata. Hmmm … nampaknya mereka sedang menikmati hari piknik keluarga.



Mr. Johanes Latuharhary berdiri gagah tak jauh dari Benteng Nieuw Zeelandia memandang jauh ke laut lepas. Tak dihiraukannya panas terik yang menyengat kulit. Tergoda rasa lapar, mata gelagapan mencari jajanan pada mama-mama yang berteduh di bawah pohon beringin yang tumbuh di bibir pantai. Saya menghampiri Mama yang menjajakan roti manis buatan sendiri dan mencomot dua lembar untuk mengganjal perut. Aaah, potongan roti ini bangkitkan memori masa kecil, pada roti manis buatan Oma yang selalu tersedia di meja makan saban pagi.
Dari Nieuw Zeelandia, kami bertandang ke rumah keluarga Kisya menanti saat untuk makan siang. Berasa di rumah sendiri, setiap orang bebas memilih untuk menempelkan pantat dimana pun mereka suka. Karena panas sebagian dari kami memilih menikmati semilir angin di halaman depan, duduk di bangku panjang di bawah pohon mangga.

“Teh gulaaaaaaaa!” Mama Susie keluar dari pintu rumah menenteng termos kecil dengan senyum lebar menawarkan teh manis panas yang akrab disebut teh gula di Maluku. “Ada yang mau dingin? Tunggu yaaa.” Tak lama keluar lagi tentengan lain,”Teh gula eessssss!”


Susul menyusul penganan dibawa keluar dari dapur, ada keripik singkong, ubi goreng, kue tart yang langsung diserbu untuk menghalau lapar yang kembali menyerang. Mendengar pisang ijo disiapkan di dapur, kaki buru-buru masuk dapur mencari tahu karena sudah cukup lama tak mencicipinya.

Usai melahap habis kudapan yang tersedia, sebagian yang ingin snorkeling berlomba turun ke speedboad. Meski sudah bersiap dengan perlengkapan dari Ambon, sampai di tujuan saya memilih merebahkan diri di atas pasir pantai yang berwarna hitam (maaf lupa nama pantainya ;)). Siulan dedaunan yang mengikuti irama hembusan angin sepoi-sepoi membuat mata tak kuasa menolak untuk lelap beralaskan life jacket. Ahhhh, seharian bermain di Haruku benar-benar membuatku haru.[oli3ve]
*catatan perjalanan menjajal Nokia Lumia 920, PTD Ambon – Haruku – Nusa Laut, 15 – 18 November 2012
lu su pi Haruku ko? kapan lu pi lae?
Suda, nanti kalo ada rejeki orang kasi tawar kita tiket gratis mau brangkat lagi haahaha
hihi pencinta kuburan ngeliat kuburan kuno muncul happy banget ya Mbak Olive :-=)
sesuatu banget bu hahaha
ow …. kirain di nipon 😀
karena namanya ya?
iyah mbak 🙂