Punya cara paling gampang untuk menikmati keindahan Indonesia dari bawah laut, mencicipi nikmatnya makanan daerah hingga menyaksikan acara keagungan keraton dalam satu senja ? Gak usah mikir jauh-jauh mesti travelling ke sana ke mari, cukup datang ke satu lokasi saja. Kemarin saya melakukannya hanya dengan mendatangi TIM (Taman Ismail Marzuki) sudah bisa menikmati indahnya Wakatobi, enaknya soto Lamongan hingga agungnya pernikahan pangeran Solo. Koq bisa?
Berangkat dari ketertarikan peranan para perempuan perkasa (yang kadang hanya dipajang dibalik layar) di belakang lelaki berkharisma, begitu tahu Matah Ati akhirnya bakal dipentaskan di Jakarta sudah siap-siap untuk mendapatkan tiketnya. Dikarenakan mengirit ongkos maka tiket baru diambil di hari H beberapa jam sebelum pentas. Jeda waktu lowong yang cukup panjang tersebut digunakan untuk masuk XXI menikmati keindahan Wakatobi lewat film The Mirror Never Lies (TMNL). Sebenarnya Rabu (11/5) dapat tawaran nonton pake free tiket WWF berhubung di hari itu tertahan di kantor hingga pk 20.00, terpaksa deh merem dulu. Sama seperti waktu nonton “?” (Tanda Tanya) ruang studio sepiiiiii banget, ada sekitar 5 menit saya bengong sendiri di dalam studio hingga terdengar teriakan “yang belum pesan minum ! popcornnya mbaaaak!” jiaaaaaah, serasa naik KRL atau bis keluar kota yang mampir di pom bensin or terminal dan diserbu pedagang asongan. Menjelang waktu pertunjukan barulah beberapa bangku di belakang terisi ditandai dari suara riuh penonton yang kasak kusuk mencari tempat duduk, padahal bisa bebas duduknya secara yang nonton gak sampai 20 orang koq.
Dari ide cerita menurut saya TMNL sederhana banget, mengenai kehidupan sehari-hari suku Bajo yang mengandalkan mata pencaharian dari melaut. Tentang Pakis yang tetap setia menunggu Bapaknya dari melaut dengan berpegang pada cermin warisan sang Bapak yang tak kunjung pulang ke rumah. Tentang persahabatan antara Pakis dan Lumo, tentang Kutta sahabat Pakis & Lumo yang pandai berpantun dan suka bernyanyi. Asli suka banget gaya mereka, terlebih gaya Lumo menata rambutnya untuk menarik perhatian Pakis dan gaya joget serta suara si Kutta. Tentang Tudo sang peneliti lumba-lumba dari Jakarta yang tinggal di rumah Pakis, tentang ketertarikan antara dua anak manusia yang sering berinteraksi dalam diam Tudo & Tayung ibu Pakis serta Pakis yang dalam usia akil balik terhadap Tudo. Yang paling top dari semuanya adalah pemandangan alam laut Wakatobi wuiiiiiiiihhhhhh, serasa begitu dekat aiiih ngiler dot com. TMNL adalah karya perdana sineas muda Kamila Andini yang tak lain tak bukan putri sineas kenamaan Indonesia Garin Nugroho yang menjadi produser film ini. Selamat, anda berhasil mengkontaminasi lagi jiwa petualang saya untuk mewujudkan impian Wakatobi suatu hari nanti 😉
Bubar TMNL masih ada waktu 2 jam sebelum pertunjukan Matah Ati yang dijadwalkan pk 20.00, kesempatan ini tak disia-siakan untuk mengisi tanki . Tujuannya sudah pasti warung-warung makan di sisi kanan depan XXI dan sudah jelas pula pilihannya. Sama seperti minggu lalu saat menunggu Sangkala 9/10 dan dua bulan lalu saat nonton Sie Jin Kwie Kena Fitnah, seporsi Soto Lamongan dengan spesial request pake ayam dan segelas teh manis panas rasanya pas untuk mengusir dingin yang mengikuti langkah kecil hujan berjejak di bumi. Minggu lalu ketemu om Sujiwo Tejo dan beberapa orang teater pada makan di sini, mumpung masih sepi duduknya bisa milih meja di luar yang strategis untuk cuci mata hehe. Walau makannya sudah dilama-lamaain tetap aja masih ada sisa waktu sejam lebih, namun melihat gerimis semakin deras buru-buru melangkah ke Teater Jakarta daripada nanti terkurung hujan di warung. Benar saja, begitu naik lantai 2 teater hujan turun dengan derasnya.
O,ya di pintu masuk gedung setiap yang terlihat membawa kamera dengan body besar diberikan dua option : kembali ke kendaraan menyimpan kamera atau copot battery ? Secara gak bawa kendaraan, gak lucu kan mesti panggil sopir langganan demi menitip kamera hehehe, pilihannya ya menukarkan battery di meja sekuriti dengan nomor penitipan dan punggung tangan dicap sesuai dengan kelas tiket. Saat iseng baca ketentuan di belakang tiket salah satu poinnya dilarang membawa video kamera ataupun kamera foto profesional, tapi saat opening diumumkan tidak diperkenankan mengambil gambar dengan kamera apapun termasuk menggunakan telepon genggam. Tapi tetap aja yang bawa BB dan HP berkamera dengan bebas merekam dan cekrek-cekrek. Meski di kantong masih tersisa battery serep yang tak di”sita”, tak ada niat untuk mengeluarkan kamera karena tersihir dengan penampilan di atas panggung yang gilaaaaa kereeeeen banget. Karena beli tiketnya di kelas yang paling murah, saya kudu naik hingga lantai 3 untuk berebut kursi di balkon paling atas. Pas antri di depan pintu yang belum terbuka, baru sadar koq tadi di depan pintu masuk gak dapat buku program acara ya ? Hohohooo ternyata program acaranya gak dibagikan gratis tapi mesti ditukar dengan selembar 50rb karena memang didesign khusus sehingga tampilannya beda dengan buku panduan acara yang biasanya tipis. Begitu pintu dibuka, serbuuuuuu ! Semua berebut nyobain bangku demi bangku dari deretan bawah atas ujung kiri hingga kanan mencari posisi yang pas untuk melihat ke panggung. Sudah duduk manis mata berkeliaran mencari sosok yang kira-kira kenal, eh begitu tengok kiri, “haiii Papa Oen !” maka pantatpun bergeser ke samping si om. Orang Solo nonton pagelaran sendratari Jawa wajar, orang Sulawesi suka nonton sendratari Solo sungguh mengherankan! gak tahu kan saya memang asli Solo[wesi] hahaha
Walau roaming dengan dialog dalam bahasa Jawa tapi sebelah kanan kiri ada interpreter. Lagipula sedikit-sedikit pernah membaca kisah Pangeran Samber Nyawa dan Rubiyah, sempat baca profile ibu Atila satu halaman penuh di Solo Pos saat liburan bareng batalyon Lemunisasi ke Solo bulan lalu (makasih buat yg beli koran pagi itu) dan menyempatkan buka-buka program acara saat antri di luar jadi over all bisa menikmati pertunjukan. Asli sakit perut mendengar banyolan para Simbah kampung Matah yang ngomongin susu 25kg punya perempuan Minnesota yang bisa disampirkan saking gedenya hahahha. Gileee jalan ceritanya bisa update gitu yak, padahal tuh berita susu baru turun. Two thumbs up untuk karya anak bangsa yang begitu detail dalam pementasan ini, penarinya keren, tata panggung lighting gilaaa mampus, gamelannya cakep dan kagum saat memperhatikan dari dekat kostum penarinya detail banget dari ujung rambut sampai ujung kaki. Standing ovation menggema memenuhi teater Jakarta TIM semalam, salut buat mahakarya anak bangsa.
Jadi kenapa selama ini suka dengan yang berbau sejarah dan budaya ? Karena gak mau masuk dalam kategori yang dimaksud oleh bang Jay, yang gak mau tahu dan menghargai warisan pusaka tapi ikut-ikut teriak ketika warisannya diklaim tetangga 😉
Mungkin hanya bangsa ini yang tidak malu ketika tidak mengetahui sejarah dan budayanya sendiri – [Jay Subyakto]
Review Matah Ati menyusul ya perlu satu sesi sendiri hehehe. Buat yang kehabisan tiket karena tiketnya sold out jauh-jauh hari sebelum mentas; denger-denger sih Matah Ati mau road show di beberapa kota besar dalam negeri sebelum mentas di benua Eropa dan Amerika.