Sejatinya hari ini adalah hari besar nasional yang menjadi salah satu tonggak bersejarah perjalanan bangsa Indonesia. Mungkin karena hari ini adalah hari Minggu (20/05) yang secara kebetulan beriringan dengan libur panjang akhir pekan, maka tak terlihat adanya kegiatan khusus di tempat-tempat yang menurut saya cukup strategis di kota Pahlawan, Surabaya.
“Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ichlas.Saja toch soedah beramal, berdjoeang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja jakin Indonesia pasti Merdeka“
Saya membaca pesan terakhir dari seorang komposer kondang Indonesia yang terpatri di sebuah monumen dalam taman pemakaman pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Soepratman. Ya, kemarin di sela waktu terbang kembali ke Jakarta saya sempatkan untuk bertandang ke tempat peristirahatan beliau di Jl Raya Kenjeran, Surabaya. Di depan pusaranya, kesenyapan menyengat tanpa sadar bibir saya melantunkan Indonesia Raya dengan setengah suara hingga bulu kuduk merinding dan sebening air menggenang di ujung mata. Ketika memandang ke sekeliling kompleks, mata saya terantuk pada tiang bendera yang telanjang lalu bertanya pada sang kuncen,”pak, koq merah putih gak dikibarkan? hari ini kan hari kebangkitan nasional?” Si bapak hanya tersenyum dengan muka bantal dan mengeluarkan jawaban kumur-kumur dari celah bibirnya.
Taman pemakaman ini terbuka untuk umum, namun dari data di buku tamu tercatat dalam satu atau dua hari hanya ada satu atau dua pengunjung saja. Ketika kami datang dan menghampiri gerbang pun pintunya digembok, untung ada bapak yang baik hati memanjat pagar tembok memanggilkan bapak kuncen untuk membuka pagar. Lucu juga sih melihat pak Gufron berlari-lari dengan bersarung handuk berusaha mengenakan kaos mendekati gerbang dengan mata merah baru bangun tidur.
Setelah dipugar taman pemakaman ini diresmikan 9 (sembilan) tahun lalu oleh Megawati pada 18 Mei 2003, dengan pusara unik berbentuk biola alat musik yang dipegang oleh WR Soepratman demikian juga pagar taman pemakaman diberi ornamen biola. Biola bersejarah tersebut kini tersimpan dan menjadi koleksi Museum Sumpah Pemuda, Jakarta. Sebuah patung perunggu sang maestro sedang memainkan biola berdiri di halaman samping dengan latar belakang teks lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan pada Kongres Pemuda II di Jakarta 27-28 Oktober 1928.
Di tengah masih tersisa kontroversi tidak adanya keterkaitan antara gerakan Budi Utomo dengan Hari Kebangkitan Nasional, bagi saya pribadi makna kebangkitan adalah ketika kita mau mencoba untuk meresapi perjalanan sejarah bangsa yang kita cintai. Mencoba mengenang perjuangan yang telah ditorehkan oleh para pendahulu hingga bangsa ini tetap berdiri kokoh. Mengenal sejarah bangsa sendiri adalah salah satu cara untuk membangkitkan rasa cinta, kepedulian dan penghormatan akan negeri ini.
Melangkah keluar dari taman pemakaman saya teringat obrolan pagi seputar hari Kebangkitan Nasional di Suara Surabaya dalam perjalanan dari Juanda. Seorang narasumber menyampaikan perenungan hari ini dengan mengacu pada buah pikiran Soekarno yang terpatri di rumah pengasingan bung Karno di Ende berikut:
Di kota ini kutemukan lima mutiara, di bawah pohon sukun ini kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila. [Soekarno]
Ketika menanti di ruang keberangkatan Juanda, saya tersenyum sendiri menguping pembicaraan sekelompok anak muda yang duduk di belakang saya tengah asik membahas perjalanan mereka ke Secret Zoo dan Bromo. Sambil memejamkan mata, hati berbisik lembut,”another mission accomplished.” Juanda, 20 Mei 2012, salam wisata sejarah. [oli3ve]
Oh mutiara nya itu pancasila yaaa kak ???