‘The Bird Can’t Fly’ diilhami oleh Afrika Selatan, sebuah bagian dunia yang ekstreem di mana orang memiliki kemampuan mengekspresikan kebencian dan harapan dalam satu kalimat.
Sebuah kota yang berpenduduk kebanyakan wanita yang hampir semuanya mempunyai anak laki-laki, di mana memasak dilakukan dengan tungku listrik, tetapi mereka harus menyalakan dahulu api di dalamnya jika hendak memasak sesuatu. Seorang nenek berkulit putih (Melody) berasal dari dunia yang kaya dan subur, disandingkan dengan cucunya yang berkulit hitam dan miskin (River), hidup bersama dalam sebuah kota yang menjelang runtuh, nyaris ditelan habis oleh gurun yang mendesak mengepungnya.
Bagi Melody kota ini bermakna pembusukan, bagi River ini adalah kelimpahan. Bagi River burung-burung unta lokal dan telur-telur mereka merepresentasikan pasukan masa depannya; bagi Melody telur-telur itu hanya bagian dari masakannya. Namun pada akhirnya telur-telur itulah yang merupakan representasi dari kehidupan yang baru.
‘The Bird Can’t Fly’ adalah sebuah kisah universal tentang kemarin, hari ini atau esok dan merupakan sebuah cerita yang linier, mencakup sebuah periode beberapa hari. Cerita ini dimulai dari sebuah dunia yang kaya dan subur, kemudian bergerak ke sebuah dunia yang sedang membusuk. Pada saat klimaks film, kita kembali kepada masa lalu yang mewah yang pernah dinikmati oleh kota itu, yang sangat mirip dengan dunia kaya dalam awal cerita. Di akhirnya dunia pembusukan mendapat kehidupan baru. Kehidupan dunia adalah sebuah spiral tanpa akhir. Dari duka lahir kehidupan.
..Gilee..berat filmnya.ngak berani nonton film ginian..