… dari pintu ke pintu …


Sabtu 28 Oktober 2006 pagi bertepatan dengan Hari Soempah Pemuda yg gaungnya gak kedengaran, janjian sama Alice untuk hunting foto ke beberapa gereja tua. Ketemuan di kolong fly over Karet trus naik P15 turun di persimpangan Kebon Sirih – Menteng Prapatan dan berjalan ke arah Tugu Tani.

KwitangSempat ngobrol ‘bentar dengan mas yg lagi tugas di depan US Embassy,”mbak motret dari dekat aza tapi jangan diarahkan ke sini ya!”
“Oooo, kalo aturan itu sudah paham mas.” Sambil lirik² ke kamera cctv yg terpasang di atas gerbang he …he… ‘gak lama HT si mas-nya bunyi keknya yg bertugas di dalam curiga dengan keadaan di luar.

Akhirnya nyebrang dan jepret² sebentar di Tugu Tani sebelum mendekati sasaran yg sebenarnya Anglikan Church sayangnya saat mau masuk oleh pak satpam yg bertugas tidak diberi ijin katanya mesti mohon ijin dulu ke ibu sekertaris yg baru ada pada hari kerja. Jadinya kita cuma puas menatap dari depan pos satpam ke arah gedung tua tersebut.

Keluar dari gerbang, belok kiri menuju Gedung Joang ’45 yg terletak di Jl Menteng 31. Gedung yg dibangun pada th 1938 ini, awalnya adalah hotel mewah yg bernama Hotel Schomper. Pada jaman Jepang, gedung ini menjadi Pusat Pendidikan Politik yg dikenal sebagai Asrama Angkatan Baru Indonesia dan para pemuda seperti Soekarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, AM. Hanafi dll yg mengikuti pendidikan di tempat itu dikenal sebagai Pemuda Menteng 31 sedangkan pengajar mereka al : Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. Moh Yamin, Mr. Soenarjo dan Mr. Achmad Soebardjo.

Kayaknya sepanjang hari kemarin hanya kita yg berkunjung ke museum ini, sepi banget bo lagi pula seberapa banyak sih orang yg berminat untuk keluar masuk museum ? Dari Gedung Joang ’45 kita melangkahkan kaki di bawah terik matahari yg mulai menyengat kulit ke arah Gambir dan berhenti di Galeri Nasional yg gerbangnya di gembok tapi ‘gitu melihat ada cewek yg melongok² ke dalam mas satpam yg hari itu bertugas keluar dan menyapa dengan ramahnya.
“Mau masuk ya ‘mbak ?”
“Iya, boleh gak mas ..soalnya pintunya digembok nih.”
“Boleh aza, bentar saya buka dulu ya. Rombongan ?”
“Gak, berdua koq”

Setelah gerbang dibuka, kita melangkah masuk dan puas – puasin bermandi keringat dibawah sengatan matahari yg puanassnya minta ampun.

Galeri Nasional yg terletak di Jl Merdeka Timur 14 dulunya dikenal dengan Carpenter Alting Stiching (CAS) yg dibangun pada th 1902.

Pk 12.15 saat matahari tepat di atas ubun – ubun langkah berlanjut ke Gereja Immanuel, terlihat tenda memenuhi halaman depan gereja. Karena panas dan dari luar terlihat masih ada kebaktian kematian, kita mampir dulu di warung Padang dan si Alice memesan 2 botol the Sosro yg habis dalam sekejap. Setelah minta ijin kepada Om Ambon yg bertugas di pos dan mempersilahkan kita untuk langsung masuk ke dalam ruang gereja, untuk lebih meyakinkan dengan jawaban si Om saya sampai mengulang pernyataan ijin tersebut sampai 2 (dua) kali. Yg kebaktian baru bubaran, saya mengajak Alice berjalan ke depan gedung maksudnya biar motretnya dari depan baru masuk ke dalam gereja.

Tapi baru ngambil 2 kali gambar di depan tangga, tiba² ada Om Berbaju Hitam yg sangat arogan menuruni tangga sambil ‘nunjuk²,”He …he …kamu darimana, seenaknya aza foto²!”
“Maaf pak, tadi saya sudah ijin di depan dan dibolehkan masuk.”
“Bukan begitu caranya, tadi disuruh melapor dulu khan bukan langsung ke sini.”
“Maaf pak, tadi saya diijinkan untuk langsung masuk ke dalam gereja tapi demi menghargai yg masih di dalam maka kita menunggu sampai yg di dalam selesai.”
“Saya ini baru di calling dari belakang, katanya kamu seenaknya saja masuk. Ayo ikut ke belakang!”

Dalam hati arogan banget nih si Om Bebaju Hitam tanpa senyum dengan muka pongah seakan dia penguasa di tempat itu. Tapi demi menghargai beliau, saya ikuti langkahnya dan berjalan berdampingan ke pintu belakang. Di depan tangga belakang saya dipertemukan dengan bapak Berbaju Batik yg membawa Handy Talkie,”Ini orangnya tolong diproses!” sambil ngasih kode dengan menyenggol tangan si bapak Berbaju Batik.

Alasan yg diberikan oleh bapak Berbaju Batik gak masuk akal banget, masa katanya dengan kedatangan kita kesitu mau gak mau mereka mesti mengatur jadwal petugas untuk mengawasi padahal berapa lama sih waktu yg kita gunakan seandainya diijinkan untuk mengambil gambar ? Hallah, bapak alasannya ada – ada aza … emang dipikirnya baru kemarin siang saya masuk gereja apa ? Setiap Sabtu khan petugasnya akan mempersiapkan gedung untuk kebaktian Minggu, jadi sudah pasti ada yg bertugas. Karena malas berdebat dengan orang² yg bersikap pongah dan memberikan jawaban yg berbelit – belit saya mengikuti kemauan si bapak Berbaju Batik untuk menghadap ibu sekertaris. Waktu saya tanya nama ibunya, bapak Berbaju Batik kekeuh bilang aza,”Ibu Sekertaris.”
“Maaf pak, tapi ibu sekertarisnya punya nama khan?”
“Iya, ibu sekertaris aza.”

Kesel kali ya, karena pertanyaan saya ulang sampai 3x baru si bapak Berbaju Batik yg membawa handy talkie dan selama ‘ngobrol entah kenapa tidak pernah mau menatap muka lawan bicaranya menjawab dengan ketus,”Ibu Desi!”
Dan alangkah lebih kagetnya saya mendengar jawaban dari Ibu Desi,”Tidak bisa Olive, yg boleh mengambil gambar di dalam gereja adalah JEMAAT saja.”
Whattttt ???? Ini gedung masuk dalam cagar budaya lho, jadi sebagai penikmat sejarah kita gak boleh menikmati bangunan ini ?

Alangkah tidak sopannya jawaban itu! Kesel, mangkel ditambah jawaban dari mereka yg mengada – ada membuat hati ini sedikit panas. Waktu ke Sion, mereka gak menyebut² status sebagai jemaat, waktu main ke masjid mereka gak bilang hanya pemuda masjid saja yg boleh mengambil gambar, saya gak habis pikir seandainya waktu main – main ke kuburan trus penjaganya bilang wah anda harus jadi warga sini dulu baru bisa motret. Cilaka tigabelas tuh !! Masa mesti mati dulu baru bisa menikmati tempat bersejarah ??

Dengan langkah gontai kita keluar dari halaman gereja dan ngobrol bentar dengan Om Ambon,”Nona harus pintar² kalau mau bikin gambar. Besok pagi datang aza pas bubaran kebaktian pertama pasti sempat untuk foto sebelum kebaktian kedua dimulai atau saat bubaran kebaktian terakhir. Ya, ini khan rumah Tuhan siapa saja boleh masuk, lagipula ini dilindungi oleh negara jadi semua orang boleh aza menikmati bangunan ini.”
“He …he…bener Om, tapi khan bapak² dan ibu yg arogan di dalam mungkin tidak mengerti itu. ‘Makasih ya Om, selamat siang.”

Wajah angkuh bapak Berbaju Hitam yg tidak tersenyum sedikit pun walau dengan sopan saya masih memberi senyum saat melangkah keluar dari halaman gereja, tampang arogan bapak Berbaju Batik yg membawa handy talkie dan ibu Desi terekam dengan jelas di memory. Dendamkoe akan berbalask suatu saat nanti hi …hi… kesel banget deh !! Kenapa waktu malam² main ke Immanuel, saya tidak sekalian masuk ke dalam yak ?

Di luar pagar Immanuel setelah berembug, kita menyetop bajaj menuju GKI Kwitang walau awalnya Alice khawatir kita tidak akan diijinkan lagi seperti kejadian di Immanuel. ‘Gak ada salahnya khan kita coba ke sana mana tahu mereka lebih welcome, kalo gak dicoba gimana kita tahu diijinkan atau tidak ? Ternyata dari pak satpam, jemaat yg sedang berkumpul di ruang dalam sampai petugas yg ada di situ semuanya menyambut kedatangan kita dengan ramah. Bahkan Ibu Yenni, langsung menanyakan pihak mana yg bisa dihubungi untuk meminta bantuan dalam menghadapi masalah rayap yg menggerogoti kayu² di langit² gereja.

Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang dulunya bernama Christelijke Gereformeerd Kerk van Batavia terbentuk pada th 1873, bangunannya dirancang oleh F. Wiemans. Pada 1877 anggota jemaat Kwitang terdiri dari orang Eropa, Jawa, Ambon dan keturunan Cina yg menetap di Batavua. Jemaat Kwitang yg berbahasa Melayu diteguhkan menjadi gereja yg dewasa pada 11 Agustus 1929 dan bertepatan dengan ulang tahunnya yg ke-75 GKI Kwitang diresmikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya.

Sambutan di GKI Kwitang melegakan hati dan mengobati kekesalan di Immanuel, setelah berpamitan dengan para petugas di gereja kita kembali menyetop bajaj menuju Kedai Tiga Nyonya untuk makan siang. Mengingat pengalaman hari ini saya teringat lagunya Ebiet G. Ade :

Dari pintu ke pintu
Kucoba tawarkan nama
Demi terhenti tangis anakku
Dan keluh ibunya
Tetapi nampaknya semua mata
Memandangku curiga
Seakan hendak telanjangi
Dan kulit jiwaku
Apakah buku diri ini selalu hitam pekat
Apakah dalam sejarah orang mesti jadi pahlawan
Sedang Tuhan di atas sana tak pernah menghukum
Dengan sorot mata yang lebih tajam dari matahari

Kemanakah sirnanya
Nurani embun pagi
Yang biasanya ramah
Kini membakar hati
Apakah bila terlanjur salah
Akan tetap dianggap salah
Tak ada waktu lagi benahi diri
Tak ada tempat lagi ‘tuk kembali

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s