Bagi yang mengikuti berita seputar banjir yang melumpuhkan Jakarta beberapa hari ini; bisa dipastikan nama Latuharhary akrab singgah di kuping. Jebolnya tanggul Banjir Kanal Barat (BKB) karena tak kuat menahan derasnya terjangan air di jalan yang menggunakan namanya, mengakibatkan air meluap hingga menggenangi jalan protokol dan kawasan bisnis Jakarta. Siapa gerangan pemilik nama Latuharhary? Kenapa namanya layak untuk diabadikan menjadi nama sebuah jalan di daerah elit Menteng?
Sosok lelaki berperawakan sedang itu berdiri menantang birunya laut. Tangan kanannya memegang ujung jas, tangan kirinya menggenggam buku,”Azab Sengsara Maluku”. Lelaki itu setia memandangi satu per satu perahu yang merapat dan bertolak dari bibir pantai. Lelaki yang menjejak di indahnya negeri Haruku itu adalah putera Ambon yang pernah memimpin Sarekat Ambon. Dilahirkan di Ulath, Haruku; salah satu negeri di Maluku Tengah pada 6 Juli 1900 dari seorang ayah yang berprofesi sebagai guru, Jan Latuharhary.

Buku dalam genggamannya adalah kobar semangat Maluku untuk bangkit dan melepaskan diri dari penindasan bangsa Eropa yang disampaikannya di depan peserta Kongres Indonesia Raya yang berlangsung di Surabaya pada 1-3 Januari 1932.
Latuharhary meraih gelar Mesteer in de Rechten-nya dari Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda pada 1927 di usia muda 27 tahun! Ia pun diangkat menjadi Amtenaar Fer Beschikleing vanYustitie (pegawai yang diperbantukan) pada President van de Rood van Justitie (Ketua Pengadilan Tinggi) di Surabaya. Pada 1 Maret 1929 karirnya menanjak dan dipercaya menjadi Voorzitter van de Landraad (Ketua Pengadilan Negeri) di Kraksan, Probolinggo, Jawa Timur.

Di bawah kakinya terpatri tulisan Perintis Kemerdekaan yang menunjukkan dirinya adalah bagian tim perumusan kemerdekaan Republik Indonesia. Latuharhary terpilih menjadi Gubernur Maluku yang pertama pada tahun 1945. Karena suasana di Maluku kala itu masih dikuasai oleh Sekutu, Latuharhary menjalankan tugasnya dari Jakarta. Pecahnya pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) pada 25 April 1950 pun memperkeruh suasana.

November 1950 setelah kota Ambon dapat dikuasai oleh pemerintah, Latuharhary berangkat ke Ambon dan mulai menjalankan pemerintahannya dari salah satu kamar di Hotel Batugajah. Latuharhary menjadi gubernur hingga akhir 1954 sebelum menyerahkan jabatan tersebut kepada penggantinya M. Johan. Lima tahun berselang, Latuharhary meninggal di Jakarta pada 8 November 1959.
Enam puluh dua tahun berlalu. Jumat siang, 16 November 2012 saat mentari berpijar dengan teriknya; saya menjumpai sosoknya di pantai Haruku kala mengayunkan langkah ke Benteng Nieuw Zelandia. Sebuah patung karya Soenarto Prawirohardjono, berdiri gagah di pantai Haruku siang itu tak takut tersengat matahari, itulah sosok Mr. Johanes Latuharhary, pahlawan nasional dari Maluku.
*Sebuah catatan dari perjalanan menyusuri Maluku Tengah 15 – 18 November 2012
Baru tau kalo dari maluku dan patung nya ada disana hehehhee #niceinfo
hehehe … tahunya di daerah guntur yak
pantai yang cukup indah untuk di singgah sepertinya.
koreksi dikit. patung Latuharhary karya Soenarto Pr. bukan Supranoto Pr
ini link dokumentasi Beliau

keterangan Foto dari kanan ke kiri yg saya kenal aja ya… Pak Armadi (alm), Soenarto Pr, dan 2 orang ungkin pejabat pemerintahan setempat.
terima kasih koreksinya mas Boim