Siang tadi, setelah dari acara tahunan kantor, lari 20 kilo; lanjut menyebrang ke Pusat Primata Schmutzer (PPS) bareng Mbak Ida, Mas Wied, & Alice. Karena harus ganti baju olahraga yang sebelumnya basah kuyup dipakai berlari, berdua Alice, saya masuk belakangan.
Ini kunjungan yg ketiga setelah kunjungan sebelumnya :
pertama The Largest Primate Center
kedua Schmutzer Lagi
Dan, kecewa banget melihat tempat yang disebut sebagai pusat primata terbesar di dunia, pengelolaannya jauuuuuhh banget dari masa-masa dipegang oleh Gibbon Fondation. Sekarang, Schmutzer dikelola langsung oleh Taman Margasatwa di bawah pemprov DKI tentunya (pengelolaan Schmutzer berpindah tangan). Kalau saja Ibu Puck melihat sarana yang dihibahkan kepada bangsa Indonesia dengan harapan “untuk membantu masyarakat Indonesia lebih menghargai dan peduli pada keindahan satwa liar” seperti ini, pastinya hati beliau menangis.
Ceritanya berawal dari loket, saat hendak membeli tiket, saya menyodorkan duit 50ribu untuk beli 2 (dua) tiket masuk seharga 5ribu/orang. Petugas yang berjaga di loket itu, perempuan yang sebelumnya juga sempat “beradu mulut” dengan calon pengunjung di depan saya.
Calon Pengunjung : bu, tiket untuk 2 orang
Ibu di loket : pake uang pas mbak !
Pengunjung : maaf bu, gak ada uang kecil
Ibu di loket : (dengan muka tanpat senyum) gak ada kembalian, harus uang pas
Calon Pengunjung : ibu, mungkin bisa tukar dengan sebelahnya
Ibu di loket : (dengan gerakan tangan menunjuk kasir sebelah) antri aza di sebelah
Calon Pengunjung : trima kasih bu
Melihat adegan tak asyik itu, saya pindah antre di loket sebelah. Uang di tangan saya juga pecahannya lima puluh ribu! daripada adu mulut, kan? Di depan saya masih ada 2 (dua) orang ibu yg sedang antre juga. Tanpa banyak basa–basi mbak di loket ini langsung melayani ketika giliran saya tiba. Tiket sudah di tangan, kami kembali antre untuk masuk ke PPS … di depan petugas pengecekan karcis saya otomatis menggesekkan sepatu di karpet hijau yang seharusnya digenangi cairan desinfektan untuk mensterilkan kotoran dari luar sehingga tidak terbawa ke dalam. Ya ampyuuuun, KERING! Kemana cairan desinfektannya?
Cerita berikutnya terjadi di dalam. Kami mlihat pengunjung banyak yang menenteng makanan dan minuman. Padahal, di depan ada pengumuman besar-besar tentang aturan memasuki tempat ini, DILARANG MEMBAWA MAKANAN/MINUMAN DARI LUAR, koq bisa lolos? Dari seorang bapak penjaga yang kami jumpai di dalam, dirinya curhat. bahwa pengelolaan Schmutzer saat ini memang sangat jauh berbeda dibanding ketika dipegang oleh Gibbon Fondation. Banyak fasilitas yang rusak oleh tangan jahil, tidak diperbaiki dengan alasan DANA SUSAH TURUN.
Ketika memasuki terowongan orang utan, walau di pintu masuk terpasang penanda KEGIATAN ANDA DIPANTAU OLEH KAMERA, banyak benar yang mojok tanpa merasa khawatir kegiatannya dipantau oleh CCTV. Kenapa tak ada petugas yang menghampiri? Apakah kameranya juga sudah tidak berfungsi atau mungkin sudah beralih fungsi jadi pemantau kegiatan bonus di dalam terowongan? Entahlah.
Pemandangan tak sedap itu belom berakhir. Setelah berkeliling dan masuk ke pusat pendidikan, alamaaaakkk tempatnya sudah berubah fungsi jadi SARANA TIDUR SIANG dan ARENA BERBAGI KASIH ALA ABG. Mungkin karena tempatnya memang adem oleh pendingin ruangan dan tak ada petugas yang berjaga di sana sehingga pengunjung seenaknya saja.
Di depan pintu keluar kami kembali dibuat takjub melihat serombongan ibu yang datang bersama anak-anaknya, masuk PPS dari pintu keluar. Tentu saja tanpa membeli tiket tapi oleh pak satpam TIDAK ditegor sama sekali. Salah seorang anak malah terlihat asyik menyeruput softdrink, berjalan santai di depan ibunya yang juga asyik berceloteh dengan ibu lain, “blom pernah masuk ke sini nih, ada apa ya di dalam?” Dalam hati, bagaimana generasi masa depan jika didikannya seperti ini? Ehhhh, ternyata bukan rombongan itu saja yg masuk GRATIS. Di belakang mereka ada juga rombongan kedua 🙂
Sewaktu mengambil tas yang dititipkan, sempat pula terdengar argumentasi petugas penitipan barang dengan ibu-ibu yang datang bersama keluarga. Ketika petugas penitipan barang meminta si ibu menitipkan semua makanan/minuman, ibunya sewot. “Lhaaa kalo lapar makan apa mas? ini bekal buat makan siang” Walau berat hati, si ibu mau tak mau menyerahkan termos nasi berwarna pink dan gembolan lainnya untuk dititipkan. Ya ambooon, ada apa dengan ibu-ibu ini?
Sedih lho. Negeri ini mendapatkan satu hadiah besar tapi tak bisa dikelola dengan baik. Sampai kapan PPS bertahan jika begini? Let’s see.
Schmutzer Primate Center
Minggu, 22 April 2007