Mengingat kejadian tahun lalu, mudik kali ini saya sengaja menyiapkan itinerary seringkas dan seefisien mungkin dengan pertimbangan cuaca. Agenda perjalanan dalam rangka mengisi waktu transit di Makassar yang ditambal sulam selama 3 bulan itu, berubah total di hari H karena sengatan berbisa sebuah kata LAKKANG!
Apa itu, dimana itu, darimana ko tahu itu? Berondongan tanya yang saya terima ketika mencoba mencari informasi seputar Desa Lakkang kepada mereka yang berdomisili di Makassar atau minimal yang pernah mengenyam pendidikan di Universitas Hasanuddin (Unhas). Lakkang secara tidak sengaja saya temukan dua minggu lalu di laman seorang blogger Makassar ketika berjalan-jalan di dunia maya mencari alternatif destinasi wisata seputar kota Makassar yang masih jarang dijamah publik. Sayang tak banyak petunjuk di sana membuat saya mencoba menggali informasi lebih dalam lewat mbah Gugel.
Berbekal petunjuk singkat menuju Lakkang dari kompasianer Sandy Wijaya, saya menawar ojek dari komplek Bumi Tamalanrea Permai menuju Desa Kera-kera, Tallo, Makassar beberapa saat setelah mendarat di kota Angin Mammiri, Jumat siang (21/12). Pssst, ongkos ojek ke Kera-kera Rp 5,000 yang disodorkan oleh Daeng Pandi hampir membuat saya pingsan. “Saya kawal miki’ saja ke Lakkang di, siapa tahu ada orang jahat ganggu ki’.” Ternyata kata lakkang pun mengandung magis yang mencairkan kekakuan antara tukang ojek sok akrab dan penumpang cerewet yang gak paham kawasan di kampus Unhas tapi sok tahu jalan.
Secara geografis, Lakkang adalah desa yang dihuni oleh sekitar 300 KK atau sekitar 1000 jiwa di sebuah delta seluas 165 hektar yang terbendung selama ratusan tahun dari sedimentasi Sungai Tallo. Mata pencaharian utama penduduknya adalah nelayan/penambak dan bertani. Lakkang dipisahkan dengan daratan Makassar oleh sungai Tallo yang lebarnya 10-50 meter dan mempunyai kedalaman hingga 7 meter. Untuk mencapainya kita harus melintasi Sungai Tallo menggunakan perahu penyeberangan dengan jarak tempuh 15 menit. Ongkosnya murah, Rp 2,000/penumpang dan Rp 3,000/penumpang jika membawa motor.


Pada 2006, Lakkang yang merupakan kawasan penelitian terpadu serta daerah konservasi alam dan budaya; menjadi pusat peringatan Hari Habitat Sedunia dengan tema Cities Magnet of Hope. Lalu pada 2011, ditetapkan menjadi Desa Wisata yang menjadi salah satu destinasi wisata sejarah baru di Makassar dengan bunker Jepang sebagai daya tarik unggulannya.


Ramah, itu kesan pertama terhadap beberapa warga Lakkang yang selesai beraktifitas di Makassar saat bersama menanti katinting (=sebutan untuk perahu penyeberangan) di Dermaga Kera-kera. Tanpa terasa kami menjadi akrab satu sama lain, meski sesekali mereka melontarkan kata dalam bahasa Makassar yang kemudian diterjemahkan oleh Daeng Pandi.
Sambutan ramah kembali saya terima ketika bertanya letak bunker kepada seorang warga yang sedang bersantai di atas rumah panggungnya. Tak sekadar memberi petunjuk arah, wanita muda itu turun dari rumah dan mengajak beberapa kawannya mengiringi langkah saya ke bunker. Oleh pak Ali yang kami temui di sekitar bunker, saya diajak berkeliling ke beberapa titik pintu masuk bunker yang masih belum dibuka karena sebelumnya menjadi tempat pembuangan sampah atau tempat penampungan air kotor di belakang rumah warga.
Bunker ini adalah peninggalan tentara Jepang yang pernah menjadikan Lakkang sebagai basis pertahanan dan tempat penyimpanan bahan logistik. Menurut seorang warga sepuh yang enggan menyebutkan namanya, dulu jaman neneknya mereka tidak bermasalah dengan tentara Jepang bahkan mereka sering dibagi bahan makanan. Akan tetapi ketika Lakkang didatangi oleh gerombolan Kahar Muzakkar, penduduk asli diusir dari kampungnya. Nama Lakkang yang berarti lekat di hati melekat pada nama kampung tersebut ketika penduduk asli kembali ke desanya setelah pasukan Kahar Muzakar dienyahkan oleh tentara dari pulau Jawa.

Saat ini bunker yang di atasnya telah dipasangi sebuah penanda berupa tiang pancang dengan tulisan Situs Bunker Jepang ini dibiarkan tak terawat. Menurut Pak Ali, bunker yang dulu menjadi tempat penimbunan sampah sudah sempat digali oleh marinir namun tidak diteruskan dan mereka tidak pernah kembali lagi. Warga setempat berharap jika memang daerah mereka akan menjadi destinasi wisata; kehidupan dan kedamaian mereka tidak akan terganggu serta ada kejelasan dalam pengelolaan situs-situs yang ada.
Setelah dua jam lebih berkeliling dan bercengkerama dengan warga Lakkang, saya dan Daeng Pandi beranjak ke dermaga Lakkang menanti perahu yang akan berangkat ke Kera-kera. Lima belas menit menanti tak ada tanda-tanda sopir perahunya datang, Daeng Pandi beranjak kembali ke dalam kampung. Katanya mau mencari warung kopi yang seingat saya selama berkeliling tadi tak melihat orang berjualan. Hmmm … ada gunanya juga bawa pengawal, tak berapa lama si Daeng kembali dengan membawa nampan berisi 2 (dua) gelas kopi susu dan roti di kantong kresek buat mengganjal perut, katanya diberi seorang ibu yang berbaik hati.

Selama menunggu sopir perahu, kami mendapat teman berbincang tiga lelaki yang meramaikan obrolan jelang senja di Dermaga Lakkang. Tepat saat tegukan terakhir kopi susu menyentuh tenggorokan, sopir perahu mengajak kami untuk berangkat. Ternyata penumpangnya hanya 2 (dua) orang: saya dan Daeng Pandi!
Setelah seminggu diracuni oleh kata Lakkang, hanya syukur yang bisa dipanjatkan kepadaNya diberi kesempatan berkunjung ke Lakkang ditemani langit biru, dipertemukan dengan tukang ojek yang baik hati, mendapatkan sopir katinting yang sabar menanti dan bercengkerama dengan warga Lakkang yang ramah dan senang berbagi. Perjalanan murah meriah yang sangat berkesan di hati, Lakkang! [oli3ve]
sayang banget nich bungker di biarkan saja, harus nya masyarakat bersama pemerintah membersihkan nya dan jadi andalan wisata
iya sayang ya, sudah dibersihkan tapi gak diteruskan mas
Sepertinya seru, menguak sejarah zaman jepang