Matah Ati, Berjuang dan Berkarya Dengan Hati


Raden Mas Said : Dhuh Diajeng garwaku Matah Ati
Matah Ati : Dhuh Pangeran Kula pasrah jiwa raga
Raden Mas Said & Matah Ati : Bakal tak buktekake katresnanku kang sejati

Perlahan tapi pasti Raden Mas Said & Matah Ati hilang dibalik layar memberi kesempatan kepada dua insan yang sehati berserah diri memadu asmara di malam pengantin nan suci. Babak demi babak pagelaran tari Matah Ati selalu disambut dengan applause penonton yang tersihir dan larut dalam gerak gemulai para penari semalam (14/5) di Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki. Dan ketika para pendukung acara kembali tampil di atas panggung yang didesign dengan kemiringan 15 derajat yang dilengkapi elektronik trap door sehingga bisa buka tutup, sontak penonton yang memenuhi Teater Jakarta memberikan standing ovation menyambut pekik semangat juang Raden Mas Said : “Tiji Tibeh, Mati Siji, Mati Kabeh – Mukti Siji, Mukti Kabeh”

Satu karya seni yang lahir dari keprihatinan dan mimpi BRAy Atilah Soeryadjaya cucu dari Mangkunegaran VII untuk menghapuskan image miring akan kota Solo yang terpampang di koran negera tetangga. Didukung oleh 125 pekerja seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Solo dan 78 orang penari Jawa serta pemain gamelan, pertunjukan ini pantas digelar sebagai mahakarya anak bangsa. Matah Ati diangkat dari kisah nyata perjuangan prajurit Rubiyah, gadis desa Matah yang berhasil menggetarkan hati Raden Mas Said. Bersama mereka berjuang melawan politik devide et impera yang diterapkan oleh VOC untuk memecah belah kerukunan rakyat dan Kerajaan Kartasura. Berkisah tentang perjuangan, cinta dan kesetiaan; meski cinta akhirnya mempersatukan hati Raden Mas Said dan gadis pujaannya Rubiyah si Matah Ati dan kemenangan ada di tangan mereka; ada kesedihan karena kehilangan orang-orang di sekeliling yang mendukung VOC dan menjadi korban dalam perang besar. Dalam perang ini pasukan Raden Mas Said didukung penuh oleh Laskar Putri yang dikomandani oleh Matah Ati.

Persiapan selama 2,5 tahun untuk mewujudkan mimpi dengan melakukan riset dan proses panjang untukkarya gemilang ini sangat pantas jika menuai standing applause dari penonton. Bahkan pementasan pertamanya yang menuai sukses digelar justru di negeri tetangga Singapore Oktober 2010 silam. Semua dipersiapkan secara detail dari penulisan naskah, riset sejarah, pemilihan penari, pendukung acara, design kostum, tata panggung dan cahaya. Penyelipan banyolan dari para simbah desa Matah yang mengocok perut penonton tidak mengurangi sakralnya pementasan ini.

Mungkin hanya bangsa ini yang tidak malu ketika tidak mengetahui sejarah dan budayanya sendiri Jay Subyakto

Banyak yang bisa dilakukan untuk membuktikan pada dunia sebagai yang paling Indonesia,tak perlu janji muluk, tak perlu anjang sana untuk bertukar pikiran mempelajari budaya orang lain yang menghabiskan dana milyaran, cukup dengan menggali budaya sendiri yang teramat kaya raya. Semoga akan lahir Atilah lainnya dari Sumatera hingga Papua yang mengenalkan budayanya pada dunia. [olive]

*sebelumnya ditulis dan headline di Kompasiana, Minggu 15 Mei 2011 untuk kompetisi blog paling Indonesia Telkomsel*

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s